Dimuat Harian Kompas, 1 Februari 2020

Industri film dunia diberitakan sedang mengalami kejayaan tertingginya dalam sejarah. Pada 2019, angka penjualan tiket global mencapai rekor tertinggi 42,9 miliar dolar AS alias sekitar Rp 595 triliun. Angka ini setara dengan seperempat keseluruhan APBN kita.

Angka tersebut baru merujuk pada pembelian tiket bioskop. Ini belum merujuk pada pemasukan untuk industri film dari berbagai outlet lain, seperti hak tayang di televisi teresterial, televisi berbayar, jasa video online dan DVD.

Tapi apakah perkembangan ini memiliki nilai penting bagi Indonesia? Jawabannya: tergantung pada Indonesia. Kita harus menentukan apakah kita akan sekadar menjadi pasar atau menjadi pemain aktif di dalamnya.

Dominasi Hollywood dalam industri film global sudah sangat dikenal. Bisa dibayangkan bahwa dari Rp 395 triliun di atas, sebagian besar akan mengalir ke Amerika Serikat. Mayoritas negara di dunia ini dikuasai pasarnya oleh film-film Amerika sementara industri film domestiknya tenggelam.

Indonesia menunjukkan sebuah perkembangan menarik. Tahun lalu, industri film nasional juga mencapai pertumbuhan tertinggi dalam sejarah film nasional. Tahun 2019, terdapat 53 juta tiket film nasional yang terjual. Kalau diasumsikan rata-rata harga tiket adalah Rp 40.000; nilai penjualan tiket film nasional mencapai Rp 2.12 triliun

Indikator kecemerlangan industri film nasional juga terlihat dari satu pencapaian lain: untuk pertamakalinya, terdapat 15 film nasional yang penjualan tiketnya mencapai lebih dari 1 juta. Peringkat pertama diduduki film cinta remaja, Dilan 1991, dengan penjualan tiket mencapai 5.253.411.

Dua studi yang dilakukan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) tahun lalu juga menunjukkan temuan penting. Studi September 2019 di 103 kabupaten/kota di Indonesia menunjukkan 9,3% masyarakat Indonesia berusia 17 tahun ke atas menonton film nasional di bioskop; sementara hanya 8,2% menonton film asing di bioskop.

Dalam studi yang sama ditemukan bahwa segmen utama penonton film adalah kaum muda. Misalnya saja, sementara 36% anak muda berusia 17-21 tahun menyatakan menonton film nasional; hanya 6% dari mereka yang berusia di antara 41-55 menyatakan menonton film nasional.

Studi SMRC pada Desember 2019 memberikan gambaran lebih jelas tentang pola menonton di kalangan muda. Studi dengan responden anak muda berusia 15-39 tahun di 16 kota besar di itu menunjukkan bahwa 67% menonton film nasional, sementara hanya 55% yang menonton film asing.

Ini tidak berarti bahwa film domestik sudah mengalahkan Hollywood di pasar Indonesia. Data yang saya peroleh menunjukkan bahwa film Indonesia ‘baru’ mencapai 35% pangsa pasar nasional. 65% masih diisi oleh film asing, terutama Hollywood.

Memang sekilas mungkin terkesan ada ketidakkonsistenan antara hasil survey SMRC dengan data market share. Tidak demikian halnya. Merujuk pada data nasional, mungkin saja hanya 8,2% warga Indonesia yang menonton film asing, namun frekuensi menonton film asingnya selama setahun terakhir jauh lebih banyak daripada frekuensi menonton film nasional.

Bagaimanapun, kita melihat ada tanda mencerahkan dari data ini. Pertama bahwa market share film nasional bisa mencapai 35% adalah petunjuk sehat. Di Asia, hanya 4 negara (Cina, India, Jepang dan Korea Selatan) yang film lokalnya menguasai lebih dari 50% market share. Yang lain jauh di bawah 30%. Umumnya negara Eropa, market share film lokalnya juga jauh di bawah 30%. Kedua, bahwa ternyata jumlah mereka yang bersedia datang ke bioskop dan membeli tiket film nasional lebih besar daripada yang membeli tiket film asing menunjukkan bahwa film Indonesia sebenarnya sudah berpotensi menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Data tentang penonton ini menjadi penting karena sebelumnya tumbuh skeptisisme tentang kemampuan film nasional menghadapi serbuan Hollywood (dan mungkin juga Korea Selatan) ke Indonesia. Ada kecemasan bahwa anak muda Indonesia yang tumbuh dalam era keterbukaan informasi sudah tidak lagi tertarik dengan film local. Ada anggapan, anak-anak muda Amerika sudah kehilangan akar keindonesiaannya. Tanpa penonton, film Indonesia diramalkan akan hancur.

Skeptisisme ini bukan tanpa alasan. Film nasional sempat dikuatirkan mengalami kebangkrutan sekitar 5-9 tahun yang lalu. Pada 2011, tidak ada satupun film nasional yang penjualan tiketnya lebih dari 1 juta; pada 2015, hanya ada tiga film yang masuk kategori itu. Tapi kemudian setelah itu, secara mengejutkan pergerakan film nasional mengalami percepatan, sehingga pada 2019 ada 15 film yang penjualan tiketnya lebih dari satu juta.

Walau barangkali sumbangannya bagi sektor ekonomi keseluruhan relatif kecil, industri film selalu dipandang sebagai sektor strategis dalam sebuah negara. Siklus hidup film relatif panjang. Film Charlie Chaplin yang diproduksi hampir seabad lalu, saat ini masih bisa dijual dalam beragam format. Biaya pembangunan industri film relatif kecil, tidak membutuhkan modal raksasa. Sektor ekonomi kreatif digambarkan sebagai sektor padat ide, bukan padat modal.

Biaya terbesar yang harus diemban produser adalah produksi kopi master. Setelah itu, penambahan biaya untuk penggandaan relatif murah. Elastisitas permintaan terhadap produk film pun tinggi. Selama konsumen mampu membayar tiket, seorang konsumen bisa saja menyaksikan film di bioskop 3-4 kali dalam sebulan.

Namun yang juga dianggap penting adalah film disebut sebagai intagible product yang mempengaruhi nilai, cara berpikir, gaya hidup, pemikiran khalayak. Film adalah sebuah industri kebudayaan: industri yang memproduksi budaya.

Korea Selatan adalah negara yang menyadari keunggulan sektor ekonomi kreatif. Pemerintah negara ini berkomitmen menjadikan Korsel sebagai kekuatan utama industri budaya global sejak 20 tahun lalu, saat pasar film domestik dikuasai Hollywood. Kini kerja keras mereka membuahkan hasil. Jumlah penduduk Korea Selatan ‘hanyalah’ 51 juta. Tapi jumlah tiket film nasional yang terjual mencapai lebih dari 114 juta, lebih besar dari film asing yang ‘hanya’ sekitar 105 juta.

Lebih dari itu, film-film Korsel pun mengalir ke seluruh dunia. Film Parasite (2019) memperoleh begitu banyak penghargaan di ajang festival internasional. Pemasukan totalnya dari pasar di seluruh dunia mencapai US$ 160 juta, dengan US$ 31 juta dari pasar Amerika Serikat. Melalui Netflix, televise berbayar dan rantai bioskop CGV, penonton di Indonesia bisa dengan mudah mengakses dan perlahan menjadi fans film-film Korea.

Indonesia bisa berkaca pada pengalaman Korea Selatan. Indonesia bisa saja mengabaikan upaya serius untuk membangun industri film nasional. Tapi harus diingat, industri film global, dengan beragam platformnya, akan terus tumbuh. Masyarakat akan terus menonton film. Pertanyaannya film apa yang akan mereka tonton?

Bila Indonesia lalai dan membiarkan produk Hollywood dan Korea Selatan (dan mugnkin negara lain berikutnya) mendominasi tontonan kaum kelas menengah Indonesia, kita sadar bahwa kita sedang membiarkan setiap hari rupiah kita mengalir ke luar negeri tanpa ada aliran uang ke dalam yang setara. Ini bukan cuma soal tergerusnya kebudayaan local, namun juga kerugian ekonomi yang luar biasa.

Dalam era ekonomi global saat ini, upaya proteksi dengan membatasi produk asing sama sekali tidak realtistis. Memaksa gedung bioskop di Indonesia atau jasa televise berbayar Indonesia atau penyedia jasa film internet memprioritaskan produk nasional, tidak akan bisa diterapkan kalau masyarakat tidak menganggap film nasional layak tonton.

Karena itu jawabannya adalah membangun industri film nasional, sebagaimana yang dilakukan Korea Selatan. Saat ini dengan 264 juta penduduk, jumlah tiket terjual di Indonesia hanyalah 151 juta. Dengan demikian ada pasar potensial yang sangat luas untuk digarap bagi industri film nasional.

Namun upaya membangun film nasional ini hanya bisa dilakukan bila pemerintah berperan aktif. Industri kreatif Korea Selatan tidak tumbuh pesat karena peran swasta semata. Pemerintah Korsel turun tangan, menyediakan dana besar, melibatkan pihak swasta untuk mendanai dan mendorong industri film, music, drama televisi, agar bisa perkasa di pasar domestik, namun juga di pasar dunia.

Kehadiran pemerintah ini yang tidak terasa di Indonesia. Kebangkitan film Indonesia sepenuhnya ditentukan oleh kreativitas, semangat, komitmen para pelaku industri. Sumbangan pemerintah lebih bersifat dukungan, semangat, doa dan dana tak seberapa.

Dengan menyadari arti penting industri film dan sektor ekonomi kreatif lainnya, sudah saatnya pemerintah Jokowi memberi bantuan yang rentangnya bisa sangat luas: memberi keringanan pajak, menyelenggarakan rangkaian pelatihan, mensubsidi pembuatan film dengan standard mutu tertentu, membantu pendanaan dan memfasilitasi promosi film, mendanai pusat pendidikan perfilman, menyelenggarakan festival film berstandard internasional, membantu pengembangan tempat pemutaran film local di berbagai daerah, mensubsidi pengembangan film daerah, mendanai penulisan skrip berkualitas dan seterusnya.

Dengan kualitas dan kreativitas pelaku industri film Indonesia, kita tidak usah ragukan bahwa Indonesia bisa mengikuti kisah sukses Korea Selatan. Sebagaimana hasil studi SMRC, anak muda Indonesia menyukai film nasional. Mereka menonton bukan karena nasionalisme. Mereka menonton karena film Indonesia memang menarik untuk ditonton.

Para pemodal dan pekerja industri film nasional sudah menjalankan peran mereka. Tapi perkembangannya kemudian tidak bisa diserahkan hanya pada pelaku industri dalam konteks mekanisme pasar. Yang ditunggu sekarang ini adalah kehadiran pemerintah. Mudah-mudahan Presiden mendengar.

Ade Armando, Direktur Komunikasi Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC)

Dr. Ade Armando (Universitas Indonesia) Bidang Kajian: Media Massa Meraih gelar doktoralnya dari Universitas Indonesia dalam bidang Komunikasi Massa dan gelar masternya dari Florida State University di Talahasse dalam bidang Kependudukan, Ade Arman-do dikenal sebagai pengamat, peneliti sekaligus aktivis dalam dunia komunikasi Indonesia. Mi-nat penelitiannya mencakup kebijakan penyiaran nasional dan dampaknya terhadap pengua-saan ruang-ruang frekuensi siaran daerah oleh kekuatan beberapa media nasional yang ber-pusat di Jakarta. Ia pernah menjadi jurnalis di sejumlah media massa, manager riset media di Taylor Nelson Sofres, Komisioner di Komisi Penyiaran Indonesia, terlibat dalam penyusunan se-jumlah UU terkait media massa serta menulis di jurnal nasional dan internasional. Dia juga mengajar di Departemen Komunikasi Universitas Indonesia.

1 KOMENTAR

  1. paragraf ke 13 harus dikoreksi, mungkin typo ya.

    “Ada anggapan, anak-anak muda Amerika sudah kehilangan akar keindonesiaannya. Tanpa penonton, film Indonesia diramalkan akan hancur.”

Tinggalkan Komentar