Sebanyak 39,04 persen pemilih partai Indonesia tidak loyal atau memiliki kemungkinan berpindah partai.
Demikian temuan studi yang dilakukan Prof. Saiful Mujani dalam program ’Bedah Politik bersama Saiful Mujani’ episode ”Kecenderungan Swing Voter Partai Menjelang 2024” yang disampaikan melalui kanal YouTube SMRC TV pada Kamis, 15 Juni 2023.
Video utuh presentasi Prof. Saiful bisa disimak di sini: https://youtu.be/uqKzXS-jr2c
Saiful menjelaskan bahwa pemilih yang berpindah ke partai lain atau tidak memilih disebut sebagai swing voters. Dari 2019-2023, survei SMRC menunjukkan rata-rata pemilih loyal di Indonesia sebanyak 60,96 persen, sementara swing voters sebesar 39,04 persen.
Saiful menyebut bahwa tidak pernah ada partai politik yang mendapatkan suara 39,04 persen. “Artinya angka swing voters 39,04 persen ini sangat besar,” kata Saiful.
Karena itu, lanjutnya, hal ini yang memungkinkan munculnya partai baru kalau partai itu bekerja secara kompetitif berhadapan dengan partai yang sudah ada.
Ada tiga partai lama di Indonesia, yakni PDIP, Golkar, dan PPP. Ketiga partai ini mengalami nasib yang berbeda. Pada Pemilu 2019, PPP hampir tidak lolos electoral threshold. Padahal kekuatan PPP kurang lebih sama dengan PDIP di zaman Orde Baru. Golkar di zaman Reformasi pernah mendapatkan suara paling banyak pada Pemilu 2004. PDIP sendiri beberapa kali menjadi pemenang Pemilu. Hal ini terjadi, menurut Saiful, karena tingginya swing voters di Indonesia, yakni sekitar 39,04 persen. Ini memberi peluang bagi partai yang mau bekerja lebih keras dibanding yang lain.
Partai mapan atau yang sudah di atas mungkin akan risau melihat angka swing voters yang hampir 40 persen. Ada peluang suara mereka turun. Namun bagi partai yang masih kecil dan punya program kerja yang baik untuk meyakinkan pemilih, besarnya jumlah pemilih yang tidak setia atau yang swing, itu adalah kesempatan.
“(Tingginya) swing voters tersebut bisa menjadi ancaman dan bisa menjadi peluang. Kalau ada rakyat yang kecewa dengan partai-partai sekarang, keadaan ini membuka peluang untuk partai yang dianggap lebih menjanjikan. Rakyat, kata Saiful, memberikan ruang untuk berinovasi,” jelas pendiri SMRC tersebut.
Dalam survei SMRC Mei 2023, ada 16,7 persen publik yang belum menentukan pilihan. PDIP dan Gerindra mendapatkan suara lebih besar dari Pemilu 2019: PDIP dari 19,3 persen menjadi 25,1 persen dan Gerindra dari 12,6 persen menjadi 16,4 persen. Sementara partai-partai lain memeroleh suara di bawah hasil Pemilu 2019. Sementara Golkar turun dari 12,3 persen menjadi 7,7 persen, PKB dari 9,7 persen menjadi 7,5 persen, Demokrat dari 7,8 persen menjadi 6,7 persen, PKS dari 8,2 persen menjadi 5,1 persen, PAN dari 6,8 persen menjadi 3 persen, dan PPP dari 4,5 persen menjadi 2,4 persen.
Saiful menjelaskan bahwa kenaikan suara PDIP dan Gerindra menunjukkan kedua partai tersebut menyerap sebagian suara partai-partai lain yang mengalami penurunan dukungan.
Ketika ditanya jika memilih partai, seberapa besar kemungkinan mengubah pilihan? Ada 11 persen yang menyatakan sangat besar kemungkinan mengubah pilihan, cukup besar kemungkinannya 25 persen, kecil kemungkinannya 37 persen, sangat kecil atau hampir tidak mungkin 26 persen, dan ada 1 persen yang tidak jawab. Secara keseluruhan, ada sekitar 36 persen publik yang menyatakan kemungkinan mengubah pilihan.
Dari semua partai yang ada di parlemen, dalam survei Mei 2023, PDIP menjadi partai dengan jumlah swing voters paling sedikit. Pada PDIP, ada 69 persen pemilih loyal dan 30 persen swing, Gerindra 68 persen loyal dan 31 persen swing, PPP 65 persen loyal dan 35 persen swing, PKB 65 persen loyal dan 34 persen swing, PKS 64 persen loyal dan 35 persen swing, Golkar 60 loyal dan 36 persen swing, Nasdem 57 persen loyal dan 42 persen swing, Demokrat 56 persen loyal dan 42 persen swing, PAN 50 persen loyal dan 45 persen swing.
Saiful menyatakan bahwa berdasarkan data ini, menjadi logis jika PDIP dan Gerindra mendapatkan penambahan suara karena kebanyakan suara mereka tidak berpindah, bahkan mereka menampung suara partai lain yang berpindah.
Saiful memberi catatan tentang PPP yang memiliki pemilih loyal yang relatif besar. Walaupun pemilih loyal PPP besar, namun basis dukungan pada partai relatif kecil, yakni 4,5 persen pada Pemilu 2019. Karena itu logis jika elektabilitas PPP sekarang di bawah parliamentary threshold karena basisnya memang kecil. Swing voters PKB hampir sama dengan PPP, tapi basis mereka berdasarkan hasil Pemilu 2019 lebih besar.
Sementara swing voters terbanyak ada pada PAN, 45 persen. Ada 5 persen yang belum tahu. Jika yang belum tahu ditambahkan ke yang mengaku mungkin mengubah pilihan, total swing voters PAN saat ini adalah 50 persen.
“Separuh dari pemilih PAN tidak loyal, mereka bisa pergi atau tergantung apa PAN bisa meyakinkan mereka atau tidak. Kalau yang 50 persen ini tetap memilih PAN, artinya partai ini tidak mengalami kenaikan suara. Tapi kalau pemilih lemah itu tidak bisa dijaga, maka ada peluang PAN tidak lolos threshold,” kata Saiful.
FLUKTUASI SWING VOTERS
Dari tiga partai terbesar, fluktuasi swing voters sangat terbesar terlihat pada Gerindra. Pada November 2022, misalnya, swing voters Gerindra sempat menyentuh angka 65,6 persen. Sementara pada Golkar, ada kecenderungan swing voters pada partai ini mengalami peningkatan dalam 4 tahun terakhir, namun peningkatannya tidak terlalu ekstrim. Hal yang sama terjadi pada PDIP, dalam empat tahu mengalami kenaikan swing voters, namun dengan dinamika yang relatif rendah.
Sementara swing voters Demokrat mengalami peningkatan yang cukup tajam dari 16,7 persen pada Agustus 2019 menjadi 48 persen pada awal Mei 2023. Namun, Saiful menjelaskan, bahwa jika melihat bahwa perolehan suara Demokrat saat ini kurang lebih sama atau sedikit di bawah perolehan suara 2019, artinya selain ada yang keluar, pemilih baru juga masuk ke partai ini. Hal ini berbeda dengan PAN di mana yang keluar cukup banyak, tapi pemilih baru belum banyak yang masuk.
PAN, PPP, dan Nasdem juga memiliki fluktuasi swing voters yang sangat tinggi. Saiful memberi catatan bahwa Nasdem adalah partai pemegang kursi keempat terbesar di parlemen, namun sekarang belum mendapatkan pemulihan suara yang memadai. Partai ini pernah mendapatkan swing voters 78,1 persen pada Desember 2022.
Saiful menilai fluktuasi yang besar menunjukkan bahwa suara partai-partai masih bisa berubah tergantung bagaimana mereka bekerja.
Secara keseluruhan dalam empat tahun terakhir (2019-2023), proporsi swing voters terbesar ada pada PAN 42,9 persen, disusul Nasdem 37,2 persen, Gerindra 35,8 persen, Demokrat 34,1 persen, PPP 32,8 persen, Golkar 27,7 persen, PKS 20,7 persen, dan yang terendah PDIP dan PKB masing-masing 20,5 dan 20,1 persen.
Saiful menjelaskan bahwa ada kecenderung partai-partai lama, yang lahir pada Pemilu pertama Reformasi atau sebelumnya, memiliki swing voters yang relatif kecil dibanding partai yang lahir belakangan. Namun hal ini tidak terjadi pada PAN. PAN adalah juga partai yang lahir ketika Reformasi bergulir, namun tingkat swing votersnya tertinggi. Saiful menduga hal ini terkait dengan lahirnya partai baru yang memiliki latar belakang sosiologis yang relatif sama dengan PAN.
Selain itu, lanjut Saiful, partai-partai di Indonesia umumnya terkait dengan figur tokoh. PAN sebelumnya memiliki figur Amin Rais. Dan Amin Rais sekarang mendirikan partai baru. Ada kemungkinan sebagian pemilih PAN sekarang menunggu keputusan.
ASPEK DEMOGRAFI
Apakah fenomena swing voters yang besar ini terkait dengan fenomena pemilih rasional yang tumbuh di Indonesia? Saiful menjelaskan bahwa pemilih rasional salah satunya berhubungan dengan tingkat pendidikan. Mereka yang berpendidikan lebih tinggi cenderung lebih rasional dalam menentukan pilihan. Rasionalitas pemilih juga terkait dengan latar belakang tempat tinggal, pemilih perkotaan cenderung lebih rasional karena lebih mudah mengakses informasi. Hal lain adalah usia. Di segmen mana pemilih yang loyal dan swing itu cenderung berada?
Berdasarkan data gabungan survei nasional 2019-2023, dari sisi gender, terlihat tidak ada perbedaan antara swing voters pada laki-laki dan perempuan. Karena itu aspek gender tidak punya pengaruh pada swing voters. Dari sisi desa-kota, variabel ini umumnya tidak memiliki pengaruh signifikan pada swing voters masing-masing partai, kecuali pada PKS. Ada 24 persen pemilih PKS di desa yang merupakan swing voters, sementara yang kota hanya 17 persen.
“Pemilih PKS di perkotaan lebih loyal dibanding yang perdesaan,” kata Saiful.
Saiful melihat bahwa karakteristik pemilih PKS memang dari kalangan kelas menengah, terpelajar, dan tinggal di kota. Karena itu di kota, pemilih PKS lebih sedikit yang swing. Yang potensial pindah adalah di perdesaan. Ini mengindikasikan, menurut Saiful, bahwa pemilih PKS di perdesaan kurang ideologis, lebih merupakan hasil mobilisasi. Untuk sementara, karena Pemilunya masih jauh, kemungkinan PKS belum banyak bekerja di perdesaan. Sementara ada kemungkinan partai lain yang sudah bekerja bisa menarik suara PKS di perdesaan.
Dari sisi usia, pemilih swing PKB cenderung datang dari pemilih yang lebih senior. Ada 19 persen pemilih PKB yang berusia 55 tahun ke atas pemilih yang kemungkinan berubah pilihan, sementara yang kalangan 25 tahun ke bawah hanya 13 persen. Loyalis PKB cenderung datang dari kalangan yang lebih muda. Saiful melihat hal ini mencerminkan elit politik PKB yang cenderung lebih muda. Muhaimin Iskandar, misalnya, dari sisi usia lebih muda dari umumnya ketua-ketua umum partai.
Pemilih PDIP juga memiliki kecenderungan pemilih loyal di kalangan pemilih senior dibanding kalangan muda, namun selisihnya tidak begitu signifikan. Sementara swing voters Golkar di kalangan anak muda (25 tahun ke bawah) mencapai 34 persen dan yang berumur 55 ke atas sebanyak 18 persen. “Regenerasi di kalangan pemilih Golkar tidak terjadi. Partai ini menua,” kata Saiful. Ini, menurut Saiful, menunjukkan bahwa Golkar tidak berhasil menggarap anak muda secara lebih baik. Jika Golkar ingin lebih kompetitif, maka tidak bisa dihindarkan Golkar harus bekerja lebih serius pada pemilih yang lebih muda.
Hal yang sama terjadi pada PPP, proporsi pemilih muda yang loyal lebih sedikit dibanding dengan yang tua. 37 persen pemilih PPP dari yang berusia 25 tahun ke bawah menyatakan kemungkinan mengubah pilihan, sementara yang berusia 55 tahun ke atas 28 persen. Demikian pula PAN, pemilih swing di kalangan usia 25 tahun ke bawah 47 persen, dan usia 55 tahun ke atas 32 persen.
Dari sisi pendidikan, ada perbedaan proporsi pemilih swing di Golkar. Pada kalangan berpendidikan tinggi, swing voters Golkar mencapai 31 persen, sementara yang berpendidikan SD ke bawah sebanyak 23 persen. Sebaliknya dengan PKS, swing voters partai ini lebih banyak di kalangan berpendidikan SD ke bawah (24 persen) dibanding yang berpendidikan tinggi (15 persen). Pola yang sama terjadi pada PPP dan PAN. Ada 31 persen pemilih berpendidikan SD PPP tidak loyal, sementara yang berpendidikan tinggi 25 persen. Pemilih bependidikan SD PAN yang kemungkinan mengubah pilihan sebanyak 45 persen, sementara yang berpendidikan tinggi 37 persen.
Sementara partai seperti PKB, Gerindra, PDIP, Nasdem, dan Demokrat tidak memperlihatkan pola yang berbeda dari sisi pendidikan terhadap proporsi swing voters partai-partai tersebut.
Saiful menyimpulkan bahwa secara keseluruhan, swing voters di Indonesia besar dan itu memberi peluang bagi partai untuk membesarkan perolehan suaranya. Dari sisi demografi, swing voters tidak merata di antara semua partai.