Dimuat Kompas, 5 September 2016.
Satu dari tiga fokus pembangunan ekonomi yang hendak dicapai pada pemerintahan Joko Widodo tahun ini adalah mengurangi ketimpangan ekonomi.
Perhatian yang sama juga ditunjukkan Sri Mulyani Indrawati pada beberapa pidatonya menjelang dan sesudah menjadi menteri keuangan. Walaupun turun dari tahun lalu, koefisien gini kita masih di titik 0,40.
Ketimpangan ekonomi memang sorotan banyak pihak. Bagi kelompok kiri, ketimpangan ekonomi adalah masalah besar terkait narasi ketidakadilan dalam distribusi kekayaan. Kelompok lain peduli soal ketimpangan lebih karena ia akan mendatangkan mudarat sosial seperti meningkatnya kriminalitas, instabilitas sosial, bahkan obesitas warga. Di ranah politik ketimpangan ekonomi ditengarai akan mengurangi kualitas demokrasi dengan menguatnya politik oligarki.
Teori klasik mengenai ketimpangan ekonomi berasal dari Simon Kuznets. Dalam dasawarsa 1950-an dan 1960-an, ia memperkenalkan teori yang belakangan dikenal sebagai Kurva Kuznets. Kuznets menyatakan bahwa pembangunan ekonomi mula-mula akan membawa dampak peningkatan ketimpangan ekonomi. Peningkatan ketimpangan akan terus terjadi sampai di satu titik tertinggi, kemudian akan diikuti dengan gerak tingkat ketimpangan yang menurun.
Teori Kuznets berguna tak hanya untuk membaca fenomena perkembangan ekonomi di banyak negara, tetapi juga membuka perdebatan baru yang meramaikan ilmu sosial hingga hari ini. Pertanyaan yang muncul antara lain, apa penyebab peningkatan ketimpangan di awal pembangunan ekonomi? Pelbagai teori muncul dari sana, misalnya bahwa pembangunan ekonomi umumnya ditandai dengan munculnya industrialisasi yang menggeser pola ekonomi agrikultur. Mereka yang menguasai dan bisa mengakses alat produksi bisa mengakumulasi kekayaan jauh lebih cepat daripada masyarakat yang masih menggantungkan hidup pada menggarap tanah. Pada pokoknya,inequalitypendapatan adalah penanda perubahan atau perkembangan ekonomi.
Demokrasi
Pertanyaan berikutnya yang masih menyita perdebatan para ahli adalah apa yang kemudian menyebabkan kurva Kuznets itu akhirnya bergerak turun? Salah satu jawaban umum adalah adanya politik redistribusi kekayaan. Ketika ketimpangan meningkat, para pengambil kebijakan mencoba mengatasi dengan menerbitkan program sosial, baik dalam bentuk distribusi tunai maupun program sosial lain, terutama dalam pendidikan dan kesehatan.
Kebijakan sosial yang dikelu- arkan pemerintah akhirnya mengurangi ketimpangan. Pendidikan dan kesehatan akan membantu peningkatan mobilitas sosial, sementara transfer tunai secara langsung meningkatkan pendapatan warga miskin. Di sisi lain, pendanaan program sosial menuntut negara mengambil pajak lebih banyak dari kelompok masyarakat atas. Karena itu, pendapatan akan dihitung setelah dikurangi pajak atau setelah ditambah dengan transfer negara atau biasa disebut sebagai disposable income. Program sosial secara teori akan mendekatkan disposable income antara si kaya dan si miskin.
Daron Acemoglu dan James A Robinson (2002) mencoba menajamkan teori Kuznets itu. Dia menyatakan, teori Kuznets tak berlaku untuk semua kasus: valid di negara demokratis, tapi tidak di negara lain. Penjelasannya: di negara demokratis publik akan menuntut negara mengeluarkan kebijakan redistribusi kekayaan untuk mengatasi ketimpangan. Itu sebabnya, semua negara demokratis berusaha menghadirkan kebijakan sosial dalam pelbagai varian.
Pertanyaan lanjutannya, apa yang membuat negara mengakhiri ketimpangan? Mengapa negara mengambil kebijakan redistribusi kekayaan? Jawaban atas pertanyaan ini: demokrasi. Dalam teori modernisasi kembangan Martin Seymor Lipset (1959), perubahan dan perkembangan ekonomi adalah prasyarat menuju demokrasi. Perkembangan ekonomi pada ujungnya akan meningkatkan akses publik pada pengetahuan yang akan menuntut keterlibatan pada pengambilan kebijakan publik. Dari sana demokrasi muncul.
Sedikit catatan mengenai teori modernisasi. Walaupun Lipset dan Acemoglu sepakat mengenai hubungan antara demokrasi dan pembangunan ekonomi, keduanya berselisih paham mengenai apa memengaruhi yang mana. Lipset menyatakan pembangunan ekonomi akan membuka jalan bagi demokrasi. Acemoglu justru melihat institusi demokrasi sebagai penyedia jalan lapang bagi pembangunan ekonomi. Menurut Acemoglu, kebebasan dalam demokrasi memungkinkan tumbuhnya kreativitas, inovasi, dan kompetisi yang amat perlu dalam pembangunan ekonomi.
Politik redistribusi
Kembali pada debat mengenai inequality dan demokrasi. Demokrasi menampung aspirasi publik mengatasi ketimpangan melalui program kebijakan redistribusi kekayaan. Persoalannya, harus ada yang membayar kebijakan sosial itu. Yang harus membayar tentu pembayar pajak, yakni masyarakat kelas kaya, biasa disebut kelas elite. Negara harus mengambil sebagian kekayaan kelas atas ini untuk didistribusikan ke kalangan bawah melalui skema program sosial.
Bagi sejumlah kalangan, kebijakan redistribusi kekayaan adalah manifestasi dari upaya menegakkan keadilan sosial. Namun, bagi mereka yang dikenai pajak, keadilan sosial mungkin akan dipersepsi secara berbeda. Di sini Daron Acemoglu, James A Robinson, dan ahli lain yang sepaham mengingatkan bahwa politik redistribusi kekayaan mengandung bahaya. Para elite yang dituntut membayar dalam program redistribusi kekayaan itu tak akan menyukai situasi itu. Ini akan mendorong mereka menghentikan sistem kebijakan redistribusi. Caranya, menggunakan kekuatan mereka berupa kekayaan dan modal merebut kekuasaan. Salah satu yang paling populer adalah menggunakan tangan militer. Dengan kata lain, politik redistribusi mendekatkan negara demokratis pada kudeta militer.
Sejumlah ilmuwan lain membantah teori Acemoglu dkk itu. Mereka mengemukakan bahwa tradisi kudeta militer hanya terjadi di dunia pascakolonial, karena itu tak bisa dipakai untuk semua negara. Dan Slater, Gautam Nair, dan Benjamin Smith (2014) menyatakan bahwa teori Acemoglu dkk meremehkan militer, seolah-olah mereka sebegitu bergantung pada elite atau menjadi alat elite semata. Padahal, dalam banyak kasus, militer bergerak dengan agenda sendiri. Di Mesir, misalnya, kudeta militer pimpinan Jenderal al-Sisi terjadi karena Morsi mencoba melakukan politik sapu bersih dengan menempatkan anggota Ikhwanul Muslimin di semua jabatan publik strategis. Militer Mesir, lebih mungkin dibaca, mencoba menegakkan agenda mereka sendiri ketimbang agenda pihak lain.
Fakta lain adalah bahwa tak sedikit tokoh populis yang muncul di negara demokratis baru justru menyuarakan agenda penambahan subsidi dan kebijakan redistribusi lainnya. Aktor-aktor ini biasanya muncul dari kalangan anti demokrasi seperti kelompok sosialis, komunis, atau mantan petinggi tentara.
Meski begitu, fakta bahwa kebijakan redistribusi menggerogoti anggaran negara begitu besar. Kebijakan ini secara langsung akan memperbesar defisit anggaran yang memang sudah membengkak. Sumber pendapatan negara perlu diperbesar. Persoalannya, negara berkembang seperti Indonesia tak punya cukup kanal sumber pendapatan itu. Kita punya ratusan BUMN, tapi kebanyakan adalah perusahaan tak efisien dan tak efektif.
Dari Rp 2.000 triliun anggaran belanja negara, hanya sekitar Rp 200 triliun sumbangan BUMN. Alih-alih memberi tambahan pemasukan, kebanyakan lembaga ini justru beban negara dengan anggaran pengeluaran rutin yang tak sebanding dengan pemasukan. Korupsi dan kemalasan inovasi membuat lembaga ini tidak jelas sumbangsihnya.
Dari sisi pendapatan melalui pajak, kita juga mengalami persoalan yang tak kunjung bisa diurai dan diselesaikan. Sampai hari ini, hanya 12,6 persen dari total populasi Indonesia yang memiliki nomor pokok wajib pajak. Wajib pajak hanya sekitar 7 persen dari populasi. Akibatnya, penerimaan negara dari pajak hanya sekitar 13 persen dari PDB.
Dalam kondisi penerimaan negara yang terseok-seok ini, tuntutan publik agar negara menambah kebijakan sosial redistribusi akan kian membebani. Ironisnya, para pengambil kebijakan dibebani agenda elektoral untuk memenangkan suara publik. Para pengambil kebijakan tak akan mau berdiri menjadi penantang suara rakyat walaupun itu atas nama menyelamatkan keuangan negara. Di sisi lain, rasa keadilan pada para elite pembayar pajak akan makin terusik. Akumulasi dari semua ini membuka kemungkinan bagi munculnya aktor-aktor nondemokratis. Mereka bersembunyi di balik slogan populisme prorakyat, tapi menyimpan agenda kematian demokrasi.
Mungkinkah fenomena deepening authoritarianism di negara-negara otoriter,declining democratization di negara-negara demokratis baru, dan bangkitnya politik kanan di negara-negara demokrasi mapan disebabkan semakin populernya politik redistribusi? Mari kita lihat.