Minggu, 15 September 2024

Tekanan Koalisi Pemenang Pilpres dan Pilkada yang Kartelistik: Wawancara Khusus Rosi dengan Prof. Saiful Mujani di Kompas TV

Pendiri SMRC Prof. Saiful Mujani melihat tanda-tanda Pemilihan Gubernur Jakarta dan pilkada-pilkada serentak kali ini diwarnai berbagai tekanan koalisi pemenang Pilpres. Tekanan koalisi ini terlihat dari sejumlah indikasi seperti perubahan sikap dan dukungan partai-partai kepada kandidat-kandidat yang akan berlaga di Pilgub Jakarta.

Apa pengaruh tekanan koalisi dan sistem kartel ini pada demokrasi kita?

Berikut transkrip utuh wawancara Rosiana Silalahi dengan Prof. Saiful Mujani dalam program Rosi di Kompas TV yang ditayangkan secara live pada Kamis, 8 Agustus 2024.

Wawancara Rosi dengan Prof. Saiful Mujani juga bisa disimak di sini: https://youtu.be/2JUieB4urc0?si=pcEAQqwrJ97TUpFN

 

Pilkada Kartel

 

Selamat malam. Saya sudah bersama pendiri lembaga survei Saiful Mujani Research and Consulting, Profesor Saiful Mujani. Bung Saiful, terima kasih sudah bersedia hadir di ROSI lagi.

Makasih, Mbak Rosi.

Kali ini, kita bicara soal Pilkada. Ada Koalisi Indonesia Maju yang berhasil menang di pilpres kemarin. Dan memang harus diakui, landslide. Koalisi yang sama ingin diteruskan di Pilkada yang sebentar lagi akan kita laksanakan bersama. Sebelumnya, banyak ketua umum partai politik, politisi, mengatakan “nggak bisa”, “apa yang terjadi di pilpres tidak bisa terjadi di pilkada”, tetapi sekarang pada saat kita berbicara saat ini, rasanya, Koalisi Indonesia Maju Plus itu seperti di depan mata untuk menyapu bersih kemenangan di pilkada-pilkada. Apakah Anda juga melihat hal yang sama?

Jadi, dengan gambaran dan perkembangan yang terjadi sampai hari ini, Mbak Rosi, saya bahkan melihat pilkada ini adalah kelanjutan dari kontestasi nasional yang belum berakhir, dan bahkan, semakin tidak berimbang.

Semakin tidak berimbang?

Semakin tidak berimbang, secara umum ya, kesan saya. Setidak-tidaknya dalam pilpres, Mbak Rosi, dan juga Pemilu Legislatif. Pemilu Legislatif jelas ya, masing-masing partai relatif otonom, oke. Tapi di pilpres kan ada koalisi partai, dan koalisi itu pun dalam pilpres, kita melihat, relatif ada lah kontestasi, begitu ya. Ada persaingan. Ada 3 blok lah, kita tahu lah, bloknya Pak Prabowo, bloknya PDI Perjuangan, dan bloknya… apa namanya… Amin. Dalam hal ini… eh.. Anies ya.

Ya. Dan Muhaimin.

Dan mereka bersaing dalam hal ini. Dan persaingan ini walaupun dimenangkan 58% oleh…

Pak Prabowo Gibran…

…Pak Prabowo Gibran, tapi di situ saya melihat ada persaingan yang lumayan lah, cukup, begitu ya. Mungkin yang kalah kecewa dan seterusnya, itu biasa. Di pilkada ini bahkan menjadi lebih, mungkin kalau menggunakan kategori agak moralistik, mungkin kalau boleh begitu, dari apa ya, dari prespektif norma demokrasi kita, mungkin lebih buruk. Dalam pengertian bahwa persaingan itu semakin, semakin terbatas, semakin kecil, semakin sempit, begitu ya. Kalau tadi Mbak Rosi menyebutkan ada koalisi, sebut begitu, atau kerjasama antara pendukung Prabowo…

Di masa pilpres, dan kemudian ada ‘Plus’…

Di masa Pilpres, dan kemudian dibuat ‘Plus’, kan begitu. Artinya itu menjadi semakin sempit, oke? Nah itu yang saya sebut kemudian, politik kita dari nasional ke pilkada ini menjadi semakin kartelistik. Kartelistik itu artinya suatu politik yang dikontrol oleh segelintir orang, kolusi untuk kepentingan tertentu dengan menghilangkan persaingan di antara mereka, dan akibatnya yang rugi adalah pemilih sendiri, karena dia tidak punya alternatif-alternatif untuk mendapatkan pemimpin terbaik menurut versi mereka sendiri.

Padahal dulu kalau kita dengar para ketum partai ada mengatakan bahwa setiap Pilkada itu penting karena ini tentang corak lokal, tokoh-tokoh lokal yang dimunculkan, kini kita rasanya seperti tidak melihat itu terjadi.

Rasanya seperti peristiwa nasional sekarang ini.

Bung Saiful, Anda sudah meneliti pemilu di Indonesia sejak reformasi tahun ’99. Anda sudah berkecimpung jauh tentang politik Indonesia dengan survei. Apakah pilkada rasa pilpres seperti ini pernah terjadi sebelum-sebelumnya?

Kalau diingat kembali ke belakang, suasana ini, kita tidak menemukannya sebelumnya.

Belum pernah, ya?

Belum pernah menemukan ini.

Karena sering, kenapa saya tanyakan ini, kalau katakan Pilpres 2019 itu adalah bisa dibilang Pilpres yang sangat terbelah, tetapi ketika ada pilkada setelah Pilpres  2019, itu juga tidak terjadi pembelahan di Pilkada.
Tidak ada.
Artinya yang berkompetisi di pusat, di pilkada dia bisa bekerjasama. Tetapi ini kita lihat di 2024, ada koalisi atau kerjasama di pilpres, alih-alih kemudian punya kerjasama atau koalisi yang berbeda di tingkat daerah, ini justru memperkuat koalisi di pilpres, justru memasukkan partai-partai di luar koalisi mereka.

Iya.

Ini pertama kali dalam sejarah Pilkada Indonesia?

Pertama kali, dan, kenapa itu terjadi, pertanyaannya, ‘kan? Sebelumnya, kenapa itu suasana pemilu nasional seolah-olah terpisah dari sentimen hiruk-pikuk politik lokal, dalam hal ini pilkada, itu karena kepemimpinan nasionalnya itu mengalami suatu perubahan perilaku politiknya. Kira-kira begitu. Kita sebut begitu. Kan unsur yang penting di dalam politik nasional kita, terutama dilihat dari sisi kepartaian, itu di 2014 sampai 2019, bahkan sampai sekarang, partai yang paling besar kan PDI Perjuangan. Itu harus diakui, begitu ya. Nah, di 2014, di 2019, tidak ada sesuatu yang dirasakan bagaimana hubungan Presiden dengan PDI Perjuangan. Itu yang membuat keadaannya biasa-biasa saja, seperti zamannya Pak SBY waktu itu jadi presiden, suasana pilkada adalah pilkada, you know? Itu hajatnya rakyat di daerah…

Tapi apa hubungannya, ketika 2014, 2019, antara 2 tokoh ini, ketua umum PDI Perjuangan dan Presiden, Pak Jokowi, ikut mempengaruhi Pilkada 2024, apa hubungannya? Saya belum menemukan relevansinya.

Kan hubungan PDI Perjuangan dengan Ibu Mega, dengan PDI Perjuangan dengan Presiden, kan tidak seperti 2019. Sekarang terjadi perubahan, yang kita lihat semuanya, rakyat juga menyaksikan.

Dan itu memiliki konsekuensi?

Punya konsekuensi yang sangat serius. Jadi intinya kalau mau disederhanakan, Mbak Rosi, pilkada ini menjadi arena pertempuran darah antara PDI Perjuangan sama Presiden Jokowi.

Di Pilkada ini adalah…?

Dan sebelumnya tidak pernah terjadi peristiwa semacam ini.

Itu yang membedakan mengapa pilkada ini terasa berbeda seperti pilkada-pilkada sebelumnya, katakanlah 2014, 2019, setelah pilpres, karena di pilkada ini, seperti yang Anda katakan, adalah pertempuran atau persaingan antara Ketum PDI Perjuangan, Bu Mega, dan Presiden Jokowi.

Dan sebelumnya tidak pernah terjadi hal semacam ini.

KIM Plus. Ini adalah sebuah slogan baru atau penamaan baru. Sebelumnya, kita dengar misalnya PKS, Sekjen PKS mengatakan, “Kan sudah biasa cawe-cawe, mulai dari presiden sampai nanti, biasa.” Jadi nggak ada masalah, biasa saja. Ini semacam penilaian bahwa biasa Pak Presiden itu selalu cawe-cawe. Dan orang berpikir PKS akan mau melawan cawe-cawe itu. Tetapi apa yang terjadi? Ini kata Presiden PKS.

 

Tekanan Koalisi Pemenang Pilpres

 

Menurut Bung Saiful, apa yang menjadi, mendasari perubahan pernyataan yang sangat bertolak belakang ini? Menilai Presiden cawe-cawe, yang kemudian dijawab langsung oleh Presiden Jokowi, “Saya tidak pernah cawe-cawe di pilkada. Itu urusan partai politik.” Tapi kemudian Presiden PKS mengatakan, “Ajak-ajak dong, PKS.” Seolah sekarang ternyata bukan KIM yang membutuhkan anggota koalisi baru, tetapi PKS, partai politik di luar Koalisi Indonesia Maju, justru merasa ingin dilibatkan di Koalisi Indonesia Maju. Apa yang terjadi pada partai-partai ini?

Itu kan perkembangan agak belakangan, Mbak Rosi ya, pernyataan ketua umum tersebut. Setelah melihat perkembangan sebelumnya. Teman berkoalisi dalam pilpres, dalam hal ini Nasdem dan PKB, itu berada pada posisi yang tidak menentu. Tidak menentu artinya dia punya sikap yang cukup jelas. Kalau PKS kan cukup jelas, dia ingin… walaupun mendikte, ya. Dia ingin Anies…

Mendikte dalam konteks Anies dengan Sohibul Iman?

Iya, itu kan tidak dibicarakan. Harusnya dibicarakan dengan PKB setidak-tidaknya, misalnya. PKB dengan PKS cukup, sebenernya, berdua itu maju. Kalaupun tidak berbicara misalnya dengan Nasdem, sebutlah begitu, ya. Nasdem juga tidak pernah mengatakan secara lebih jelas dia mau mencalonkan siapa. Jadi, situasi ketidakpastian seperti ini dirasakan dan dihadapi oleh PKS. Dan PKS…

Sehingga apakah itu artinya tidak ada pilihan lain selain maju, atau selain masuk dalam koalisi besar di Koalisi Indonesia Maju?

Realistik… Politik realistisnya seperti itu. Jadi artinya dia tidak bicara tentang koalisi sebelumnya dalam pemilihan presiden karena sudah terjadi perubahan, begitu kan, dinamikanya, “Toh teman saya ini sekarang tidak sesolid sebelumnya, untuk mendukung Anies.” Kira-kira begitu. Dan Anies pun tidak bisa memberikan jaminan untuk menggenapi PKS. Ini PKS dalam posisi yang tidak mudah.

Kalau PKS tidak mudah, berarti itu juga bisa terjadi, apakah kita bisa mengatakan juga, sama dengan partai-partai lain di koalisi AMIN seperti Nasdem dan PKB tidak punya pilihan lain selain bergabung ke Koalisi Indonesia Maju?

Persis seperti itu. Cuma kan mereka dari awal belum pernah menyatakan secara eksplisit akan mendukung Anies. Bahwa itu terbuka, iya. Begitu ya. Kalau ini, betul-betul, dalam tanda kutip “dipermalukan” sebenarnya, ya.

Siapa dipermalukan?

PKS, dalam hal ini. PKS lebih siap, lebih eksplisit mendukung Anies, begitu ya. Dan dengan Sohibul Iman sebagai calon wakilnya. Tapi tiba-tiba harus mengatakan seperti tadi. Itu karena dalam situasi yang saya sebutkan tadi. Kalau PKB mungkin karena belum… masih belum mengambil keputusan apa-apa, begitu ya.

Tetapi PKB adalah partai yang pertama kali mendeklarasikan calon yang diusung adalah Anies Baswedan. Kalau bicara soal partai politik, PKB yang lebih dulu, Bung Saiful.

Iya, di tingkat daerah, itu betul. Tapi keputusan itu biasanya ada di tingkat pusat, walaupun itu aspirasi di daerah. Beda dengan PKS. Kalau PKS betul-betul sudah ambil keputusan, begitu ya, untuk Anies. Oleh karena itu, menurut saya, dalam posisi yang lebih sulit, posisi PKS ketika mengambil keputusan seperti itu, mungkin dia tidak menghitung bahwa Nasdem dan PKB akan bersikap tidak begitu jelas untuk mendukung Anies atau tidak akan mendukung Anies, kira-kira seperti itu. Dalam situasi seperti itu, saya melihat bahwa, kenapa perubahan-perubahan ini terjadi? Bisa jadi kita tidak bisa menyalahkan pihak di luar, tentu saja kita juga harus…

Di luar itu maksudnya di luar koalisi?

Di luar koalisi itu, iya kan? Kita harus juga melihat diri sendiri, dalam hal ini, PKS, PKB, dan Nasdem, begitu. Kenapa berperilaku seperti itu? Kira-kira kan begitu. Nah, menurut saya hitungan-hitungannya kira-kira kayak begitu. Hitungan-hitungannya adalah bahwa ketika, misalnya, Anies akan maju…

PKB, Nasdem, dan PKS, katakan mencalonkan kembali di pilkada dengan nama Anies. Tapi mengapa mereka masih ragu, padahal secara survei, nama Anies adalah yang paling teratas? Apa yang membuat koalisi AMIN ini ragu untuk memajukan Anies di DKI Jakarta?

 

Dua Model Kotak Kosong

 

Saya masih bersama Profesor Saiful Mujani, Tokoh Asia Pertama yang meraih penghargaan bergengsi, Franklin L. Burdette/Pi Sigma Alpha Award dari American Political Science Association tahun 2010. Prof. Saiful Mujani, sebelumnya Pak Ahok ini pernah mengatakan tadi, bahwa nggak akan berani kotak kosong, tapi belakangan kita mendengar soal kotak kosong karena untuk menjegal Anies Baswedan. Apa memang Anda melihat seperti kata Pak Ahok, “Nggak mungkin berani.” Lalu, kenapa nggak berani? Bisa saja.

Kotak kosong?

Ya.

Ya. Sangat mungkin kotak kosong itu dilakukan, tapi dengan cara yang lain. Mungkin bukan kotak kosong seperti Pak Ahok sebut tadi. Kita menyebutnya dari pengalaman. Pilkada selama ini ada 2 model saya sebut, Mbak Rosi. Mode Makassar, Pilkada Makassar dan Pilkada Surakarta. Ketika ada 1 calon yang sangat dominan, dan oleh karena itu tidak ada partai yang berani menantang ini, maka kemudian dibuat kotak kosong untuk melawannya. Itulah yang terjadi di Makassar.

Walikota Makassar waktu itu ya?

Waktu itu.

Semua partai politik masuk satu nama, sehingga tidak tersisa, harus melawan kotak kosong.

Harus kotak kosong. Karena undang-undangnya membolehkan begitu.

Betul, dan kita ingatkan penonton, pada waktu itu yang menang adalah kotak kosong.

Kotak kosong. Itu saya sebut sebagai model Makassar, oke. Nah yang model yang kedua adalah, bukan kotak kosong, tapi ada 1 calon yang sangat dominan, semua partai mengerucut ke situ, dan kemudian dia tidak punya lawan. Harusnya kalau pakai model Makassar, melawan kotak kosong. Tapi tidak dilakukan itu, tapi dimunculkan calon perorangan. Atau disebut juga kadang-kadang calon independen, bukan dicalonkan oleh partai politik, tapi dengan syarat-syarat misalnya mengumpulkan KTP, dukungan dari masyarakat, dan seterusnya, yang diatur dalam undang-undang. Kira-kira begitu, Mbak Rosi. Di dalam ini, di dalam Pilkada model yang kedua, model Surakarta ini, atau Solo, ternyata calon atau tokoh yang dominan tersebut memenangkannya, dalam hal ini Gibran. Jadi, di DKI..

Jadi adalah contoh hal yang serupa?

Dugaan saya, di DKI, untuk menjawab pendapat orang seperti Koh Ahok tadi, begitu ya, saya jamin tidak akan berani mengadu dengan kotak kosong.

Mengapa menurut Anda, partai politik yang mengusung 1 nama dan ingin menang, dan ingin memastikan menang, katakan misalnya Koalisi Indonesia Maju sudah masuk ke nama Ridwan Kamil, dan supaya memenangkan Ridwan Kamil, tidak… diborong semua… kenapa tidak berani melawan kotak kosong? Kenapa? Dari mana dasar berpikir bahwa tidak berani melawan kotak kosong?

Satu adalah ada fakta di Makassar tadi, jangan sampai itu terulang, oke. Akhirnya itu harus diulang lagi Pilkadanya, ya, ketika kalah oleh kotak kosong. Kedua, ada kemiripan demografi antara pemilih Makassar dengan pemilih Jakarta. Relatif ini orang kota, ini di kota, Jakarta kota. Secara sosial ekonomi, pendidikan terutama, adalah relatif lebih baik lah dari rata-rata Indonesia. Adalah sebuah “penghinaan” dalam tanda kutip, Mbak Rosi. Massa pemilih di Jakarta, kami mengatakan, ini sebuah penghinaan terhadap kita, terhadap kelas menengah dan seterusnya, terhadap kelas atas, bahwa kita diberikan pilihan kotak kosong dan 1 calon. Sehingga kita tidak punya kesempatan untuk memilih, at least 2 calon, manusia. Dan jangan lupa, demokrasi atau pemilu itu pada dasarnya adalah persaingan antara manusia, bukan persaingan antara sebuah kotak kosong dengan manusia yang lain.

Jadi Anda mengatakan dengan perbedaan atau karakteristik pemilih Jakarta yang katakan lebih terdidik, maka untuk membuat calonnya menang dan disandingkan dengan kotak kosong, ada, bisa terjadi di Makassar…

Ada protes…

Maka pilihan warga itu pada kotak kosong dan memenangkan kotak kosong?

Itu yang dikhawatirkan at least orang-orang yang mau menghindari kotak kosong. Tapi lebih baik dengan mengajukan calon…

“Kotak kosong” berupa, seperti manusia?

Seperti manusia. Jadi kotak kosong dalam bentuk manusia, kira-kira begitu, Mbak Rosi. Dan itu dimungkinkan dilakukan, dan sudah ada contohnya untuk dibuat seperti itu. Dan di Jakarta saya kira mungkin ada yang sedang berproses sebagai calon perorangan tersebut. Dan kita lihat, kalau dia lolos, nah kita akan perhatikan itu sebagai satu cara menyiasati agar si kotak kosong ini berbentuk manusia. Sehingga kemudian, akan ada yang memilih, berapa pun jumlahnya, pada akhirnya dia tidak akan terpilih sebagai Gubernur di Jakarta.

Apakah itu kotak kosong, apakah “kotak kosong” berwujud manusia itu adalah upaya, yang dianggap upaya supaya Anies Baswedan, seorang calon atau bakal calon yang memiliki elektabilitas di daerah Jakarta, itu tidak masuk dalam kompetisi? Pertanyaan saya sebelum kita jeda adalah satu: Ada Nasdem, PKS, dan PKB yang sebelumnya mengusung Anies sebagai calon presiden dan tiga partai ini terbukti memiliki kenaikan perolehan suara dengan ada nama Anies, kenapa sekarang seperti balik badan?

Kalau itu persoalannya kembali kepada masing-masing partai politik.

Apa yang serupa yang menjadi alasan mereka tidak lagi mau bersama Anies di Pilkada Jakarta?

Mungkin ya, ini hypothetical, jawabannya adalah, yang paling tahu adalah mereka sendiri. Mungkin ada insentif yang lebih baik, yang lebih menguntungkan bagi partai-partai tersebut ketimbang punya Anies sebagai gubernur di DKI Jakarta. Hanya itu yang bisa memberikan jawaban secara realistis terhadap kenapa perilaku itu berubah. Kira-kira seperti itu. Jadi, kita melihat bahwa…

Maaf saya potong. Karena Bung Saiful sudah mendalami penelitian political behavior sejak dulu, Anda profesor di bidang ilmu politik, biasanya tokoh yang ada di suatu daerah tertinggi, atau tingkat elektabilitasnya tinggi di survei, itu Anda juga sebagai seorang pollster, biasanya common practice adalah tokoh itulah yang diambil oleh partai politik. Mereka akan sama-sama mendukung atau mencari cara supaya ia bersama partai tersebut. Tetapi kali ini itu justru tidak terjadi. Jadi ini sebuah anomali politik yang tidak pernah terjadi di sebelumnya. Elektabilitas tinggi. Dulu, beberapa minggu yang lalu saya mewawancarai banyak orang di sini, Prof. Saiful Mujani, dan semua mengatakan bahwa Anies untuk Pilkada Jakarta itu hampir sama dengan mbak Khofifah di Jatim, sulit dikalahkan. Tapi kini, untuk kasus Pak Anies Baswedan dengan elektabilitas tertinggi, dianggap sulit untuk dikalahkan, tapi sekarang adalah orang yang paling pertama ditinggal…

Oleh partai politik.

Partai politik pengusung.

Ya, dan saya kira di situ partai politik lagi-lagi ya, kita melihat bahwa elektabilitas Anies itu kan diukurnya dari aspirasi pemilih, dan aspirasi pemilih itu bisa mewujud, menjelma menjadi real secara politik apabila bertemu dengan kepentingan para elite ini. Apabila tidak ketemu, dia tidak akan menjadi apa-apa. Dia tidak akan didaftarkan ke KPU sebagai calon. Dan walaupun dia sehebat apa pun, tidak akan jadi. Karena sistem kita begitu. Begitu susahnya Anda bisa menjadi calon di dalam pilkada, Mbak Rosi. Tadi itu yang dialami oleh Anies.

Apa sebenarnya pilihan-pilihan yang terbaik buat masyarakat atau pemilih Jakarta?

Kalau itu yang ditanyakan, dan kita memperhatikan at least konsisten dalam persaingan pemilu nasional sebelumnya, atau setidak-tidaknya minimal tidak menurun lah kualitasnya, adalah menjaga irama kontestasi dalam politik nasional, dalam hal ini adalah antara blok Anies, blok Ganjar Pranowo, dan blok Prabowo. Ada 3 kubu ini. Nah, kalau ini dipertahankan, kita akan punya komposisi yang menarik dan sesuai dengan aspirasi Masyarakat DKI Jakarta. Pertama, di dalam, menurut survei, kita tahu ini kan dari survei, berbagai survei, bukan hanya satu survei, yang bersaing cukup bagus dan menarik, mencerminkan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat adalah Anies, Ahok, dan Ridwan Kamil.

Untuk Pilkada Jakarta?

Pilkada DKI Jakarta. Saya tidak tahu hasilnya nanti.

Siapa pun yang menang…

Apa pun yang menang itu tidak soal…

Tetapi dengan kontestasi itu yang terbaik?

Yang penting ada persaingan…

Ada persaingan baik, ada pilihan untuk Jakarta?

Ada persaingan di situ, ada pilihan orang Jakarta, dan masyarakat Jakarta tidak dirugikan. Karena apa? Dia rugi, karena pilihannya menjadi terbatas apabila hanya satu calon melawan kotak kosong atau orang seperti kotak kosong, begitu lho Mbak Rosi. Tapi kalau 3 ini lumayan lah, begitu ya. Kita punya Anies, kita punya Ahok, sebut begitu kalau Ahok dicalonkan, dan kita punya Ridwan Kamil. Kenapa tidak itu saja yang dipasang, kira-kira kayak begitu. Dan saya melihat bahwa karena adalah intensinya… apa namanya… adalah ingin menang di dalam persaingan itu adalah suatu hal yang wajar, gitu ya, dalam politik, tapi ada yang aneh sebenarnya. Perubahan ini…

Sebelum ke situ, Prof. Saiful Mujani, tadi Anda mengatakan, kalau ingin Pilkada ini menarik, sehat, berkualitas secara demokratis, secara demokrasi, maka semoga yang bisa maju dalam kontestasi Pilkada Jakarta adalah Anies Baswedan, Ahok Basuki Tjahaja Purnama, dan juga Ridwan Kamil. Tapi ada nama PDI-P tidak bisa menyalonkan sendiri, dan partai-partai yang ingin diajak koalisi seperti memiliki kesungkanan atau merasa takut jika partai koalisinya atau calon yang didukungnya itu ada nama Basuki Tjahaja Purnama, karena akan mengembalikan memori Pilkada 2017.

 

Kejanggalan Langkah Golkar

 

Saya masih bersama pendiri lembaga survei SMRC, Profesor Saiful Mujani, yang juga penulis buku berjudul “Kuasa Rakyat” yang menganalisa tentang perilaku memilih dalam pemilihan legislatif dan presiden Indonesia pasca Orde Baru.

Prof. Saiful Mujani, tadi kita bicara soal sebaiknya Jakarta, pilkada nanti diisi dengan nama Pak Anies, nama Pak Ahok, nama Pak Ridwan Kamil. Itu seru dan asyik buat pemilih Jakarta. Tapi pertanyaannya adalah, Pak Ahok itu hanya didukung oleh PDI Perjuangan. PDI-P nggak bisa sendirian. Mengapa, jadi bagaimana bisa mewujudkan 3 nama itu kalau satu partai tidak bisa mendukung atau mengusung nama Basuki Tjahaja Purnama sendiri, ya?

Oke, di situ tantangan untuk partai politik, Mbak Rosi, saya melihatnya, ya. Kan tidak salah kita melakukan revisi terhadap koalisi dengan kualitas yang lebih baik. Kualitas yang lebih baik artinya mengedepankan kepentingan rakyat, dalam hal ini adalah memberikan opsi atau pilihan-pilihan yang lebih baik, lebih beragam. Dan itu kan menguntungkan rakyat dengan banyak pilihan seperti itu. Jadi kalau Ahok masuk ke sana tapi syaratnya tidak terpenuhi karena partainya hanya PDI Perjuangan, dilakukan revisi. Ada diskusi antara Pak Surya Paloh dengan Ibu Mega, diskusi Cak Imin dengan Ibu Mega, dst., dst. kayak begitu. Kenapa? Karena untuk mencalonkan Anies itu cukup 2 partai. Tidak perlu harus 3. Misalnya, yang masuk di sana adalah Nasdem dengan PKS, itu cukup. Sekarang Ibu, Partai PDI Perjuangan dengan PKB, misalnya, itu bisa untuk mendukung Ahok, bisa seperti itu. Nah, jadi itu adalah satu perbaikan daripada bentuk-bentuk koalisi dalam pemilu nasional sebelumnya. Karena itu kan menciptakan satu keragaman seperti itu, itu satu. Dan berdasarkan pada aspirasi warga DKI yaitu 3 tokoh ini.

Tapi juga menarik untuk dicatat, Mbak Rosi, kita sebelumnya melihat keinginan Golkar untuk mempertahankan Ridwan Kamil di Jawa Barat, tapi tiba-tiba hilang keinginan tersebut, begitu ya. Pertanyaannya adalah kenapa terjadi perubahan sikap Golkar dan Ridwan Kamil itu masuk ke Jakarta dengan cara mengubah, merombak format koalisi yang sudah terbentuk selama ini? Kalau mau masuk Jakarta masuk saja seperti yang saya sarankan tadi, kan bagus. Jangan cawe-cawe dan ganggu partai lain. Saya melihat di situ ada pressure terhadap partai-partai di luar pendukung Prabowo ini agar masuk ke dalam koalisi tersebut sehingga diusahakan supaya Ridwan Kamil menang, Anies harus di-*sensor*. Itu yang saya lihat. Kenapa harus begitu? Boleh saja tentu saja, ya, dalam politik yang pakai machiavellian seperti itu, tapi akan sangat baik kalau mendengarkan aspirasi masyarakat tersebut, di mana masyarakat sudah punya pilihan setidak-tidaknya untuk sementara ini dia mengagumi Anies, masih, Anies masih unggul, begitu ya. Mengagumi Ahok, kuat, masih, dengerin lah rakyat itu, begitu. Ketika juga Ridwan Kamil sebagai pendatang baru di Jakarta. Dan apalagi mereka punya resources mungkin yang lebih besar, karena jumlah partainya juga lebih besar kalau digabungkan, kira-kira, Mbak Rosi. Percaya dirilah untuk bersaing di Jakarta, jangan merusak partai-partai yang lain yang sedang membangun sebuah koalisi untuk memberikan harapan kepada rakyat Indonesia dan rakyat DKI Jakarta sebagai satu, apa namanya, etalase politik nasional. Kalau di Jakarta bagus, mungkin akan baik begitu ya, untuk daerah-daerah lain juga, Mbak Rosi.

Jadi kita menyambut Ridwan Kamil untuk ikut dalam kontestasi Pilkada Jakarta, tapi jangan dong menutup kesempatan untuk seorang Anies Baswedan dan juga calon yang lain.

Persis.

Anda seorang pollster, selalu dimintai pandangan tentang elektabilitas seorang tokoh dan bagaimana kemudian partai mengusungnya. Tadi Anda sudah mengatakan soal Ridwan Kamil. Berawal dari Walikota Bandung, menjadi Gubernur Jawa Barat, dan memang ia tertinggi elektabilitasnya di Jawa Barat, tetapi ia dimasukkan atau dia kemudian dipindahkan ke Jakarta, yang kemudian membuat elektabilitasnya… lebih… Kalau di Jakarta, ya lebih rendah dibandingkan…

Wajar…

Wajar, karena dia memang tokoh di Jawa Barat. Tetapi memang semacam ‘dipindahkan’ ke Jakarta oleh partai Golkar. Apakah menurut Anda partai Golkar ini sedang mengorbankan sesuatu, atau memang sengaja dikorbankan?

Saya melihat, gini Mbak Rosi, ada kejanggalan di situ, ya, kalau dilihat secara politik. Bagaimana pun, bagi Golkar sebagai sebuah partai politik, jumlah kursi itu yang utama, ya. Tujuannya kan mengumpulkan kursi sebanyak-banyaknya di DPR. Nah kalau bicara itu, jauh Jawa Barat lebih strategis daripada DKI Jakarta.

Untuk partai Golkar?

Untuk partai Golkar.

Mengusung kadernya sendiri?

Iya. Jadi memenangkan Ridwan Kamil di Jawa Barat itu jauh lebih strategis bagi partai Golkar ketimbang memenangkan Ridwan Kamil di DKI yang belum tentu menang. Oleh karena itu, paling logis adalah, seperti suara-suara yang muncul di Golkar sebelumnya, Ridwan Kamil akan dijaga di Jawa Barat. Tidak akan masuk ke Jakarta. Tapi, belakangan mungkin kita tahu, akan masuk ke Jakarta. Dengan sendirinya, itu adalah sebuah kemenangan besar bagi Gerindra sendiri. Karena pesaing Ridwan Kamil, kedua setelah Ridwan Kamil, itu adalah kader Gerindra. Dan dialah kemungkinan…

Itu, Dedi Mulyadi di Jawa Barat?

Dedi Mulyadi. Kemungkinan akan terpilih menjadi gubernur di Jawa Barat. Itu kemenangan bagi Gerindra, kekalahan bagi Golkar. Kita bicara kalah dan menang kan, dalam soal ini. Terus berikutnya adalah di DKI. Di DKI mengorbankan dan menciptakan satu bentuk politik kartel yang sangat buruk. Bentuk kartel tadi, hilangnya persaingan, dimonopoli oleh satu kekuatan tertentu, yang tidak bisa saya sebutkan namanya, dalam hal ini, Mbak Rosi. Nah di situ kemudian yang kita melihat adalah sebuah kolusi, begitu ya, partai politik itu bukan partai sebenarnya. Karena partai itu mengandaikan adanya hubungan dengan konstituen dan seterusnya, adanya persaingan antara partai politik untuk mendukung kadernya, dan seterusnya semacam itu. Apa yang terjadi yang kita lihat di Jakarta adalah semuanya kolusi, semuanya kompromi, tidak mengedepankan kepentingan masing-masing partai. Pasti, pasti di sini ada koordinasinya, tidak mungkin secara spontan tiba-tiba jadi sepakat kayak begitu, tidak. Saya melihat di situ ada sebuah kekuatan yang extraordinary yang membuat koalisi tadi tidak menjadi lebih baik, malah menjadi lebih buruk dalam membuat sistem kepartaian kita sistem kepartaian kartel sebagaimana sudah ditulis teman saya, Dodi Ambardi.

Bung Saiful, Pak Anies Baswedan ketika ditanya wartawan mengatakan begini. Pertanyaan wartawan begini, “Ada upaya KIM Plus ini untuk jegal Pak Anies di Jakarta?” Jawab Pak Anies, “Ya, itu kan semua spekulasi kita sekarang ini. Tidak ada yang berubah. Memang ada yang berubah? Belum ada yang berubah. Tentu kalau kita bicara tentang komentar-komentar. Tapi keputusan partai kan masih sama semua, dan saya percaya partai-partai ini, yang mana itu kita tahu ada PKB, Nasdem, dan PKS, akan mengikuti apa yang menjadi aspirasi pemilihnya.” Apakah percaya diri seorang Anies Baswedan ini menurut Anda ada dasarnya? Ketika hampir semua orkestrasi pernyataan publik partai-partai politik seperti sudah mengindikasikan ‘Bye-bye Anies Baswedan’.

Saya melihat itu bukan percaya diri. Anies, lebih saya memahaminya itu sebagai sebuah harapan. Anies berharap demikian. Dan, harus begitu, secara normatif bicara supaya komunikasi dengan partai-partai tetap terjaga dengan baik. Tapi kita tahu, di balik itu sesungguhnya, bahwa Anies sedang disingkirkan oleh partai-partai ini. Bahkan kita lihat tadi pidatonya, awal, ketua PKS ya, yang paling eksplisit mendukungnya tiba-tiba kemudian menyambut keinginan dari koalisi sebelah, begitu ya. Kenapa Nasdem saja yang diajak? Kenapa PKB saja yang diajak bicara? Kenapa PKS tidak? Itu kan, terlalu harfiah begitu ya, untuk menunjukkan kelemahannya sebagai partai politik. Disayangkan sebetulnya PKS seperti itu. Tapi memang PKS dalam kondisi yang sangat sulit menurut saya. Tanpa PKB dan tanpa Nasdem dia tidak bisa apa-apa dalam situasi seperti itu. Ada alternatifnya dengan PDI Perjuangan, mungkin. Tapi itu mungkin secara historis tidak mudah kerjasama seperti itu. Kita lihat juga contoh yang lain mungkin. Ini tadi DKI. Kita agak geser sedikit, mbak, sebagai contoh. Hasil di Sumatra Utara, sekarang tinggal satu partai di Sumatra Utara yang tidak masuk ke dalam koalisi besar, yaitu yang namanya PDI Perjuangan.

Karena semuanya sudah ke Bobby Nasution.

Sudah ke Bobby semuanya, termasuk PKS, terakhir PKS bergabung ke Bobby Nasution. Itu dimungkinkan seperti itu, karena PDI Perjuangan kebetulan bisa mencalonkan sendiri. Tidak apa, masih ada persaingan di situ walaupun mungkin dilihat dari sisi partai tidak terlalu berimbang. Ingin saya katakan bahwa PKS bisa begitu, maksud saya, ya. Juga Nasdem, dan juga PKB. Jadi, pada umumnya partai kita perilakunya seperti itu. Apalagi dalam situasi yang tidak mudah, ada pressure, ada tekanan, ada kriminalisasi politik, dan semacam itu, dan kita, saya tidak bisa menyebutkan namanya. Tapi kalau ngobrol di belakang, kita bisa ngobrol, kira-kira begitu, Mbak Rosi. Tapi kan ada kriminalisasi politik, bahwa untuk mencapai tujuan-tujuan politik menggunakan kasus-kasus hukum. Saya melihat itu pada partai politik besar yang terjadi di negeri ini, dan itu sangat buruk bagi politik kita, bagi kemandirian partai politik, dan bagi kehidupan publik kita, masyarakat yang berharap pada hasil pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah, Mbak Rosi.

Saya masih bersama pendiri lembaga survei SMRC dan guru besar ilmu politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Profesor Saiful Mujani. Prof. Saiful Mujani, saya ingin mengutip apa yang dikatakan oleh ketua DPP PAN, Saleh Partaonan Daulay, mengatakan bahwa bergabung… kepada… tentang PDI-P, karena di sini ada semacam situasi yang cukup ironis, PDI-P partai pemenang pemilu legislatif, tapi seperti kehilangan teman kerjasama di pileg. Karena itu ia mengatakan pada PDI-P, “Bergabung itu justru terhormat. Justru kalau terbelah, tidak baik dalam persepsi publik. Karenanya, lebih baik melangkah bersama dalam pilkada, bersama dalam pemerintahan.” PAN menyebut PDI-P akan lebih terhormat jika bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju. Bagaimana Anda melihat bahwa memang dalam politik perlu juga, meskipun dulu tidak bersama di pilpres, tapi perlu juga berteman pada akhirnya supaya bisa tetap eksis?

Saya tidak setuju, ya, dengan… Bukan tidak setuju, mungkin ada penilaian lain, bahwa yang namanya terhormat itu adalah berada dalam sebuah kekuasaan. Kekuasaan dalam pengertian dalam jabatan tertentu. Apakah itu di nasional maupun di daerah, kira-kira begitu. Itu satu persepsi, tapi saya melihatnya tidak demikian. Bahwa kehormatan politik itu juga adalah bagaimana menjaga, begitu ya, bagaimana menjaga agar politik kita yang normal sesuai dengan kaidah-kaidah yang normal itu bisa berjalan dengan baik. Salah satu unsur yang saya sering tekankan yang membuat politik itu normal dan modern dan beradab itu adalah apabila ada keragaman di tingkat elit. Karena keragaman itu kemudian menciptakan persaingan di tingkat elit. Kalau tidak ada persaingan, kita rugi semua. Tidak ada check and balances 

Yang rugi adalah pemilih?

Pemilih, rakyat Indonesia yang rugi. Nah oleh karena itu, mungkin dalam jangka pendek dan saya harap pragmatis, PDI Perjuangan mungkin 5 tahun ke depan dia berada di bawah, tidak berkuasa, dan seterusnya semacam itu, mungkin. Seperti dialami juga pada Pemilu 2004 dan 2009, sama. 10 tahun tidak berkuasa PDI Perjuangan.

Dan tidak berada dalam kekuasaan atau dalam pemerintahan itu juga sama terhormatnya?

Sama terhormat dan itu menjaga normalitas dari sistem yang sedang kita bangun.

 

PDIP Menulis Sejarah

 

Bung Saiful Mujani, tapi begini, faktanya, semua survei mengatakan hasil seperti yang akan saya bacakan saat ini, tetapi saya ambil saja dari survei Kompas periode Juni 2024 yang mengatakan bahwa dukungan Presiden Jokowi masih berpotensi mempengaruhi pilihan dalam pilkada. Lebih dari separuh responden, 54,3% memiliki orientasi pilihan politik yang linier dengan dukungan Pak Jokowi. Ini artinya hampir lebih dari separuh responden, apa yang dipilih Pak Jokowi di pilkada nanti itu akan dipilih oleh pemilih di daerah. Jadi dengan fakta ini, kalau partai politik tidak berusaha mendekat dengan Pak Jokowi, tidak mencoba untuk satu nama dengan Presiden Jokowi, ya konyol.

Kalau diartikan politik kekuasaan, iya. Mungkin itu benar, Mbak Rosi. Tapi seperti saya katakan tadi, bahwa, apa salahnya PDI Perjuangan tidak bergabung dengan Pak SBY waktu itu? Pak SBY, yang saya tahu, berharap PDI Perjuangan bersama-sama dengan Pak SBY waktu itu.

Ya tetapi faktanya secara elektabilitas Pak SBY, katakan di tahun pertama luar biasa. Tapi kemudian di tahun kedua Pak Jokowi ini relatif stabil dengan tingkat approval rating yang tinggi bahkan di bulan-bulan terakhir di masa pergantian kekuasaan, Presiden Jokowi menunjukkan anomali luar biasa, tidak ada satu pun presiden di dunia ini yang di masa akhirnya tingkat approval rating tetap di atas 70%.

Iya betul. Kalau dilihat dari sisi itu, ya. Itu tidak bisa dipisahkan dari kebijakan-kebijakan populis yang dibuat oleh Pak Jokowi, kira-kira begitu. Itu juga satu penjelasan, begitu ya. Dan kita tidak bisa membuat Indonesia ini terus menerus dengan kebijakan populis semacam itu. Kita bisa kedodoran, kira-kira begitu. Kita harus bagaimana pun mengembalikan politik kita dengan politik yang normal, bukan kebijakan populis seperti tadi. Para ekonom sudah bicara banyak, bahwa kondisi kita sekarang ini berada pada hollow yang di tengahnya itu kosong, kiri dan kanannya itu penuh. Artinya apa? Artinya selama di bawah kepemimpinan pak Jokowi ini, yang diuntungkan itu adalah kelas atas, yang kemudian yang diuntungkan berikutnya adalah kelas paling bawah, karena ada bansos. Yang ini karena ekonomi, yang monopolistik seperti itu. Sementara kelas menengahnya di sini kosong. Itu yang terjadi di Bangladesh sekarang, kemarahan kelas menengah. Yang terjadi di Chile. Para ekonom sudah bicara tentang efek daripada kondisi ekonomi semacam ini terhadap politik dan kemarahan semacam itu. Dan kita jangan. Jangan meniru itu dan membuat itu terjadi di sini, apa yang terjadi di Bangladesh seperti itu. Oleh karena itu, Mbak Rosi, saya melihat bahwa, kemudian kita sangat membutuhkan partai seperti partai PDI Perjuangan yang tidak bersama dengan yang sedang berkuasa. Kita berterima kasih kepada PDI Perjuangan mau mengorbankan yang baru disebut tadi, ‘konyol’. Bagi saya itu adalah sebuah upaya untuk membangun kelembagaan politik kita secara lebih baik ke depan dengan cara, disebut dengan tanda kutip, mungkin mengorban… tidak mengorbankan diri sebenarnya. Dia sedang membangun dirinya, menulis kembali sejarah politik Indonesia ke depan, yang dulu, kita tahu, PDI Perjuangan membuatnya, pada zaman orde baru, dia sedang menulis itu dan melawannya, dan inilah hasilnya. Kemudian masuk Ibu Mega jadi presiden, kemudian kalah oleh Pak SBY, begitu ya. Tidak apa-apa berada di luar. Dan semuanya ini adalah, kalau kita perhatikan semuanya adalah bagian dari proses bagaimana kita membangun politik kita. Kalau semuanya berada di dalam, saya tidak membayangkan ya, politik kita akan menjadi seperti ini. Saya nggak membayangkan ada Pak Jokowi. Kalau semuanya berada di dalam kungkungan Pak SBY pada waktu itu. Itu yang harus dicatat oleh kita dan itu sangat mahal. Dan saya sebagai warga negara berterima kasih pada PDI Perjuangan yang punya sikap seperti itu.

 

Peluang Kaesang

 

Kita lihat sekarang faktanya adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, sudah hampir, dan kemudian DKI, kemudian Jakarta, itu di atas kertas semua calonnya adalah dari Koalisi Indonesia Maju Plus. Dan itu artinya, Koalisi Indonesia Maju Plus akan menyapu bersih kemenangan di kantong-kantong…

Peluang itu terbuka.

…suara untuk Pilpres 2029 nanti dan peluang itu terbuka. Tapi batas akhir pendaftaran di KPUD itu masih tanggal sekitar Agustus akhir, itu tanggal 29 Agustus. Menurut Bung Saiful, apakah memang nama-nama di Koalisi Indonesia Maju Plus ini, ada Dedi Mulyadi, M. Luthfi, dan Khofifah Indar Parawansa, kemudian RK, itu memang nama yang akan kita lihat dalam pilkada nanti atau masih tersisa beberapa hari untuk kejutan di Pilkada?

Kalau melihat kecenderungannya, mungkin itu agak stabil. Artinya apa, kalau, yang paling dinamis kan di DKI, Mbak Rosi.

Khofifah tetap di Jawa Timur, kalaupun ada contendernya ya bagus juga, siapa pun yang menang, biarlah itu, tetapi paling tidak ada nama lain.

Ada Khofifah di sana. Bahwa Khofifah akan menang dan tidak, itu soal yang lain lagi. Tapi sampai hari ini, itulah jagoan-jagoan dari Koalisi Indonesia Maju, iya kan? Mbak Khofifah terus kemudian Pak Luthfi mungkin di Jawa Tengah, dan di Jawa Barat sudah jelas, begitu ya. Tadinya kan Ridwan Kamil, dan ternyata bukan. Dan di DKI seperti ini. Bahwa kemudian mereka akan menang atau tidak itu pertanyaan yang berikutnya, tapi yang jelas itu adalah keputusan-keputusan yang dibuat. Menurut saya itu cukup mencerminkan solidnya dan kokohnya duet Prabowo dengan Pak Jokowi untuk men-set kepemimpinan daerah pasca pemilu nasional tersebut.

Menurut Anda, nama putra pak presiden, Mas Kaesang, itu akan wakili di mana? Wakil gubernur Jawa Tengah, atau wakil gubernur Jakarta mendampingi RK?

Kalau posisi di Jakarta ini memang tidak ada pesaing, dugaan saya, dugaan ya, spekulatif, dugaan saya di Jakarta.

Mendampingi RK?

Mendampingi RK. Dan peluang kemungkinan juga dari Jawa Tengah. Menurut saya di Jawa Tengah bahkan ya, kalau pengamatan saya, masyarakat Jawa Tengah sementara ini itu cukup positif sama Kaesang. Mau ditaruh nomor satu pun kemungkinan itu, peluang itu terbuka.

Untuk menang?

Untuk menang, di Jawa Tengah, ya. Bukan Pak Luthfi. Misalnya ya, kalau berani mengajukan Kaesang. Jadi, kemungkinan-kemungkinan itu terbuka. Jadi saya melihat bahwa kemenangan Koalisi Indonesia Maju itu masih kelanjutan dari kemenangan pemilu nasional. Kemungkinan-kemungkinan itu sangat besar ketimbang adanya anomali-anomali dari politik nasional secara umum, kira-kira begitu, Mbak Rosi.

Jadi sebenarnya kalau misalnya berdasarkan pengukuran dalam survei, ya tidak apa-apa, Mas Kaesang saja jadi gubernur Jawa Tengah karena terbukti elektabilitasnya tinggi, dan biarkan Pilkada Jakarta ada nama Pak Anies, ada nama Pak Ahok, ada nama Pak Ridwan Kamil. Itu bagaimana kita akan lihat Pilkada ini juga bisa jadi lebih berwarna.

Saya kira begitu. Cuma, sangat disayangkan untuk kasus Kaesang itu mungkin agak extraordinary karena kejutan sangat kejutan dalam artian sangat muda, begitu ya, dan punya hubungan khusus dengan Pak Jokowi. Oleh karena itu, mungkin ekstra hati-hati. Harus dipastikan. Makanya misalnya salah satunya adalah kemungkinan di Jakarta, maka dipastikan Jakarta harus menang. Makanya harus lawan kotak kosong atau orang seperti kotak kosong, Mbak Rosi.

Terima kasih Profesor Saiful Mujani untuk perspektif politik Anda untuk Pilkada 2024 nanti. Selalu senang mendengar perspektif politik Anda.

Oke, terima kasih.

RELATED ARTICLES

Terbaru