Pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Profesor Saiful Mujani, diminta pendapatnya terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) batas usia capres-cawapres oleh tim Mata Najwa.
Keputusan MK itu, kata Profesor Saiful, dibuat untuk melayani Gibran Rakabumi Raka, putra Presiden Jokowi. Putusan MK itu, di mata Profesor Saiful, adalah contoh politik yang mengabaikan rule of law dan melemahkan demokrasi.
Profesor Saiful juga menyoroti aliansi Presiden Jokowi dengan Prabowo Subianto dengan agenda mendorong Gibran jadi cawapres Prabowo. Menurut Profesor Saiful, aliansi itu adalah aliansi tidak suci. Aliansi ironis.
Berikut petikan wawancara tim Mata Najwa dengan Profesor Saiful Mujani yang disiarkan pada 20 Oktober 2023.
Apa pendapat Anda tentang putusan MK terkait syarat pencalonan Capres Cawapres?
Saya bukan orang hukum, melihatnya secara politik. Menurut saya secara substantif itu muatan politisnya sangat kental, sangat kuat, dan tidak meyakinkan juga terhadap publik secara umum karena kesimpulannya itu membingungkan, termasuk bagi para ahli hukum tata negara. Misalnya, seperti Pak Haryono. Saya tadi berdiskusi dengan beliau, dengan opininya. Termasuk orang seperti Yusril yang mengatakan itu cacat yang sangat serius yang dibuat oleh Mahkamah Konstitusi walaupun itu mengikat.
Oleh karena itu, menurut saya itu tidak punya nilai. Saya menilainya tidak punya nilai legal dan oleh karena itu implikasi politiknya buruk. Kira-kira begitu. Mungkin ada agenda politik di situ, tapi tidak bisa dieksekusi dengan baik. Kalau Mahkamah Konstitusi digunakan untuk eksekusi politik, keputusan yang dibuat seperti itu sangat lemah dan tidak membantu tujuan awal kenapa harus menggunakan MK sebagai instrumen untuk tujuan politik tersebut.
Sebut aja misalnya, saya terus terang aja, yang dimaksud itu adalah tujuan dari Gibran dalam hal ini, siapapun di belakangnya itu mungkin Pak Jokowi sendiri. Karena dari permohonan itu kan eksplisit disebutkan karena yang memohonnya itu adalah pengagum Gibran sebutlah begitu. Jadi, ini dibuat spesial memang untuk melayani Gibran. Sayangnya, keputusan yang dibuat oleh para hakim itu tidak meyakinkan. Menurut saya, target politiknya tidak tercapai.
Apa dampak putusan MK itu bagi demokrasi?
Pertama adalah, demokrasi itu, salah satu unsur yang penting adalah mengakui rule of law. Itu sangat fundamental di mana pun. Demokrasi itu bersandar pada rule of law. Jadi, bukan hanya partisipasi dan aspirasi dari masyarakat dari bawah, tapi juga harus konstitusional. Oleh karena itu, kalau aspek hukum, Rule of Law-nya itu tidak independen, diintervensi, saya melihatnya itu diintervensi oleh eksekutif, maka di sana tidak ada independensi penegakan hukum atau rule of law di dalam negara, dalam demokrasi kita dan itu ancaman yang serius.
Salah satu unsur yang sangat penting dari demokrasi itu untuk membuat sebuah demokrasi itu matang adalah ada yang disebut sebagai constrain dari judikatif dan legislatif terhadap eksekutif. Constrain itu artinya Kontrol. Kontrol itu dimungkinkan kalau dia independen. Nah itu kelemahan kita yang sangat fundamental secara sistematik sejak Pak Jokowi menjadi presiden 10 tahun terakhir. Itu lemahnya di situ.
Kita lihat misalnya, harusnya Pak Prabowo itu menjadi oposisi sampai sekarang. Harusnya. Oposisi itu dibutuhkan untuk tadi, legislative constrain of executive. Jadi, kontrol DPR terhadap pemerintah itu wajib hukumnya. Nah itu yang mencirikan sebuah demokrasi yang semakin matang. Dengan Pak Prabowo atau, dulu Golkar dan sebagainya, itu kan kebanyakan partai itu pendukung Prabowo waktu 2014. Tapi memasuki 2015 sebagian ke pindah ke Pak Jokowi sehingga kemudian kontrol dari DPR menjadi lemah.
Memasuki setelah pemilu 2019, semakin menjadi-jadi. Prabowonya sendiri berada di dalam pemerintahan Pak Jokowi. Oleh karena itu, itu menunjukkan indikasi kematian check and balances, rule of law dari demokrasi kita.
Anda setuju ini termasuk bentuk dinasti politik?
Kita lihat aja prosesnya ya, apakah ini dinasti atau bukan. Kalau kita lihat, mestinya secara etik, saya kira di semua lembaga penegak hukum adalah kalau ada hakim yang punya hubungan khusus personal dengan orang yang mengajukan kasus, mestinya dia independen. Mestinya dia tidak ikut di situ. Itu yang pertama.
Untuk soal umurnya itu tidak mesti harus 40 tahun, itu kan yang diajukan oleh banyak termasuk oleh teman dari PSI, itu kan ditolak semua semua setuju dengan itu. Dan Pak MK ini tidak berada pada pihak yang mengambil keputusan di situ. Tapi begitu dalam perkembangannya ada pengajuan yang berbeda dengan memberikan eksepsi bahwa kalau dia berpengalaman menjadi elected official, seperti walikota, bupati dan sebagainya, bahkan mungkin jangan-jangan kepala desa juga. Kepala desa itu juga elected official, itu boleh misalnya. Nah itu di situ bapak ketua MK ikut sebagai hakim di situ yang ikut memutus. Kita tahu kan suara yang betul-betul membolehkan permohonan itu kan tiga hakim, termasuk ketua MK itu sendiri.
Oleh karena itu, saya tidak melihat di situ itu betul-betul murni, objektif sebagai proses judisial berlangsung di MK. Saya melihat itu lebih unsur-unsur politiknya, tadi seperti saya katakana, itu sangat kental. Dan politiknya bukan politik yang kita harapkan, tapi itu politik nepotisme, politik yang mengorbankan kepentingan publik untuk hubungan keluarga atau hubungan kekerabatan dan seterusnya.
Sederhananya politik dinasti itu adalah politik yang diperoleh karena hubungan darah, karena hubungan kekeluargaan, di mana di situ dalam hubungan tersebut ada pihak yang sedang berkuasa. Dasarnya itu. Kalau Gibran maju sekarang, bukan hanya maju sebagai wakil presiden nanti, sekarang pun dia jadi walikota, itu tidak bisa dipisahkan dari konsep politik dinasti.
Karena apa, bayangkan ya, dalam proses Gibran menjadi walikota saja contohnya di Solo, itu hampir dia tidak menemukan lawannya. Saya dengar, tapi saya tidak punya bukti empiris, bahwa lawannya pun itu sengaja dibuat karena tidak ada orang yang mau bersaing dengan Gibran. Begitu kuatnya Gibran. Kalau anak saya di Banten sana, misalnya, mau jadi seorang bupati di Serang, siapa yang peduli karena saya bukan siapa-siapa. Tapi, seorang Gibran itu punya nilai politik yang luar biasa besarnya karena bapaknya seorang presiden.
Jadi, bagaimana kita tidak bisa mengatakan bahwa nilai politik Gibran itu tidak bisa dipisahkan dari Jokowi, itu faktanya memang kebesaran Gibran, kebesaran Kaesang, tanpa perkaderan partai, hanya dalam tempo beberapa hari saja, kemudian ditunjuk atau diangkat menjadi ketua umum partai politik. Kalau bukan anak Jokowi, maaf ya sama Kaesang, bukan saya merendahkan Anda. Tapi faktanya begitu.
Normalnya kalau Pak Jokowi care dengan demokrasi kita tanpa politik dinasti, mestinya kita morotorium dulu. “Papa ini presiden, potensial dimanfaatkan oleh orang. Orang pada datang ke sini untuk kepentingan bisnis ataupun politik. Para broker pada datang karena kekuatan, kekuasaan, jaringan, resources yang ada yang bisa digerakkan oleh presiden”. Kalau dia bukan presiden dia tidak punya resource yang cukup untuk mobilisasi tersebut. Oleh karena itu, seharusnya, normalnya, kalau dia concern dengan ini, tunggu papa pensiun jadi presiden. Silakan nanti anda maju. Mungkin bisnis saja. Bisnis pun sebenarnya itu harus hati-hati karena, tadi bisa potensial orang mau bekerja sama bisnis dengan Gibran dengan Kaesang itu karena pertimbangan bapaknya seorang presiden.
Jadi, supaya tidak ada conflict of interest seharusnya moratorium dulu. Itu akan menjadi pendidikan dan penciptaan budaya politik yang sangat baik untuk demokrasi kita. Tapi mungkin itu harapan yang terlalu tinggi kita, saya, terhadap seorang Pak Jokowi, terhadap seorang Gibran, terhadap seorang Kaesang. Terlalu tinggi harapan itu. Jadi, itulah keadaannya. Tidak punya imajinasi yang cukup untuk membayangkan sebuah demokrasi kita, Indonesia, yang matang.
Apakah menurut Anda Presiden Jokowi ikut “cawe-cawe” dalam putusan itu?
Itu juga satu hal yang unik pada Pak Jokowi. Kita punya presiden sebelumnya yang menghadapi pemilu langsung dipilih oleh rakyat. Kita sebut Ibu Mega. Seingat saya, kalau dibuka jejak digitalnya, saya tidak melihat Ibu Mega melakukan mobilisasi kelompok-kelompok kepentingan menjelang pemilihan umum, kecuali partainya sendiri. Itu wajar karena dia ketua partai. Tapi ada yang namanya relawan, kelompok sosial, dan seterusnya, ikut serta mengarahkan opini agar memilih pemimpin dengan karakteristik tertentu yang kita tahu misalnya harus tegas, harus punya nyali. Itu kan punya makna yang agak spesifik dan bisa mengacu kepada orang tertentu. Minimal, orang menduga-duga, persepsi ini, Pak Jokowi sebenarnya menginginkan siapa. Dia sebagai kepala negara, kalaupun dia punya preferensi mestinya tidak terbuka kepada publik. Kalau itu sudah kampanye namanya. Dan saya melihat pada kasus bukan hanya Ibu Mega, pada kasus Pak SBY pun tidak dilakukan itu. Walaupun Pak SBY punya preferensi, saya tahu harusnya siapa, tapi tidak ngomong di publik. Dia cukup mengantarkan pemilu ini berjalan dengan baik, memastikan pemilunya jurdil sebisa mungkin, dan itu kewajiban negara untuk itu, kewajiban presiden, memastikan pemilu berlangsung dengan baik. Soal siapa yang menang, siapa yang kalah itu bukan kewajiban presiden. Dan Pak Jokowi mengabaikan unsur itu. Jadi, unsur pentingnya imparsialitas presiden, tidak partisannya presiden untuk memastikan pemilu berjalan dengan baik dan objektif, itu diabaikan oleh Pak Jokowi. Itu satu.
Dan kesan saya adalah memang penguatan demokrasi, penguatan rule of law, bukan prioritas Pak Jokowi dari awal itu sangat sistematik. Dia sendiri yang bicara. Kalau tidak salah mungkin Najwa Shihab pernah wawancara dengan itu dan saya membaca dan melihatnya. Jadi, walaupun, misalnya HAM itu penting, tapi ekonomi lebih dulu. Kira-kira begitu bahasanya. Jadi, model pemerintahan Pak Jokowi ini sebenarnya model Orde Baru, tapi lahirnya dia lewat demokrasi. Kalau Pak Harto lahirnya itu lewat kudeta. Pak Jokowi lahirnya itu lewat demokrasi. Itu ironis banget sebenarnya.
Dia yang dilahirkan oleh demokrasi, tapi membunuh demokrasi atau membiarkan setidak-tidaknya demokrasi menjadi melemah di kita dengan argumen bahwa ekonomi dulu, kira-kira begitu. Padahal kalau kita pelajari Orde Baru pun itu tidak bisa sustainable. Pembangunan ekonomi tanpa disertai oleh rule of law, tanpa disertai oleh demokrasi, tidak sustainable. Buktinya tumbang Orde Baru. Nah, Pak Jokowi tidak cukup belajar untuk itu.
Tapi mudah-mudahanlah kita punya pemimpin yang lebih care terhadap ini atau cara pandang yang lebih baru terhadap hubungan antara demokrasi dengan pembangunan ekonomi. Cara pandang yang baru itu adalah tidak bisa dipisahkan antara keduanya. Kita tidak bisa meniru kaya Cina atau kaya Singapura yang tidak demokratis. Mungkin dalam plus-minusnya adalah kita meniru seperti India. Oleh karena itu, karena kita lebih beragam masyarakatnya dibanding Cina, Cina itu lebih homogen sebenarnya, walaupun penduduknya besar. India mungkin contoh kita. Oleh karena itu, di sana saya tidak melihat Pak Jokowi punya visi yang serius, yang kompleks, yang sophisticated untuk menjalankan pemerintahan ini hubungannya antara pembangunan ekonomi dengan demokrasi.
Menurut Anda, seberapa layak Gibran Rakabuming menjadi Cawapres?
Kalau soal layak, semua warga negara kalau sesuai dengan undang-undang yang berlaku, menurut saya layak. Itu kan masalah hukum, masalah aturan, masalah konstitusi, dan seterusnya, sejauh itu memenuhi. Katakanlah Gibran tidak memenuhi syarat itu karena ada ukuran umur. Itu tidak memenuhi. Nah, itu kan kasusnya seperti Pak Jokowi ingin menjadi tiga periode. Dia mengutak-atik undang-undang untuk memasukkan keinginannya itu. Jadi, kita tahu ada, misalnya, kasus Gibran ini yang menghambatnya, yaitu batasan umur, tapi kan kemudian dengan sangat cerdiknya dimasukkan kasus yang lain lagi, argumen yang lain lagi. Nah, itu menurut saya, politik di atas hukum, bukan sebaliknya.
Harusnya kalau mau tertib, politik itu harus berjalan berdasarkan hukum. Bukan dibalik. Kalau dibalik, itu pasti ketidakpastian akan terjadi di dalam politik kita. Oleh karena itu menurut saya, Gibran punya hak untuk jadi cawapres asal sesuai dengan hukum. Nah, ketika sekarang MK memutuskan bahwa Gibran bisa karena dia walikota, jadinya tentu saja boleh. Tapi perubahan itu terjadi kelihatan sekali motifnya, itu untuk melayani seorang Gibran. Bukan untuk imparsialitas dalam proses demokratisasi yang terjadi dalam masyarakat kita.
Bagaimana Anda melihat Jokowi yang dulu dan sekarang?
Saya pendukung Pak Jokowi, terus terang saja. Menjelang Pemilu 2014 terang-terangan di media soial, itu rekam digitalnya jelas. Tapi, saya mendukung Pak Jokowi bukan karena Pak Jokowi hebat sebenarnya, karena lawannya enggak ada. Adanya terlalu buruk untuk jadi Presiden Indonesia. Saya enggak mau orang yang menurut penilaian saya, mungkin bisa dianggap subjektif, kita bisa berdebat, Pak Prabowo tidak pantas jadi Presiden Indonesia. Nah sekarang lawannya tinggal Pak Jokowi. Saya terpaksa harus memilih dan mendukung Pak Jokowi. Sampai saya diteror, misalnya, dilaporin ke Bawaslu, kantor saya mau dibom. Itu saya lakukan karena saya ingin punya seorang presiden yang pantas untuk negeri kita yang kita cintai ini. Oleh karena itu, saya mendukung Pak Jokowi karena pilihannya sangat terbatas. Hanya bisa milih Pak Prabowo atau Pak Jokowi. Dalam konteks ini, dengan segala plus-minusnya, tentu saya milih Pak Jokowi.
Demikian juga 2019. Saya berharap di 2019 Pak Prabowo tidak maju lagi sehingga ada calon lain yang berhadapan dengan Pak Jokowi, tapi itu tidak terjadi. Nah, sekarang juga begitu. Ironisnya adalah saya mendukung Pak Jokowi itu karena saya tidak mau Pak Prabowo jadi presiden. Sekarang Pak Jokowi tidak maju lagi, anaknya kemudian akan menjadi wakilnya Pak Prabowo, yang itu di mata saya, Pak Jokowi ini berhadapan dengan Pak Prabowo. Tapi sekarang justru beraliansi. Yang saya bayangkan berkonfrontasi itu sekarang menjadi aliansi. Aliansi yang tidak suci, kalau menurut saya. Oleh karena itu, itu ironis.
Mungkin Pak Jokowi tidak seperti saya melihatnya dalam kontestasi politik ini. Mungkin di melihatnya berbeda. Jadi, kalau dia masuk dalam kontestasi politik nasional untuk pemilihan presiden, tidak punya argumen kepantasan atau ketidakpantasan Prabowo untuk jadi presiden. Alasannya bukan itu, dugaan saya. Beda dengan saya. Kalau saya masalah kepantasan Prabowo untuk jadi presiden. Oleh karena itu, saya milih Pak Jokowi. Kalau Pak Jokowi mungkin alasannya bukan itu. Mungkin dia merasa kalau Pak Prabowo bisa dipilih oleh rakyat, para pendukung Prabowo bilang argumen-argumen saya itu sudah basi, kan sering disampaikan kayak begitu, mungkin Pak Jokowi juga berpikirnya seperti itu.
Kalau masyarakat banyak akan mendukung Pak Prabowo, bagi Pak Jokowi tidak masalah. Dan kecenderungannya adalah Pak Jokowi ingin mendukung siapapun yang kemungkinan akan menang. Nah di dalam observasi kita, memang Pak Prabowo ada peluang untuk menang kali ini. Jadi, ini soal politik real, tidak ada normanya di situ. Tidak ada nilainya di situ. Saya melihatnya begitulah Pak Jokowi berpolitik.
Menurut Anda ketika kesempatan sudah terbuka, apakah Gibran berani menolak tawaran Cawapres?
Harapannya begitu, harapan saya begitu. Gibran masih muda dan prospeknya masih panjang. Kenapa tidak berjalan dengan cara-cara yang normal dalam tanda kutip. Artinya, dia menjalani pemerintahan dengan baik. Tunjukkan kepada publik bahwa dia bisa berprestasi dengan baik. Dan pada saatnya nanti dan jangan menjadi wakil orang yang dipersoalkan, yang kontroversial, seperti Pak Prabowo. Tunggulah misalnya satu atau dua periode. Dia masih sangat muda. Itu harapan. Tapi apakah Gibran berpikir demikian, ya itu soal yang lain lagi.
Setelah keluarnya putusan MK itu, kita bisa apa?
Bagi pemilih adalah bahwa kita tidak bisa menilai dari janji-janjinya saja terhadap calon itu. Belajarlah, apalagi sekarang kan akses terhadap informasi relatif jauh lebih baik dibanding 20-25 tahun yang lalu. Lihatlah track record-nya, kepantasan orang untuk menjadi pemimpin nasional. Bukan dari janjinya bahwa dia akan melakukan hal-hal yang baik ke depan. Itu penting, tapi yang lebih penting menurut saya adalah track record-nya. Apa yang sudah dia lakukan di masa yang lalu. Apakah ada hal yang positif, ada hal yang negatif, lalu dihitung-hitung. Orang yang paham politik Indonesia, mestinya cukup memberikan informasi yang memadai kepada para pemilih yang, mungkin, kurang cukup literate, kurang cukup mengerti tentang tokoh-tokoh yang menjadi calon pemimpin nasional kita. []
Video wawancara bisa disimak di sini: https://youtu.be/iWOFBI1tXhw