Tanggal 20 Oktober 2017 ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menggenapi masa pemerintahan mereka menjadi tiga tahun. Kurang dari dua tahun ke depan, yakni bulan April 2019, akan dilaksanakan pemilihan presiden (pilpres) yang diselenggarakan serentak dengan pemilihan umum (pemilu) legislatif.
Sebagai petahana, yang akan mengikuti pemilu serentak untuk masa jabatan kedua, tugas Jokowi tidak ringan. Pertama, ia harus memastikan kemenangan dalam pilpres yang sekaligus adalah referendum atas kepemimpinannya di periode pertama. Kedua, ia juga harus mampu memberikan dampak elektoral positif terhadap partai-partai yang menjadi pendukungnya selama ini.
Melihat kecenderungan dari evaluasi masyarakat terhadap pelaksanaan pemerintahan dan kondisi umum negara selama tiga tahun terakhir, peluang Jokowi untuk terpilih kembali cukup besar. Ini normal saja untuk petahana yang akan maju kembali untuk masa jabatan kedua.
Tapi tantangannya juga tidak mudah. Jokowi harus memperkuat, minimal mempertahankan, tingkat kepuasan masyarakat atas kinerja pemerintahannya. Ia juga harus menjaga agar capaian-capaian pemerintahan tidak terganggu oleh kemungkinan adanya instabilitas politik dan keamananan. Kerja keras di bidang ekonomi misalnya, akan hilang dengan mudah bila stabilitas politik dan keamanan tidak terjaga.
Suasana politik dua tahun ke depan sudah banyak diwarnai persiapan menghadapi kompetisi politik tahun 2019. Maka, mempertahankan soliditas politik kekuatan-kekuatan, terutama partai politik yang mendukungnya juga akan menjadi tantangan yang tidak ringan. Setiap partai pendukung Jokowi akan dengan cermat berhitung untung rugi politik atas dukungan mereka. Perhitungan akan dilakukan baik secara umum maupun berdasarkan perkembangan kasus-kasus yang muncul. Fenomena partai koalisi mendukung Jokowi di satu kasus dan menentangnya dalam kasus yang lain, mungkin akan lebih banyak terjadi. Potensi kegaduhan politik menjadi tinggi.
Dua tahun ke depan, seperti disampaikan Jokowi sendiri, adalah tahun-tahun politik. Ini berarti kompetisi politik akan terus mengemuka. Saling serang antar lawan politik akan berlangsung sengit. Kebijakan dan kinerja pemerintah akan disorot terus-menerus dari sudut politik, terutama politik elektoral. Mengkomunikasikan kebijakan dan capaian kinerja, terutama bidang ekonomi, menjadi tugas yang berat karena bukan substansinya yang akan dilihat, melainkan motif politik apa yang ada di balik setiap kebijakan dan program.
Bila pertarungan politik kembali mengarah kepada dua kubu seperti pilpres 2014, maka tahun politik juga berarti menajamnya polarisasi politik. Ini juga akan mempersulit upaya pemerintah melakukan komunikasi publik dengan baik. Di satu sisi ada kelompok masyarakat yang mendukung pemerintah secara fanatik. Di sisi lain, akan kita dapati penentang pemerintah yang juga fanatik. Pro versus anti Jokowi akan menguat. Konsekuensinya, ketegangan dan pertentangan antar keduanya juga meningkat. Media, baik regular maupun media sosial, pun sudah siap untuk memfasilitasi ketegangan tersebut. Jokowi harus pandai meniti buih dan mendayung di antara berbagai karang politik tersebut.
Mempertahankan kinerja, memperbaiki ekonomi
Jokowi memulai pemerintahannya tiga tahun lalu dengan tingkat kepuasan publik yang sangat rendah, meskipun tingkat kepercayaan publik di awal jabatannya sangat tinggi. Di tengah suasana politik yang gaduh, terutama di DPR, Jokowi menggebrak dengan kebijakan menghilangkan sebagian besar subsidi BBM. Masyarakat merasa terluka karena kehidupan ekonomi menjadi makin sulit. Akibatnya, setahun setelah menjabat, hanya 41% publik yang menyatakan puas dengan kinerja pemerintah. Baik secara absolut maupun bila dibandingkan dengan presiden sebelumnya, terutama SBY, angka ini sangat rendah.
Seiring dengan konsistensi pembangunan ekonomi, terutama proyek-proyek infrastruktur yang dijalankan, dibarengi dengan kemampuannya memperbesar dukungan politik di DPR, serta keberhasilan menekan kegaduhan di internal kabinet, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi terus meningkat. Sejak setahun terakhir, tingkat kepuasan publik terhadap presiden cukup stabil di angka 65 – 69%. Di awal September, satu bulan menjelang tiga tahun pemerintahan, 68% publik, menurut survei SMRC, menyatakan puas atas kinerja Jokowi.
Tingkat kepuasan yang stabil dan cukup tinggi ini adalah cerminan dari evaluasi publik atas kondisi ekonomi rumah tangga dan nasional, kondisi politik, hukum, dan keamanan, serta persepsi publik terhadap berbagai kebijakan atau program yang dijalankan pemerintah.
Survei SMRC bulan September juga menemukan, terhadap kondisi ekonomi rumah tangga dan nasional, dibandingkan dengan setahun lalu, lebih banyak publik yang menilai keadaan kini lebih baik (46% dan 44%), dibanding yang menilai lebih buruk (21% dan 20%). Mayoritas publik (lebih dari 60%) juga optimis bahwa ekonomi rumah tangga dan nasional akan lebih baik setahun ke depan.
Namun ada satu tantangan yang masih belum terselesaikan selama tiga tahun terakhir. Mayoritas publik (42% dan 41%) merasakan bahwa pemenuhan kebutuhan pokok sekarang lebih berat atau sama saja susahnya dibanding setahun lalu. Hanya 16% publik yang merasa bahwa pemenuhan kebutuhan pokok sekarang lebih ringan dibanding setahun lalu. Memenuhi kebutuhan pokok terkait langsung dengan kehidupan sehari-hari warga. Dapat kita katakan bahwa warga masih merasakan sulitnya kehidupan ekonomi tapi mereka masih optimis bahwa keadaan akan lebih baik setahun ke depan. Harapan yang besar ini, tentu menjadi tantangan yang berat bagi pemerintahan Jokowi setahun ke depan.
Penilaian publik terhadap kondisi politik, hukum, dan keamanan umumnya relatif positif. Persepsi paling positif ada pada kondisi keamanan yang memang selalu positif selama 12 tahun terakhir. Saat ini, sekitar 64% warga menilai keamanan dalam kondisi baik, dan hanya 11% yang menilai kondisi keamanan buruk. Ini tentu modal yang positif untuk menghadapi tahun politik karena salah satu prasyaratnya adalah kondisi keamanan yang stabil dan terjaga.
Meskipun nilainya lebih rendah, kondisi politik dan hukum menurut publik masih relatif baik. Sekitar 48% warga menilai kondisi penegakan hukum kita baik dan 21% yang menilai buruk. Untuk kondisi politik, 32% publik menilai kondisi politik baik, dan 20% menilai buruk. Cukup banyak juga (35%) yang menilai kondisi politik biasa saja. Dengan kata lain, warga saat ini merasakan adanya stabilitas politik, hukum, dan keamanan. Ini modal yang sangat penting bagi Jokowi untuk meneruskan program-program riil di bidang ekonomi yang masih terus menjadi keprihatinan warga.
Penilaian publik terhadap program dan kebijakan pemerintah masih berupa campuran antara penilaian baik/positif dan buruk/negatif. Kebijakan atau program yang dinilai sangat baik oleh warga adalah pembangunan jalan dan sarana transportasi, layanan kesehatan, dan layanan pendidikan. Di bidang-bidang ini warga yang menilai lebih baik jauh lebih banyak dibanding yang menilai lebih buruk. Sebagai contoh, 74% publik menilai bahwa pembangunan jalan kini jauh lebih baik dibanding setahun lalu.
Sejalan dengan keluhan warga soal pemenuhan kebutuhan pokok yang masih terasa berat atau makin berat, penilaian paling rendah diberikan warga kepada masalah-masalah penyediaan lapangan kerja, mengurangi pengangguran, mengurangi jumlah orang miskin, dan mengontrol harga barang kebutuhan pokok yang terjangkau. Di bidang-bidang ini, lebih banyak warga merasa belum ada perubahan dibanding yang menilai sekarang lebih baik. Dalam hal mengurangi pengangguran, 42% publik menilai tidak ada perubahan dan hanya 26% yang merasa keadaan sekarang lebih baik. Demikian juga dengan ketiga bidang yang lain.
Dapat kita katakan bahwa tingkat kepuasan warga yang cukup tinggi dan stabil itu, dibarengi dengan pekerjaan rumah yang cukup berat, terutama bidang ekonomi, yakni masalah kebutuhan pokok, termasuk harga sembako, masih lemahnya ketersediaan lapangan kerja, pengangguran yang masih terasa banyak, dan jumlah orang miskin yang belum terlihat berkurang. Publik optimis, dengan syarat persoalan-persoalan ekonomi tersebut diselesaikan segera oleh pemerintah atau Presiden Jokowi selama dua tahun ke depan.
Optimisme dan penilaian positif warga kepada Jokowi adalah hal yang bersifat kondisional. Masih mungkin publik berbalik arah dan menganggap Jokowi tak cakap mengurus ekonomi.
Penilaian positif yang kondisional ini tampaknya dibarengi dengan kesadaran warga bahwa kepemimpinan nasional kita belum memiliki alternatif yang banyak. Menurut survei SMRC, sampai saat ini kompetisi untuk pilpres masih diwarnai wajah lama, terutama Jokowi dan Prabowo Subianto.
Elektabilitas Jokowi dalam simulasi pertanyaan spontan, semi terbuka, dan head to head lawan Prabowo berturut turut adalah di kisaran 39%, 46%, dan 57%. Dibandingkan dengan SBY dua tahun menjelang pilpres 2009, angka Jokowi ini lebih tinggi. Untuk sementara kita dapat mengatakan bahwa peluang Jokowi dua tahun menjelang 2019 lebih baik dibanding SBY dua tahun menjelang 2009. Bila tingkat kepuasan publik dapat dijaga dan keluhan warga soal ekonomi bisa diperbaiki, maka peluang Jokowi menjadi presiden kembali terbuka cukup lebar.
Â
Mempertahankan soliditas koalisi
Tantangan yang juga tidak ringan adalah soal menjaga soliditas koalisi politik Jokowi. Soliditas ini diperlukan untuk menjamin stabilitas politik, dan keamanan. Karena prioritas Jokowi dua tahun ke depan pastilah soal-soal ekonomi riil, maka soliditas politik menjadi wajib.
Memang, partai-partai koalisi Jokowi tampaknya belum punya alternatif lain selain mendukung dia kembali sebagai calon presiden 2019. Dalam pemilu serentak besar kemungkinan calon presiden populer seperti Jokowi dapat memberikan efek positif kepada partai yang mencalonkannya.
Di sinilah masalahnya, karena partai yang mencalonkan atau tampak akan mencalonkan Jokowi banyak, partai mana yang memperoleh limpahan suara positif tersebut menjadi hal yang penting. Sejauh ini, baru PDIP yang merasakan dampak positif tersebut. Di bulan September ini, elektabilitas PDIP berada di angka 27%, jauh lebih tinggi dibanding suaranya di Pemilu 2014. Partai-partai lain yang mendukung Jokowi masih di angka yang stagnan bila dibanding perolehan mereka di Pemilu 2014. Bila ini terus berlangsung, partai-partai koalisi mungkin akan mengevaluasi dukungannya kepada Jokowi. Minimal mereka akan meminta konsesi politik dan kekuasaan yang lebih besar bila pilihannya tidak keluar dari koalisi.
Namun, ada situasi di mana partai-partai koalisi pasti terpecah. Ini akan terjadi bila ternyata pencalonan Jokowi oleh banyak partai bukan hanya menguntungkan PDIP, tapi sekaligus juga menggerus suara partai lain dalam koalisi. Bila ini yang terjadi, keluar dari koalisi adalah pilihan rasional dari partai-partai tersebut. Ini juga tantangan yang tidak mudah, mengingat soliditas koalisi adalah hal yang sulit ditawar.
Pilihan Jokowi dalam hal soliditas koalisi ini mungkin dua hal saja. Pertama, Jokowi memastikan kinerjanya makin positif sehingga partai-partai makin tak punya calon alternatif. Kedua, Jokowi dapat membantu memastikan agar setiap partai anggota koalisinya dapat melakukan konsolidasi politik dengan baik menjelang pemilu serentak 2019. Dua hal tersebut dapat membantu Jokowi menjaga keutuhan koalisinya di tahun politik 2018 dan 2019.
Sebelumnya dimuat di Majalah Gatra, 19-25 Oktober 2017.