Hetifah Sjaifudian: Kita Harus Memastikan Semua Anak Punya Akses Internet dan Gawai

    0
    1317

    Presentasi Hetifa Sjaifudian menanggapi rilis survei SMRC: Asesmen publik tentang pendidikan online di masa Covid-19, 18 Agustus 2020. Hetifa Sjaifudian adalah Wakil Ketua Komisi X DPR RI dari Partai Golkar.

     

    Kita semua yang ada di sini sangat mengapresiasi adanya satu upaya untuk menampilkan informasi, data-data, suara-suara, khususnya dari mereka yang mungkin tidak punya kesempatan menyalurkan suaranya melalui forum-forum yang resmi.

    Dengan adanya survey-survey semacam ini, pendapat publik bisa didestilasi dan akomodasikan kepada mas Menteri dan kami di komisi X, dan masyarakat ikut mengawalnya.

    Data ini sangat bagus sekali karena tidak mudah mengambil satu informasi atau data yang lengkap yang akurat. Lengkap dalam arti representatif, mencerminkan realita yang ada di lapangan, juga akurat, dan terbarukan.

    SMRC jelas metodologinya, dan sejak awal-awal tadi sudah diungkapkan apa kekurangan dari survey by phone. Memang kondisi tidak ideal, kita tidak boleh tidak melakukan sesuatu karena suatu hambatan, yang penting kita mungkin bisa nanti melakukan upaya-upaya tambahan,

    Mungkin untuk pak Totok (Kabalitbang Kemdikbud) ini masukan bagaimana kita bisa mungkin melengkapi survey-survey semacam ini dengan data-data kualitatif yang lebih mendalam ataupun nanti bahkan data hyper-micro lainnya sebagai kelanjutan survey ini.

    Survei SMRC ini sangat saya apresiasi.

    Ijinkan saya menyampaikan beberapa poin.

    Kita semua sepakat bahwa temuan survei ini sangat penting karena dengan adanya pembelajaran yang tidak normal dan tidak ideal. Pada saat yang sama temuan menguak banyak hal yang menjadi hak publik.

    Pertama kita tentunya sangat memahami, kalau kita DPR, pasti saya juga harus me-refer kepada konstitusi Kembali. Bahwa kita memang harus melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.

    Memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan satu-satunya sektor yang mendapatkan perhatian yang begitu serius adalah pendidikan.

    Setiap warga wajib, setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan juga berkembang, serta mendapatkan perlindungan, ini adalah satu amanat yang kita semuanya harus kembali lagi kesini.

    Dengan adanya kondisi pendidikan yang seperti ini yang tadi realitanya disampaikan, saya akan bahas beberapa poin.

    Saya kira kita harus kembalikan lagi apakah hak-hak anak kita untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran sesuai dengan undang-undang, baik itu undang-undang tentang sistem pendidikan nasional ataupun perlindungan anak.

    Dalam konstitusi kita sampai 18 tahun usia anak di Indonesia yang kita anggap kita anak, termasuk berarti mahasiswa juga.

    Terkait dengan amanat karena kita sudah meratifikasi hal-hal yang terkait dengan hak anak ini. Adanya pandemi yang adalah satu ancaman, menjadi tantangan kita dalam pembuatan kebijakan.

    Kita sering ada pro-kontra kan. Manakah yang didahulukan? Apakah kesehatan, yakni hak hidupnya, atau hak atas pendidikannya. Apakah sekolah dibuka.

    Jadi saya kira, kita pemerintah, dan kami di DPR, tentunya saat ini karena kita belajar dari rumah, sesuai dengan amanat hak-hak anak ini, kita harus membantu keluarga.

    Sayangnya, terus terang dalam kementrian yang baru, struktur yang baru ini, perhatian kepada pendidikan keluarga dan pendidikan masyarakat agak minimal.

    Kita lebih fokus pendidikan formal, di sekolah, di kampus-kampus.

    Padahal pemerintah itu perlu membantu keluarga agar mereka juga bisa memenuhi tanggung-jawabnya untuk memastikan bahwa orang tua dan wali juga punya tanggung jawab kepada anak-anak mereka.

    Ketika tadi disampaikan dari hasil survey orang tua mengalami kesulitan ekonomi, dan juga itu mempengaruhi tanggung jawab mereka kepada anak-anak mereka termasuk dalam konteks pendidikan.

    Padahal pendidikan yang berkualitas, apalagi pendidikan dari mulai PAUD sekarang, sebenarnya bukan hanya pendidikan dasar saja. PAUD, pendidikan dasar menengah, bahkan kita sebenarnya ingin mendorong setiap anak itu menempuh pendidikan hingga tingkat setinggi-tingginya.

    Kalau soal anggaran, kita tahu anggaran 20 persen di pendidikan itu sekurang-kurangnya, bisa minta lebih. Untuk bicara anggaran kita sebenarnya dalam politik anggaran harus menggunakan survey-survey semacam ini untuk bisa mendiskusikan dengan kementerian-kementerian lain.

    Di kementerian keuangan selama pandemi, kita punya anggaran 500 triliyun untuk mengatasi pandem. Kita bisa saja minta untuk pendidikan 5 triliyun. Tapi sayangnya tidak ada yang kembali ke sektor pendidikan pada saat ini.Jadi mungkin untuk yang akan datang pemerintah Jokowi sudah pidato untuk 2021, tentunya kami berharap.

    Khusus terkait temuan survei SMRC, ada banyak hal yang sebenarnya sangat menarik walaupun kalau bagi kami sebagai policy maker pastikan setiap temuan itu mengundang pertanyaan “so what?” Misalnya, kalau ada temuan yang gini, berarti kita harus gimana ya.

    Tentu ini di luar tanggung- SMCR. SMCR sudah bagus mengemukakan data-data yang terbarukan seperti ini.

    Tugas mas Totok (Kabalitbang Kemdikbud) dan kawan-kawan dan kita di DPR untuk memastikan bahwa hasil-hasil ini, digunakan, ditindak lanjuti didalam policy.

    Jadi ada 24 persen warga yang masih tidak punya akses ke internet, tentu saja tadi sudah diakui adanya bias dengan kita menggunakan model survey melalui telephone. Pasti ada lack of representative dari mereka yang justru sama sekali sudah tidak menggunakan handphone dan mungkin ini lah orang-orang yang paling, paling susah.

    Jadi sebenarnya tugas kita mencegah jangan sampai terjadi yang kita sebut digital divide. Mereka yang tidak punya akses sama sekali ke internet, tidak punya akses, tidak punya gawai itu kemudian juga dia bahkan mungkin tidak terjangkau saat ini, yang makin ketinggalan.

    Sementara kalau teman-teman seperti yang di Sampoerna University , Alhamdulillah saya senang bagus sekali, mereka mungkin juga sekarang bahkan bisa dengan fasilitas yang ada. Belajar dari semua pengajar yang ada di seluruh dunia malahan. Jadi lebih cepet akses kepada informasinya.

    Sebenarnya kita harus lebih ambisius daripada apa yang ada sekarang, saya terus terang sudah berapa kali waktu rapat mencoba mendorong agar terjadi satu kolaborasi antara mas menteri dan menteri-meteri lain. Misalnya menteri kominfo dan perindustrian, seharusnya ada MOU 3 menteri. Kemarin kan MOU didalam pembukaan sekolah dengan menteri agama, dengan mendagri, dan sebagainya.

    Tapi terkait dengan gawai dan juga terkait dengan internet, ini harusnya 3 menteri bikin MOU kapan kita bisa memastikan bahwa anak-anak yang tidak punya gawai ini punya gawai. Guru-guru yang gak punya laptop, punya laptop. Orang tua yang juga sekarang harus sharing, dia juga masih punya kesempatan mendapatkan handphone lebih, kalau dia bekerja tidak rebutan dengan anaknya.

    Ini benar-benar harus ambisius, dan sebenarnya saya menanyakan kepada kampus dulu, mantan saya kuliah di ITB, Bisa gak sih kamu dalam waktu 1 tahun memproduksikan dengan mungkin konten dalam negerinya yang banyak jadi supaya kita tidak impor, harganya jadi murah terjangkau.

    Sebenarnya oke mereka memproduksi. Tapi kalau misalnya nanti mereka sudah memproduksikan, sekarang kan ada 44 juta siswa, ada 7 juta mahasiswa, dan 3 juta guru, ada sekian juta orang tua, itu banyak banget pasarnya sudah keptis. Walaupun demikian ini belom terjadi, saya belum melihat ada tanda-tanda kolaborasi ini bakalan terjadi.

    Tapi saya akan berusaha terus mengkatalisir proses ini.

    Sementara kami di DPR mencoba media-media alternatif; TVRI, RRI, bahkan media-media online pun gimana bisa menjadi sumber edukasi masyarakat secara luas.B agaimana bisa menjaga kesehatan COVID, dihadapi seperti apa new-normal, harus seperti apa, tapi juga hal-hal yang terkait dengan kurikulum.

    Ada temuan SMRC bahwa warga yang punya anggota keluarga yang sekolah atau kuliah online mereka merasa cukup berat. Sebenarnya mas Totok (Kabalitbang Kemdikbud) juga bikin beberapa survey, namun yang soal biaya-biaya ini kayanya belum, jadi ini bisa melengkapi anggaran berapa yang dikeluarkan untuk belajar online ini. Jadi kita perlu juga upaya lebih jauh untuk meringankan biaya ini yang memang berasal dari pulsa.

    Beberapa negara bisa menggratiskan pulsa sama sekali, tapi kita sebenarnya melihat sekarang upayanya itu masih sporadis. Saya apresiasi misalnya beberapa pemerintah daerah seperti di propinsi Kaltim, dapil saya, sudah membuat MOU dengan telkomsel. Jadi nanti yang bayar pemprov pakai APBD, tapi di diskon besar-besaran dari telkomsel. Jadi upaya seperti ini juga teman-teman dari dinas bekerja sama dengan komunitas pendidikan kita ada gerakan donasi handphone, misalnya,

    Selama ini sudah banyak sebenarnya program dari pemerintah sendiri, nanti mas Totok (Kabalitbang Kemdikbud) yang bertugas untuk bisa menjelaskan seperti fleksibilitas, ada relaksasi dana BOS.

    Kan seharusnya itu bisa digunakan kalau 50 ribu atau 100 ribu perbulan untuk orang tua atau siswa yang tidak mampu.

    Kemudian saya juga pikir kalau kita sudah punya data, data yang saya harapkan data hyper-micro itu, Apakah bisa setiap sekolah menyajikan data didalam dapodiknya, atau data apa yang terbarukan, berapa siswa di kelas A yang memang betul-betul membutuhkan afirmasi ini. Afirmasinya ada yang berupa pulsa saja, ada yang mungkin harus diberikan subsidi pengadaan gawai. Jumlahnya sebenarnya berapa yang butuh ini.

    Kalau survey menurut saya tidak cukup, karena nanti takutnya kita produksi misalnya 1 juta handphone kemana duluan handphone ini dibagikan. Itu bisa ribut lagi, karena hampir semua kebijakan pemerintah bisa tidak tepat waktu dan tidak tepat guna atau tidak tepat sasaran karena datanya itu kan alasannya.

    Kami ingin untuk di pendidikan, sebenarnya ini bisa disajikan satu data yang betul-betul lengkap sifatnya kayak sensus. Jadi big data pendidikan kita tentang realitas seperti ini. Tentu saja bisa kan pemda, jadi misalnya kota Samarinda ada sekian sekolah, jadi mirip dengan data ini tapi datanya bukan survey. Masak tidak bisa kita, kan kita punya kepala sekolah, kita punya dinas, kita punya guru-guru, kan bisa survey disetiap kelas. Satu guru menanyakan setiap orang tuanya diwawancara. Kalau yang tidak punya handphone didatangi, kita tanya. Itu mungkin satu tantangan bagi kita ya.

    Kita tersentuh dengan survey SMRC karena bisa mengumpulkan informasi dalam konteks policy.

    Kemudian juga ada beberapa temuan yang menarik soal akses internet lewat handphone. Karena kan ada pendataan mereka yang belum punya telepon genggam, karena mungkin tidak terwakili disini. Kita tidak ingin juga suaranya ditinggal, seolah-seolah mereka tidak exist. Kita harus menseriusi dan mengeksekusi dalam waktu cepat pengadaan gawai ini. Kalau memang tidak bisa satu tahun, saya pikir ini satu tantangan kalau misalnya tidak ada upaya ini, ya kembali akan terjadi kesenjangan yang lebih besar. Yang mampu makin mampu, yang pinter makin pinter, yang kekurangan makin sulit.

    Saya kira juga perlu ada kita pikirkan soal tadi mbak Dorita Sampoerna University mengemukakan pembelajaran jarak jauh itu tidak harus mantengin handphone dan komputer. Ini juga sebenarnya menarik, karena mas Totok (Kabalitbang Kemdikbud) juga sedang membuat kurikulum yang adaptif. walaupun tentu saja membutuhkan tadi peningkatan kompetensi baik guru maupun orang tua. Khususnya orang tua, mungkin guru-guru harus ikut, apalagi ditingkat PAUD, SD, SMP.

    Terakhir soal kelompok-kelompok tertentu yang paling susah.

    Saya senang sekali studi ini memilahkan data berdasarkan gender, di seluruh Indonesia, bahkan wilayah Maluku dan Papua. Jadi kan ada tadi situasi yang membutuhkan afirmasi, pendidikan lebih rendah, pendapatannya lebih kecil, nah gimana program afirmasi ini bisa memprioritaskan kaum-kaum marginal ini. Dan kami, saya sendiri kebetulan memang perempuan, karena melihat tadi perempuan memang yang paling merasa lebih sulit saat ini, apalagi dengan belajar di rumah. Dan surveynya mas Totok (Kabalitbang Kemdikbud) mengemukakan lebih banyak perempuan, 2 per 3 dari survey itu perempuan yang mendampingi anaknya di rumah, walaupun orang tua itu kan bukan cuma ibu, atau bukan cuma kakak perempuan. Jadi anggaran berbasis gender dan juga kalau ada program-program bantuan sosial, jaringan pengaman sosial, seperti PKH, Atau kita kerja sama dengan data-data itu, tambahkan saja komponen pembiayaan pendidikan seperti pulsa ini. Kalau misalnya sekarang setahun atau perbulan mereka dapet berapa ya ditambahin supaya komponen yang terkait pendidikan anak-anaknya itu.

    Kemudian KIP juga kalau bisa karena ada komponen penerima yang baru yang sebelumnya tidak miskin kan survey ini mengemukakan. Ternyata setelah COVID mereka terdampak secara ekonomi, berarti mereka juga jadi eligible, menjadi penerima beasiswa, kalaupun tahun lalu tidak. Kalau nanti standarnya Kemdikbud tidak ganti, berarti jumlah penerimanya nanti jadi tidak bisa bertambah. Kemudian juga kalau bisa uangnya ditambah juga, jadi kalau tadinya 450 ribu ditambahin berapa untuk pulsa. Mungkin itu salah satu jalan keluar.

    Kami juga review bagaimana optimalisasi program belajar di TVRI.

    Saya survey kecil-kecilan. Biasanya kalau saya di Instagram, saya suka kasih pertanyaan. “teman-teman yang belajar dari rumah gimana?” Kemudian ada berapa ratus komentar ya saya itu anggap survey juga. Banyak keluhan-keluhan tidak representatif tapi setidak-tidaknya bisa menjadi catatan-catatan kita untuk perbaikan kedepannya. Mudah-mudahan nanti bisa ditanggapi oleh kemendikbud.

    Terakhir, tidak semua guru melek teknologi. Ada survei ke depan tentang guru untuk melengkapi.

    Kalau untuk kami di DPR sebetulnya ingin tahu, kebijakan yang udah dibikin pemerintah untuk membayar pulsa itu tadi, karen kan tidak ada dalam pertanyaan SMRC. Apakah nyampe atau nggak?

    Satu policy itu dijalankan atau tidak? Kalau tidak dijalankan, kenapa kok reluctance kepala sekolahnya, atau siapa.

    Kemudian juga apa yang sudah dilakukan gerakan-gerakan masyarakat, karena banyak sekali gerakan-gerakan masyarakat untuk membantu dan lain-lainnya.

    Hal ini semua jadi PR. Jadi tidak semua guru melek teknologi, tidak semua murid memiliki hape, tidak semua orang tua mampu mendampingi, dan tidak semua tempat ternyata memiliki koneksi internet memadai. Kita lah pembuat kebijakan harus sensitif akan hal-hal tersebut.

    Menyinggung pernyataan mba Tati (SMRC) tentang dilema-dilema dalam pembuatan kebijakan (membuka sekolah di masa Covid-19).

    Jadi pada awalnya mas menteri itu mengambil kebijakan yang paling aman, tidak membuka sekolah sama sekali. Tapi dengan revisi SKB 4 menteri ini, semacam perluasan sudah mulai belajar tatap muka, dan disertai kurikulum darurat. Kita juga harus berpikir, apa dilema saat kegiatan tidak dilakukan di sekolah secara berkepanjangan. Jadi kalau di rumah 3 bulan oke. Di rumah 6 bulan oke. Di rumah 1 tahun, ada masalah psikologisnya anak.

    Dan kita juga harus buat kedepan, sekolah menjadi tempat yang lebih aman daripada di rumah, atau lebih menyenangkan atau lebih membahagiakan.

    Karena survey yang ada sekarang mengemukakan data anak yang kesulitan belajar di rumah. Sekarang, ketika sekolah tidak dilakukan untuk secara berkepanjangan, kan anak-anak disini persepsinya juga harus didengar. Mereka sebenarnya mulai tidak happy juga, ada 65 persen anak perempuan dan ada 58 persen anak laki-laki mengatakan bahwa tidak setuju belajar di rumah menyenangkan.

    Berarti ada sesuatu yang harus kita lakukan, kalau ini di rumah berkepanjangan ini anak menjadi tertekan, dan juga resiko learning loss, apa yang harus kita lakukan. Ini adalah dilemma yang sedang dihadapi bersama.

    Terimakasih kepada teman-teman SMRC atas surveynya yang membuat kita menjadi tergugah untuk melakukan dan berpikir lebih banyak, menggunakan data lebih banyak, melakukan riset-riset lebih dalam,

    Dan juga membuat kebijakan dengan lebih hati-hati dan cermat tapi berbasis data, fakta, dan juga hasil-hasil penelitian.

    Terimakasih SMRC, terimakasih semuanya.

    Assalamua’alaikum warahmatullahi wa barakatuh.

     

     

     

    TINGGALKAN PESAN

    Silakan masukkan komentar anda!
    Silakan masukkan nama Anda di sini