Kamis, 23 Januari 2025

64,5 Persen Publik Menginginkan Ada Partai dalam Jumlah Cukup Besar di Luar Pemerintahan Prabowo

64,5 persen publik menginginkan ada partai dalam jumlah cukup besar mendekati separuh yang seharusnya berada di luar pemerintahan. Demikian temuan survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC). Temuan ini disampaikan Prof. Saiful Mujani dalam program ‘Bedah Politik bersama Saiful Mujani’ episode “Dukungan Publik Perlunya Oposisi” yang disiarkan di kanal Youtube SMRC TV pada Kamis, 17 Oktober 2024.

Video utuh presentasi Prof. Saiful bisa disimak di sini: https://youtu.be/uxYtupZt6Lw

Survei ini dilaksanakan 4-11 Oktober 2024. Metode survei yang digunakan adalah multistage random sampling dengan jumlah sampel valid 994, dengan margin of error plus-minus 3,2 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. Wawancara dilakukan lewat tatap muka dengan responden oleh pewawancara terlatih.

Saiful menunjukkan ada 67,5 persen masyarakat setuju bahwa presiden dan pelaksanaan pemerintahannya wajib diawasi oleh DPR, dan supaya pengawasan ini sungguh-sungguh, harus ada partai politik yang memiliki wakil di DPR berada di luar pemerintah. Sementara hanya 28,3 persen yang percaya bahwa presiden akan berbuat baik bagi rakyat, maka untuk efektifitas pelaksanaan pemerintahan di bawah presiden, semua anggota DPR dan partai politik harus mendukung pemerintahan sehingga pemerintah tidak perlu betul-betul diawasi. Masih ada 4,1 persen yang tidak menjawab.

Sementara itu sebanyak 64,5 persen warga setuju atau sangat setuju dengan pendapat bahwa untuk membuat pengawasan kerja presiden secara efektif, harus ada partai politik dalam jumlah yang cukup banyak, katakanlah mendekati separuhnya, yang berada di luar pemerintah untuk menjadi pengawas, bukan bergabung dengan pemerintah. Hanya ada 27,6 persen yang tidak atau sangat tidak setuju dengan pandangan tersebut. Sisanya, 7,9 persen, belum menjawab.

Saiful menjelaskan bahwa baik yang ada di dalam pemerintahan maupun yang di luar, keduanya berfungsi untuk menjalankan roda pemerintahan yang efektif dan bersih.

“Ada ungkapan yang sangat terkenal di kalangan ilmuan politik: democracy needs the loosers, demokrasi membutuhkan pihak yang kalah. Dalam demokrasi harus ada yang menang dan kalah. Yang menang menjadi pemerintah, sementara yang kalah diharapkan menjadi oposisi atau menjadi pengawas,” ungkap guru besar ilmu politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta tersebut.

Bagaimana penilaian publik pada masa Jokowi, apakah publik menilai di bawah pemerintahan Presiden Jokowi, ada partai di luar pemerintah dan jumlahnya mendekati separuhnya? Yang menyatakan ada 32,2 persen, yang menyatakan tidak ada 46 persen, dan tidak jawab 21,8 persen.

Sementara untuk masa Prabowo, sebanyak 41,3 persen publik menyatakan akan ada partai yang kekuatannya mendekati 50 persen berada di luar pemerintahan. Yang menyatakan tidak akan ada sebanyak 37,8 persen. Yang belum menjawab 20,9 persen.

Saiful menyatakan bahwa angka ini menunjukkan masyarakat memiliki harapan atau ekspektasi bahwa di masa Prabowo akan ada partai dengan kekuatan politik yang relatif besar berada di luar pemerintah.

“Ada ekspektasi di masyarakat agar pemerintahan Prabowo tidak seperti pemerintahan sebelumnya. Masyarakat memiliki kerangka normatif bahwa harus ada partai yang cukup signifikan berada di luar pemerintahan untuk mengawasi pemerintahan. Prabowo jangan mengikuti pola Jokowi,” jelasnya.

Lebih jauh Saiful menyatakan bahwa pengalaman pemerintahan, sejak SBY sampai Jokowi, cenderung ingin merangkul semua partai.

“Pada pemerintahan SBY, apalagi di zaman Jokowi, hampir semua partai bergabung ke pemerintah. Belajar dari situ, untuk mengurangi tingkat korupsi dan meningkatkan akuntabilitas pemerintahan, itu bisa terjadi jika ada kekuatan politik yang relatif kuat di luar pemerintahan,” jelasnya.

Dukungan bahwa pemerintah harus mendapatkan pengawasan dari DPR dan supaya pengawasan itu sungguh-sungguh, harus ada partai politik yang memiliki wakil di DPR berada di luar pemerintah lebih banyak berasal dari warga dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi dibanding yang lebih rendah. Ada 75,2 persen warga lulusan perguruan tinggi yang setuju pandangan tersebut, sementara yang lulusan SD sebesar 64,4 persen. Sebaliknya, yang percaya pemerintah tidak perlu betul-betul diawasi karena mereka memiliki itikad baik lebih banyak dukungan dalam warga lulusan SD (30,1 persen) dibanding lulusan perguruan tinggi (20,7 persen).

Hal yang serupa terjadi pada pandangan untuk pengawasan kerja presiden secara efektif perlu ada mendekati separuh partai politik yang berada di luar pemerintahan. Terhadap pandangan ini, ada 68 persen warga lulusan perguruan tinggi yang setuju, sementara dari kalangan lulusan SD yang setuju hanya 59 persen. Sebaliknya, sebanyak 29 persen lulusan SD dan 28 persen lulusan perguruan tinggi yang tidak setuju.

Data ini menunjukkan bahwa pada dasarnya publik menginginkan agar ada kekuatan politik penyeimbang di luar pemerintahan. Dan pandangan itu lebih kuat di kalangan warga yang memiliki pendidikan lebih tinggi.

“Perlunya the winners dan the loosers diakui oleh semua pemilih. Tapi lebih kuat lagi di kalangan yang berpendidikan lebih baik,” jelasnya.

Saiful menjelaskan bahwa ada kecenderungan presiden terpilih ingin merangkul semua partai politik. “Bahasa atau mantra dalam pidato-pidato Prabowo Subianto belakangan adalah tentang persatuan. Karena itu kalau ada partai politik yang tidak ikut bersama pemerintah, maka itu adalah ancaman terhadap persatuan (menurut Prabowo),” ungkap penulis buku Muslim Demokrat tersebut.

Saiful mengingatkan bahwa Indonesia menganut sistem presidensial. Presiden dipilih secara kompetitif. Pasti ada yang kalah dan ada yang menang. Dan diharapkan yang kalah berfungsi sebagai pengawas.

“Seharusnya partai-partai yang kalah dalam pemelihan presiden 2024 lalu semuanya menjadi oposisi. Demikianlah seharusnya kita membangun sistem bahwa demokrasi selain membutuhkan the winners, juga membutuhkan the loosers,” pungkasnya.

RELATED ARTICLES

Terbaru