60 persen publik Indonesia menilai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang batas usia calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres) tidak adil. Sementara 61 persen menilai keputusan tersebut untuk memenuhi keinginan Gibran menjadi cawapres. Demikian temuan survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), pada 29 Oktober – 5 November 2023. Temuan ini disampaikan pendiri SMRC, Prof. Saiful Mujani, dalam program ‘Bedah Politik bersama Saiful Mujani’ episode “MK dan Gibran di Mata Publik” yang disiarkan melalui kanal Youtube SMRC TV pada Jumat, 10 November 2023.
Video utuh presentasi Prof. Saiful bisa disimak di sini: https://youtu.be/Khq4wSMRMF0
Saiful menjelaskan bahwa dalam sebulan terakhir kita dikejutkan dengan keputusan yang dibuat oleh MK di mana permohonan agar capres atau cawapres bisa dari warga yang berumur 40 tahun ke bawah. Selama ini, dalam undang-undang, usia minimal seorang capres atau cawapres adalah mereka yang minimal 40 tahun. Ada aspirasi di masyarakat untuk meninjau kembali undang-undang tersebut. Karena itu mereka mengajukan peninjauan kembali ke MK agar warga yang berumur kurang dari 40 tahun bisa menjadi capres atau cawapres.
MK memutuskan bahwa seorang warga bisa mengajukan diri atau diajukan sebagai capres atau cawapres walaupun umurnya belum 40 tahun apabila dia telah menjadi pejabat yang dipilih melalaui pemilihan umum seperti anggota DPR, anggota DPRD, gubernur, walikota, atau bupati. Menurut Saiful, yang menarik bukan hanya keputusannya, tapi juga tentang bagaimana proses pengajuan tersebut pada MK sebelum lembaga itu mengambil keputusan.
Saiful menjelaskan bahwa awalnya, pengajuan agar batas umur tersebut diturunkan adalah agar warga negara yang berumur di bawah 40 tahun bisa menjadi capres atau cawapres. MK menolak permohonan tersebut. Namun dalam waktu yang tidak terlalu lama, muncul permohonan baru bahwa batas usia calon presiden 40 tahun kecuali yang memiliki pengalaman pemerintahan daerah seperti gubernur, walikota, bupati, atau bahkan pernah menjadi pejabat publik yang dipilih melalui pemilihan umum seperti DPR, DPRD 1, atau DPRD 2. Usulan ini diajukan oleh Almas Tsaqibbirru, seorang mahasiswa dari Surakarta, di mana Gibran menjadi walikotanya. Dia mengajukan peninjauan kembali batas usia capres-cawapres ke MK dengan menyatakan secara eksplisit bahwa dia adalah pengagum Gibran, putera Presiden Jokowi.
“Awalnya pengajuan penurunan batas usia tersebut ditolak MK karena itu bukan wewenang MK. Argumen penolakan MK adalah bahwa untuk aturan usia capres/cawapres, itu bukan wilayah wewenang MK, melainkan wewenang DPR dan pemerintah atau presiden. Karena itu, mestinya saluran pengajuan ditujukan pada DPR atau pemerintah jika tidak setuju dengan aturan batas usia tersebut. Namun permohonan yang kedua yang diajukan oleh Almas bahkan tidak mengatakan umurnya harus berapa, namun yang penting adalah pernah menjadi pejabat publik yang dipilih oleh rakyat. Permohonan ini dipenuhi oleh MK,” jelas Guru Besar Ilmu Politik UIN Jakarta tersebut.
Saiful melanjutkan bahwa pada permohonan pertama di mana pemunduran batas usia capres/cawapres ditolak, Ketua MK, Anwar Usman, tidak ikut sebagai hakim. Namun pada permohonan kedua di mana pemohon menyebut diri sebagai pengagum Gibran, Ketua MK, Anwar Usman, ikut sebagai hakim dalam perumusan keputusan yang mengabulkan permohonan tersebut. Keputusan ini kemudian menyebabkan Gibran, yang dikagumi oleh pemohon, bisa menjadi calon wakil presiden.
Apakah masyarakat tahu dengan keputusan MK bahwa warga yang belum berumur 40 tahun bisa menjadi cawapres karena dia sudah menjabat atau sedang menjabat kepala daerah yang dipilih oleh rakyat? Survei nasional SMRC pada 29 Oktober – 5 November 2023 menunjukkan ada 41 persen warga yang tahu MK telah memutuskan bahwa seseorang boleh menjadi capres/cawapres bila pernah atau sedang menjadi pejabat yang dipilih melalui pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah meskipun umurnya belum 40 tahun. Yang tidak tahu sebanyak 59 persen.
Dari 41 persen yang mengetahui keputusan tersebut, hanya 37 persen (atau 15 persen dari total populasi) yang mengetahui yang mengajukan permohonan pada MK tersebut mengaku bahwa dirinya pengagum Gibran Rakabuming Raka. Sementara yang tidak tahu 63 persen.
Saiful menegaskan bahwa sangat sedikit publik yang mengetahui bahwa yang mengajukan peninjauan kembali yang kemudian disetujui oleh MK tersebut adalah seorang mahasiswa Surakarta yang mengagumi Gibran.
“Warga yang tahu bahwa yang mengajukan permohonan tersebut adalah pengagum Gibran hanya 15 persen dari total populasi. Sangat sedikit,” kata Saiful.
Lebih jauh Saiful mengemukakan bahwa keluarga Jokowi memiliki hubungan kekeluargaan dengan Ketua MK. Adik Presiden Jokowi adalah istri dari Anwar Usman, Ketua MK. Karena itu, Ketua MK adalah paman ipar Gibran. Menurut aturan dalam MK, orang yang memiliki hubungan kekeluargaan atau yang memiliki hubungan kepentingan, baik diuntungkan maupun dirugikan, dari keputusan yang dibuat MK tidak boleh ikut dalam proses pengambilan keputusan MK tersebut.
Apakah publik tahu bahwa ketua MK, Anwar Usman, adalah paman Gibran? Dari 41 persen yang mengetahui keputusan MK tersebut, ada 55 persen (22 persen dari total populasi) yang mengetahui bahwa Ketua MK adalah paman ipar Gibran. Yang tidak tahu sebanyak 45 persen.
Dari yang mengetahui bahwa Ketua MK, Anwar Usman, yang ikut dalam proses keputusan MK tersebut adalah paman Gibran, hanya 34 persen (8 persen populasi) yang menyatakan keputusan tersebut adil dan ada 60 persen (13 persen populasi) yang menyatakan itu tidak adil. Masih ada 6 persen yang tidak menjawab.
“Mayoritas warga menilai bahwa keputusan MK tersebut tidak adil. Keputusan MK bahwa orang yang pernah menjadi pejabat publik dan dipilih oleh rakyat boleh menjadi capres/cawapres walaupun belum berusia 40 tahun dianggap tidak adil karena paman Gibran, Anwar Usman, ikut sebagai hakim dalam pengadilan dan pengambilan keputusan tersebut,” ungkap Saiful.
Saiful melanjutkan bahwa ada konflik kepentingan dalam proses pengambilan keputusan MK tersebut. Seorang hakim tidak bisa mengambil sikap secara adil apabila ada pihak, karena hubungan keluarga dan kepentingan lain, yang akan mengambil manfaat baik langsung maupun tidak langsung dari hasil pengadilan tersebut.
“Karena itu, 60 persen masyarakat melihat keterlibatan Anwar Usman dalam memutus perkara batas usia Capres/Cawapres tidak adil,” tegasnya.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah keputusan MK tersebut dilakukan untuk meloloskan Gibran agar bisa diajukan sebagai calon wakil presiden? Dari yang tahu Anwar Usman paman Gibran, 61 persen yang menilai bahwa keputusan MK tersebut untuk meloloskan Gibran sebagai cawapres. Hanya 24 persen yang menilai itu bukan untuk Gibran menjadi cawapres dan 15 persen tidak jawab.
“Menurut publik secara nasional, keputusan MK tersebut dibuat betul-betul untuk memenuhi harapan atau keinginan Gibran menjadi calon wakil presiden,” ungkap ilmuwan politik jebolan Ohio State University Amerika Serikat tersebut.
Saiful menyimpulkan bahwa dari masyarakat yang tahu dan mengikuti proses keputusan MK bahwa mereka yang punya pengalaman kepala daerah yang pernah dipilih oleh rakyat bisa menjadi capres/cawapres walaupun belum berusia 40 tahun, umumnya menganggap keputusan itu tidak adil. Umumnya publik menilai keputusan itu diambil untuk memenuhi kepentingan Gibran, putra Presiden Jokowi, agar bisa menjadi calon wakil presiden.
“Dan ini, menurut publik, adalah keputusan yang tidak adil,” tandasnya.
Populasi survei ini adalah seluruh warga negara Indonesia yang punya hak pilih dalam pemilihan umum, yakni mereka yang sudah berusia 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah ketika survei dilakukan. Sampel sebanyak 2400 responden dipilih secara acak (stratified multistage random sampling) dari populasi tersebut. Response rate (responden yang dapat diwawancarai secara valid) sebesar 1939 atau 81%. Sebanyak 1939 responden ini yang dianalisis. Margin of error survei dengan ukuran sampel tersebut diperkirakan sebesar ± 2,3% pada tingkat kepercayaan 95% (asumsi simple random sampling). Responden terpilih diwawancarai lewat tatap muka oleh pewawancara yang telah dilatih. Waktu wawancara lapangan 29 Oktober – 5 November 2023.