Merajut Kebinekaan Kita sebagai Negara-Bangsa: Refleksi 75 Tahun Indonesia

2467

Disampaikan pada Pidato kebangsaan memperingati hari kemerdekaan RI dan dies natalis UIN Jakarta, 18 Agustus 2020.

Oleh SAIFUL MUJANI

Merajut kebinekaan kita sebagai negara-bangsa adalah sebuah pengakuan dan peneguhan akan keberagaman berbagai komponen negara-bangsa kita yang harus dijaga dan diperkuat dalam rangka memperkuat persatuan negara-bangsa kita.

Secara lebih khusus, kebinekaan itu terkait dengan identitas sosial, agama dan faham keagamaan yang diyakini oleh berbagai kelompok anak bangsa.

Perguruan tinggi Islam, sebagai institusi di mana pemikiran keislaman dikembangkan, harus berada di garis paling depan dalam upaya merajut keberagaman agama dan faham keagamaan anak bangsa.

Pergumulan Ideologis Menjelang Kemerdekaan

Pemerintah kolonial Jepang membentuk badan atau lembaga khusus untuk menyiapkan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI/PPKI).

Di badan tersebut, diperdebatkan, di antaranya yang krusial, apa yang bakal menjadi dasar atau ideologi Indonesia sebagai negara-bangsa yang akan berdiri nanti.

Kalau disederhanakan, ada dua kubu dengan sikap berbeda: Kubu politik Islam yang menghendaki Islam sebagai dasar negara-bangsa Indonesia, dan kubu yang lainnya menghendaki agar dasar negara Indonesia pada dasarnya adalah kebangsaan Indonesia itu sendiri yang memberlakukan setara semua identitas sosial-politik dan agama di hadapan Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa.

Hasil pergumulan di BPUPK/PPKI sebelum Indonesia merdeka tersebut adalah Pancasila dan UUD 1945.

Dalam Preambule UUD 1945 itu, yang dikenal dengan nama Piagam Jakarta, yang disusun sebelum Indonesia merdeka oleh bapak-bapak bangsa kita waktu itu, dan dipercaya mewakili berbagai kebinekaan kita, terdapat kata-kata berikut ini: maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia dalam suatu hukum dasar negara Indonesia yang berbentuk dalam satu susunan negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Penerimaan Kebinekaan, 1945-1955

Pada 17 Agustus 1945 pagi, Bung Karno mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. UUD yang jadi landasan Indonesia merdeka itu adalah UUD 1945 yang memuat tujuh kata tersebut dalam pembukaannya.

Pada sore hari, Bung Hatta menyampaikan kepada tim perumus UUD 1945 itu, para pendiri bangsa kita, suatu keberatan dari anak bangsa dari bagian timur dengan tujuh kata tersebut. Tujuh kata itu membuat sebagian anak bangsa tidak diberlakukan setara di hadapan negara-bangsa yang baru dinyatakan merdeka itu.

Aspirasi anak bangsa dari bagian timur tersebut kemudian diterima termasuk oleh pemimpin umat Islam yang sebelumnya menghendaki Indonesia berdasar pada Islam atau setidaknya 7 kata tersebut tercantum dalam pembukaan UUD 1945. 7 kata tersebut kemudian diganti dengan “Ketuhanan yang maha esa.”

Dengan perubahan itu, maka secara konstitusional semua elemen bangsa yang beraneka agama dan pemahamnnya itu berdiri setara di hadapaan negara-bangsa yang baru diproklamasikan tersebut. Itu adalah capaian besar para bapak pendiri negara-bangsa kita.

Kegagalan Demokratis Merajut Kebinekaan, 1955-1959

Tapi UUD 1945 yang tanpa tujuh kata tersebut nampaknya belum final. Untuk itu, dibentuk badan khusus untuk menyelesaikan secara demokratis masalah konstitusi atau UUD tersebut. Maka diadakan pemilu demokratis bukan hanya untuk memilih anggota parlemen tapi juga untuk memilih anggota Konstituante dengan tugas utama nantinya adalah menyelesaikan masalah UUD tersebut.

Pemilihan umum pertama dan demokratis berlangsung pada 1955 untuk memilih anggota parlemen (DPR) dan anggota Konstituante.

Di luar parlemen/konstituante, sekelompok umat yang menamakan dirinya Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) memperjuangkan aspirasi negara Islam lewat perjuangan bersenjata (1949-1962). Perjuangan DI/TII ini sebagai reaksi terhadap pemerintah dan wakil umat di pemerintah yang dinilai kompromistis.

Tapi sejarah mencatat perjuangan bersenjata ini gagal, berakhir 1962 ketika pemimpinnya, Kartosuwiryo, ditangkap dan dihukum mati. Dipercaya sejak itu gerakan DI/TII, walapun melemah, masih ada hingga hari ini.

Di Konstituante, telah dirumsukan rancangan UUD secara komperhensif, dan menurut penilian para ahli konstitusi, sudah mencerminkan konstitusi modern.

Namun ada satu hal dasar yang tak bisa disepakati oleh para wakil rakyat: apakah UUD itu bersandar pada Islam atau pada konsep ketuhanan yang inklusif bagi berbagai agama anak bangsa. Terjadi deadlock karena musyawarah mufakat tak tercapai, dan voting tak mencukupi 2/3 peserta yang hadir yang disyaratkan untuk membuat keputusan tentang konstitusi.

Konstituante gagal, dan akhirnya dibubarkan pada 1959 lewat dekrit presiden Soekarno. Dalam dekrit itu dinyatakan Indonesia kembali ke UUD 1945 dengan rumusan yang menampung aspirasi anak bangsa dari bagian Timur itu.

Demokrasi berakhir dan digantikan oleh sistem otoritarian Bung Karno yang dikenal dengan istilah “demokrasi terpimpin.” Watak otoritarian sistem ini dapat dilihat misalnya ketika Bung Karno membubarkan partai politik pada 1960: Masjumi dan PSI.

Merajut Kebinekaan Lewat Otoritarianisme

Konstituante gagal merumuskan UUD baru terutama karena tidak dicapai kesepakatan apakah Islam atau ketuhanan yang maha esa yang menjadi dasar negara.

UUD 1945 tanpa tujuh kata itu menjadi UUD lewat dekrit Presiden Soekarno, karena musyawarah dan voting gagal, dan berlaku hingga Bung Karno mengakhiri jabatannya sebagai presiden.

Hasil dekrit itu dilanjutkan oleh Orde Baru, juga lewat otoritarianisme yang lebih sistematik.

Di bawah Orde Baru, kebinekaan dirajut secara otoritarian selama 32 tahun (1966-1998). Kegagalan konstituante selalu dijadikan rujukan buruk bahwa UUD tidak bisa diperbaiki (amandemen), tidak bisa dimusyawarahkan. Memusyawarahkannya dianggap membuka kotak pandora yang dapat mengancam keberlangsungan negara-bangsa kita.

Harus diakui bahwa pada masa Orba, kebinekaan terjaga, tapi cara menjaganya dengan dipaksakan, dengan kekerasan, dengan cara tidak beradab.

Elite Orba selalu mengkampanyekan bahwa kebinekaan tidak bisa diserahkan pada kesukarelaan komponen-komponen bangsa. Cara paksa atau kekerasan merupakan pilihan. Pancasila dipaksakan harus menjadi asas bagi semua organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan.

Padahal bukan hanya soal apakah Islam harus menjadi dasar negara atau tidak, UUD 1945 sebelum amandemen masa reformasi 1998-2002 pada hakekatnya merupakan landasan untuk sebuah pemerintahan otoritarian.

Dalam UUD 1945 sebelum amandemen, lembaga tertinggi adalah MPR yang anggotanya sebagian diangkat oleh presiden sehingga tidak ada peluang untuk suksesi kepemimpinan nasional bagi perbaikan negara-bangsa.

Dan terbukti Orba mengalami pembusukan dan krisis. Hasil pembangunan yang dibangga-banggakan sebelum 1997, sebagian lenyap dalam waktu sekejap, karena kelembagaan ekonomi/perbankan di bawah Orba rapuh ketika menghadapi gelombang krisis moneter dari luar. Akhirnya Orba harus diakhiri dengan paksa, dan demokrasi kemudian menjadi alternatifnya.

Merajut Kebinekaan Kita Secara Demokratis, 1998- 

Orba selalu mengkampanyekan perubahan UUD secara demokratis akan menyeret Indonesia ke jurang kehancuran.

Reformasi dan demokrasi yang mulai dijalankan lewat kepemimpinan Presiden B.J. Habibie adalah ujian apakah klaim Orba itu benar.

Apakah demokrasi, kesukarelaan, tidak akan mampu menghasilkan landasan bagi kehidupan kebangsaan kita? Apakah demokrasi tidak akan mampu merawat dan memperkokoh kebinekaan kita sebagai negara-bangsa?

Kita bersyukur Presiden Habibie menjadikan pemilihan umum demokratis sebagai agenda utamanya pada masa transisi dari otoritarianisme Orba ke demokrasi yang diharapkan.

Banyak yang khawatir apakah bangsa kita bisa menyelenggarakan pemilu secara demokratis dan damai. Waktu telah menjawabnya: Pemilu demokratis dan damai dapat dilakukan, dan dinilai dunia sebagai pemilu pertama yang sangat demokratis.

Ketika KPU tak mampu menetapkan hasil pemilu 1999, sesuai dengan UU, presiden Habibie mengambil alih dan menetapkan hasil pemilu sehingga kita ke luar dari ketidakpastian politik. Demokrasi terselamatkan.

Dengan hasil pemilu demokratis itu kita bangsa Indonesia mulai dapat membenahi dasar negara kita secara demokratis seperti diupayakan namun gagal pada 1955-1959 dulu.

Oleh wakil kita yang kita pilih secara sukarela untuk duduk di DPR dan MPR amandemen secara demokratis dilakukan sebanyak 4 kali. Hingga hari ini kita punya UUD baru yang lebih mencerminkan bangsa yang beradab (demokratis).

Rakyat mampu memilih wakilnya secara demokratis, dan wakilnya di MPR mampu melakukan amandemen UUD 1945, yang gagal dilakukan pada tahun 1950-an dulu, dan tak disentuh Orla maupun Orba, adalah fakta terang benderang bahwa kita mampu sebagai bangsa meletakan fondasi bagi Indonesia modern, untuk merajut kebinekaan kita.

Harus diakui bahwa pada masa awal reformasi, gejolak dan konflik dengan korban tidak sedikit telah terjadi dengan warna identitas sosial (agama dan suku-bangsa dan kedaerahan) yang cukup kental: Maluku, Maluku Utara, Kalimantan, dan Sulawesi. Tapi secara umum demokrasi kita bisa melewati ujian berat itu.

Ujian berikutnya adalah masalah lama dari Aceh dan Papua. Dua status khusus diberikan sebagai jalan demokratis untuk kedua daerah itu. Saya menilai kedamaian di Aceh banyak mengalami kemajuan di bawah demokrasi ini.

Yang masih banyak menyisakan pekerjaan rumah adalah keadaan di Papua. Kekerasan dan korban jiwa dari warga maupun petugas keamanan sampai hari ini masih belum berakhir. Ini tantangan demokrasi kita dalam rangka merajut kebinekaan berbagai daerah dan anak bangsa.

Lepas dari berbagai kekurangan di sana sini, di sejumlah daerah, bangsa kita sejak peralihan dari rezim Orde Baru ke rezim demokrasi sekarang dinilai dunia telah mengalami banyak kemajuan dalam pembangunan politik yang relevan dengan rajutan kebinekaan kita.

Sejak 1998, demokrasi kita mengalami kemajuan hingga 20 tahun berikutnya (2019) dalam aspek hak-hak politik. Tapi dalam 6 tahun terakhir mengalami sedikit kemunduran dalam hal-hal yang banyak berkaitan dengan kebinekaan kita sebagai negara-bangsa.

Tantangan “Islamisasi Indonesia” 

Ada juga yang menyebut sedang terjadi apa yang para ahli itu sebut sebagai   “kembalinya koservativisme Islam,” bangkitnya “populisme Islam” yang semuanya berkonotasi negatif bagi kebinekaan dan keadaban politik kita (demokrasi) (Bruinessen 2013, Hadiz 2015, Mietzner 2018).

Kita yang menjalani hidup dalam kebinekaan ini dapat merasakannya, merefleksikannya, apakah pengamatan para ahli itu benar.

Apak maksudnya sedang terjadinya “Islamisasi Indonesia”? Apa itu “kembalinya konservativisme Islam”? Apa itu kebangkitan “populisme Islam”? Ada sikap, perilaku, aspirasi, gerakan dari umat Islam yang menghendaki agar perilaku orang Islam dan kebijakan-kebijakan publik sesuai dengan norma-norma Islam.

Perilaku dan gerakan itu disebut “koservatif” karena bertumpu pada norma-norma lama Islam yang pada dasarnya bukan bagian dari doktrin dasar Islam, atau setidaknya tidak ada konsensus di antara ahli Islam itu sendiri. Lebih banyak berkaitan dengan furu’ atau cabang, bukan dengan ushul atau dasar agama. Perilaku konservatif bertumpu pada norma Islam lama yang dinilai tak mencerminkan perubahan zaman.

Disebut kebangkitan “populisme Islam” adalah kebangkitan sentimen, sikap, dan perilaku dari massa Islam untuk mendeskriminasi non-Islam dan asing. Non-Islam dan asing dinilai sebagai ancaman terhadap umat Islam.

Di mana Islamisasi itu terjadi? Islamisasi bisa terjadi di wilayah keluarga, di lingkungan sosial lebih luas, dan di wilayah publik yang membutuhkan keterlibatan atau keputusan negara atau pemerintah (kebijakan publik).

Islamisasi di wilayah keluarga dan kehidupan sosial yang tidak menuntut enforcement negara, dilakukan secara sukarela, maka Islamisasi itu kalaupun terjadi tidak bisa dikatakan sebagai ancaman terhadap kebinekaan kita sebagai negara bangsa.

Yang jadi masalah bagi kebinekaan Indonesia adalah apabila Islamisasi itu merupakan produk kebijakan negara atau pemerintah meskipun hanya berlaku bagi yang beragama Islam.

Bila itu yang terjadi, maka sesungguhnya Piagam Jakarta kembali hidup dalam demokrasi Indonesia sekarang: Sebuah kebijakan negara pusat atau daerah yang hanya berlaku bagi orang Islam, dan tak berlau bagi non-Islam.

Kebijakan negara yang demikian adalah kebijakan sektarian dan diskriminatif, mengingkari konstitusi kita yang inklusif terhadap kebinekaan agama.

Menurut sebuah studi, sejumlah kebijakan publik yang eksklusif, hanya mengakomodasi kepentingan satu kelompok Islam (sektarian), mendiskriminasi non-Islam, telah dibuat di banyak daerah (Buehler 2013).

Dalam kurun waktu 1999-2009, setidaknya ada 169 kebijakan publik di berbagai daerah, provinsi dan kabupaten/kota, yang masuk dalam kategori kebijakan publik bersyariah. Kepala daerah yang mengakomodasi kebijakan semacam itu mayoritas berlatar belakang atau mantan birokrat, TNI, dan Polri.

Di banyak negara yang penduduknya mayoritas Muslim, upaya membuat kebijakan publik terkait dengan syariat Islam biasanya datang dari wakil rakyat dari partai berideologi Islam.

Kalau pola itu yang diharapkan terjadi di Indonesia, maka kebijakan bermuatan syari’ah itu menjadi sulit diwujudkan karena partai berideologi Islam terlalu kecil untuk berhadapan dengan partai nasionalis. Kalau PKS adalah partai yang paling berideologi Islam, kekuatan PKS terlalu sedikit untuk mewujudkan setiap kebijakan syari’ah di masa reformasi ini.

Tapi yang terjadi di sejumlah daerah tanah air kita, menurut sebuah studi, kebijakan publik bermuatan syari’ah justeru dilakukan oleh legislator daerah dari banyak partai nasionalis, bukan hanya partai berideologi Islam seperti PKS. (Buehler 2013).

Di antara legislator dari partai-partai nasionalis itu, di banyak daerah, tidak peduli dengan platform partai mereka yang menjunjung tinggi kebinekaan ketika mereka dihadapkan dengan gerakan, jaringan, dan lobby kelompok Islam yang punya agenda menerapkan syariat Islam dalam kebijakan publik di daerah.

Banyak politisi nasionalis di daerah meleleh ketika dijanjikan oleh kelompok Islam itu bahwa mereka bakal mendapatkan banyak dukungan pemilih dalam pemilu.

Demikian juga kepala daerah, meskipun mereka mantan birokrat, TNI, dan Polri, yang seharusnya kebal dari politik sektarian. Mereka meleleh karena kepentingan elektoral politik dalam Pilkada. Mereka yakin bahwa janji penerapan kebijakan syariat Islam akan mendapat simpati besar dari pemilih. Setidaknya itu yang dijanjikan para aktivis dan politisi beragenda syrai’ah.

Gejala tunduknya legislator dan kepala daerah pada agenda kebijakan syari’ah karena alasan dukungan elektoral merupakan karakteristik dari apa yang dikenal sebagai populisme Islam: keyakinan bahwa agenda-agenda dan kebijakan-kebjakan berbasis sentimen Islam yang diskriminatif terhadap non-Islam mendapat dukungan besar dari orang Islam. Bagi politisi yang pada umumnya pragmatis dan oportunis itu, cara apapun akan diambil demi kepentingan politiknya.

Reaktualisasi Pemikiran Islam

Di tangan politisi demikian, Indonesia bisa menjadi negara syariah tanpa harus ada partai Islam yang kuat, tanpa harus dipimpin presiden yang berideologi Islam, tanpa harus mengubah UUD kita yang inklusif bagi kebinekaan itu, dan tanpa gerakan bersenjata seperti dilakukan DI/TII. Bila populisme Islam dan Islamisasi Indonesia itu menguat maka kebinekaan yang menjadi fondasi negara-bangsa kita menjadi terancam.

Ancaman populisme Islam dan Islamisasi Indonesia itu harus menjadi perhatian sungguh-sungguh bagi siapa pun yang peduli bagi keberlangsung negara-bangsa ini. Langkah mendasar pertama adalah pendekatan kebudayaan atau pendidikan.

Pendekatan kebudayaan dan pendidikan ini adalah dengan reaktualisasi pemikiran-pemikiran keislaman yang dapat menjadi sumber kultural untuk kembali merajut kebinekaan kita yang sudah mulai terkoyak itu.

Lewat berbagai forum, berbagai kelompok sosial, dan lembaga pendidikan terutama pergurun tinggi, pemikiran-pemikiran keislaman itu harus disosialisasikan kembali. Saya merasa itu sudah hilang atau redup dari kampus-kampus kita.

Pemikiran-pemikiran keislaman demikian telah banyak dikembangkan oleh para pendahulu kita di tanah air tercinta ini. Yang dibutuhkan sekarang adalah reaktualisasi.

Keislaman dan Keindonesiaan

Tanpa menafikan sumbangsih besar dari pemikir-pemikir lain yang mendahului kita, saya melihat pemikiran-pemikiran keislaman dan keindonesiaan Prof. Nurcholish Madjid dan Kyai Abdurrahman Wahid lebih dari cukup untuk mendudukan Islam dalam keindonesiaan yang modern atau beradab, untuk merajut kembali kebinekaan negara-bangsa kita.

Kalau disederhanakan pemikiran Prof.Nurcholish Madjid yang saya maksud adalah apa yang saya sebut sebagai ide “desakralisasi kehidupan dunia sosial.” Sementara pemikiran Kyai Abdurrahman Wahid adalah “Pribumisasi Islam.”

De-sakralisasi Kehidupan Dunia Sosial Prof. Nurcholish Madjid

Perhatian utama Cak Nur adalah fakta bahwa umat Islam di dunia sudah lama terbelakang dari berbagai aspek kehidupan.

Sebagai orang yang beriman, Cak Nur percaya tidak ada yang salah pada dokrin-doktrin dasar Islam. Keterbelakangan itu karena umat Islam secara umum telah lama mengidentikan budaya dan tradisi yang terbelakang yang menyelimuti hidup umat sehari-hari, yang merupakan ciptaan sejarah, hasil tafsiran terhadap Islam yang ketinggalan zaman, dengan doktrin-doktrin dasar Islam.

De-sakralisasi kehidupan sosial (social world) secara luas adalah membedakan antara yang sakral dan profan, antara yang ilahiah dan yang duniawi, antara doktrin-doktrin dasar Islam dan tatanan kehidupan sosial yang diciptakan manusia dalam sejarah. Doktrin-doktrin dasar itu universal, sementara tafsiran terhadapnya yang menciptakan tatanan kehidupan sosial adalah ciptaaan manusia yang bersifat hadis, baru, temporer, dan berubah-ubah sesuai dengan perubahan zaman yang bersifat niscaya. Bila Islam diidentikan dengan yang tidak sakral, yang merupakan ciptaan manusia seperti partai atau negara, maka Islam akan lenyap dimakan zaman, dimakan sejarah, atau Islam akan identik dengan masa lalu yang sudah terbelakang.

Wujud de-sakralisasi dalam kehidupan kebangsaan kita adalah membedakan antara doktrin dasar Islam yang sakral dengan kenyataan Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa yang merupakan produk sejarah bangsa Indonesia yang bersifat dinamis, yang dibangun dari keragaman budaya, adat isitiadat, suku-bangsa, agama, dan faham keagamaan. Indonesia tidak sakral dan tidak boleh disakralkan. Ia ciptaan kolektif manusia Nusantara dengan segala keragaman karakteristiknya.

Indonesia sebagai entitas profan niscata terus berubah, dinamis, sehingga dikenal ungkapan “menjadi Indonesia,” bukan Indonesia yang sudah jadi, dan apalagi disakralkan.

Bila Indonesia disakralkan, katakanlah diislamkan, maka reduksi terhadap doktrin-doktrin dasar Islam terjadi di satu pihak, dan di pihak lain mengingkari kenyataan keragaman dan dinamika dunia sosial Indonesia yang merupakan sebuah keniscayaan.

Ungkaan “Islam yes, partai Islam no” Cak Nur punya makna dalam dan luas. Beriman pada doktrin-doktrin dasar Islam, dan menegasikan identifikasi Islam dengan institusi-institusi buatan manusia seperti partai atau negara-bangsa.

Pribumisasi Islam Kyai Abdurrahman Wahid

Pemikiran yang sama, dan hanya berbeda dalam fokus, dikemukakan Kyai Abdurrahman Wahid.

Kontekstualisasi Islam. Islam sebagai doktrin pokok dipercaya universal tapi juga melingkup keragaman sosial budaya dalam rentang sejarah bangsa masing-masing. Keragaman sosial-budaya karena itu tidak mungkin bertentangan dengan prinsip dasar Islam. Misalnya bahasa yang sangat beragam. Berbahasa lokal, seperti bahasa Indonesia atau bahasa daerah lain dalam kehidupan sehari-hari tidak akan bertentangan dengan doktrin dasar Islam bila dibedakan antara doktrin dasar Islam dan budaya.

Islam tidak identik dengan Arab. Islam universal, sementara budaya Arab adalah lokal. Islam Indonesia tidak harus, dan tidak pantas, mengikuti budaya Arab. Berislam dengan budaya Indonesia yang seharusnya dikembangkan dan digalakan umat Islam Indonesia.

Toleransi. Kontektualisasi Islam pada keragaman sosial-budaya akan melahirkan Islam yang beragam secara sosial-budaya, dan karena keragaman ini maka toleransi adalah suatu keniscayaan untuk menegakkan keberagaman sosial-buadaya Islam dalam terang universalitas doktrin-doktrin dasar Islam.

Dalam konteks pemikiran seperti itu, Gus Dur adalah pelopor dan aktivis bagi toleransi dan anti-diskriminasi sesama anak bangsa apapun latar belakang identitas sosial politiknya.

Contoh perbuatan Gus Dur yang anti diskriminasi dan mengedepankan solidaritas sesama anak bangsa di antaranya adalah: Meminta maaf kepada keluarga bekas PKI atas pembantaian ratusan ribu orang anggota keluarga mereka hanya karena perbedaan faham dan kepentingan politik; menghapus tanda terlibat PKI pada KTP, perhatian pada kelompok-kelompok minoritas etnik dan agama; mengakomodasi keinginan agar Konghucu diakui secara resmi sebagai agama di Indonesia.

Peran Kampus Kita

Pengamatan cepat saya, pemikiran-pemikiran yang dikembangkan Cak Nur dan Gus Dur sudah tidak dominan lagi di kampus-kampus kita. Keislaman yang dikonsumsi publik secara luas banyak berupa “Arabisasi Islam,” dan “Arabisasa Indonesia.”

Kampus-kamus kita dilihat dari banyak segi, apalagi sebagai institusi milik negara, harusnya menjadi lembaga paling depan untuk pemikiran-pemikiran keislaman yang telah diletakan fondasinya oleh Cak Nur dan Gus Dur itu.

Dari kampus kita harusnya lahir pemikiran-pemikiran keislaman yang memperkuat sikap dan perilaku umat yang memperkuat rajutan kebinekaan negara-bangsa kita.

Studi pemikiran Islam dalam rentang sejarah yang panjang yang telah diperkenalkan misalnya oleh Prof. Harun Nasution harus kembali mendapat tempat sentral di kampus-kampus kita.

Perhatian dengan porsi lebih kuat harus diberikan ke Ushuluddin, Adab, dan Syari’ah dengan fondasi ushul yang kuat untuk memperkuat produk pemikiran Islam dari kampus-kampus kita.

Para alumni dari kamus-kampus kita, apapun bidang keahliannya, diharapkan punya bekal dasar yang kuat untuk merajut kebinekaan kebangsaan kita secara kolektif, untuk mempengaruhi lingkungan sosial mereka masing-masing.

[]

Saiful Mujani, Ph.D.


(Ohio State University, Amerika Serikat)

Bidang Keahlian: Perilaku memilih, Perbandingan Politik, Kebijakan Publik


Saiful Mujani adalah pendiri SMRC dan perintis tradisi studi kuantitatif perilaku memilih (voting behavior) dalam kajian politik di Indonesia. Reputasinya telah diakui secara internasion-al.

Ia adalah ilmuwan politik pertama di luar Amerika Serikat yang dianugerahi penghar-gaan prestisius Franklin L. Burdette/Pi Sigma Alpha Award dari American Political Science As-sociation (APSA). Penghargaan yang sama diberikan kepada ilmuwan politik ternama seperti Samuel P. Huntington, Mancur Olson dan Sidney Tarrow.

Saiful meraih gelar MA (1998) dan Ph.D. (2003) dalam di bidang ilmu politik dari Ohio State University, Ohio, Amerika Serikat. Konsistensinya dalam meneliti perkembangan politik dan proses   demokratisasi di Indonesia sejak 1999, membuat hasil riset dan analisanya menjadi rujukan akademisi, politisi, pengambil kebijakan dan media massa. Ia telah melakukan lebih dari seribu penelitian dengan memegang teguh prinsip-prinsip akademik, dan bersandar pada kode etik survei opini publik.

Saiful juga aktif menulis di banyak jurnal internasional, seperti American Journal of Political Science, Journal of Democracy, dan Comparative Political Studies. Salah satu artikelnya yang terbit di American Journal of Political Science (2012) terpilih menjadi artikel terbaik di dalam konferensi tahunan APSA tahun 2009.

Disertasi doktoralnya kini telah diterbitkan di Indonesia dengan judul “Muslim Demo-krat”(Gramedia, 2007). Sebelumnya, disertasi ini meraih penghargaan sebagai disertasi terbaik Ohio State University karena dinilai memberi kontribusi sangat penting terhadap kajian perilaku memilih. Buku terakhirnya, “Kuasa Rakyat”(Mizan, 2013), menelisik pengaruh survei opini pub-lik bagi pelembagaan demokrasi di Indonesia pasca reformasi.

Tinggalkan Komentar