Pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Profesor Saiful Mujani diundang program Rosi Kompas TV pada Kamis, 8 Juni 2023, secara live. Dalam kesempatan itu, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah itu ditanya berbagai pertanyaan terkait perkembangan politik terkini.
Di antaranya soal isu keretakan hubungan Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarno Putri, dengan Presiden Jokowi; kejelasan dukungan Jokowi terhadap Prabowo Subianto atau Ganjar Pranowo; peran calon wakil presiden dalam kemenangan kontestasi; juga soal tudingan miring terhadap lembaga survei.
Berikut petikan wawancara Rosiana Silalahi, host program Rosi, dengan Saiful Mujani. Pertanyaan/pernyataan Rosi dalam format italic, sementara jawaban Saiful Mujani non-italic.
Saya sudah bersama Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Profesor Saiful Mujani. Bung Saiful terima kasih sudah di Rosi.
Hari Selasa kemarin kita melihat rapimnas dan ada keakraban antara Bu Mega dan Presiden Jokowi. Dan ada Pak Ganjar Pranowo juga di situ. Ada Mba Puan dan Mas Prananda. Saya ingin mendapatkan impresi dulu dari anda, di tengah isu keretakan Bu Mega dan Pak Jokowi, apakah rapimnas kemarin tampilan bersama itu menjawab semua spekulasi atau tuduhan yang ada?
Jawaban sederhananya, iya. Cuma, mba Rosi, itu kan spekulasi. Opini di luar tentang keretakan Bu Mega dan Pak Jokowi. Masyarakat secara umum tidak tahu persis sebenarnya bagaimana hubungan dua orang yang sangat penting ini. Itu satu.
Kedua, saya kira hubungan keduanya menjadi sangat-sangat penting, terutama dalam hubungannya dengan pemilu, dan banyak pihak yang berkepentingan dengan Pemilu 2024, bagaimana pun. Oleh karena itu, menjadi wajar kalau berbagai spekulasi di luar muncul, termasuk di luar negeri, tentang hubungan dua orang yang sangat penting ini.
Nah, dengan opini yang berkembang di luar seperti itu, yang menunjukkan atau mengatakan Ibu Mega dan Pak Jokowi itu kurang sejalan atau kurang akrab, itu kan opini di luar, dan politik itu sebagiannya adalah opini, saya kira rapimnas kemarin kebersamaan Ibu Mega dan Pak Jokowi dan yang lain-lain, itu merupakan respons atas spekulasi itu. Dan saya setuju dengan itu. Dan menurut saya harus, karena apapun aslinya seperti apa, publik secara luas tidak tahu.
Bung Saiful, izinkan saya bertanya begini. Media asing pun menyoroti soal retaknya hubungan Bu Mega dan Pak Jokowi. Landasan dari opini mereka mana yang tidak valid atau itu ada benarnya sehingga mereka bisa menyimpulkan antara Bu Mega dan Pak Jokowi itu hubungannya memang panas dingin dan sekarang cenderung tidak harmonis….
Bisa dipahami spekulasi itu ya. Karena, pertama-tama, terutama, hubungannya dengan pemilihan presiden 2024. Kan ada harapan, utamanya, awalnya, itu bukan Mas Ganjar yang jadi calon presiden. Itu logis juga sebagai bagian dari harapan politik. Sebutlah kita mungkin Mba Puan harapannya. Dan itu cukup lama. Tapi kan menurut saya pada akhirnya harus dibuat… Jadi, masa jeda itu kita membacanya kalau Pak Jokowi kan kesan saya dan sepengetahuan saya adalah melihat secara realistis dan secara rasional saja. Rasional dan realistis itu apa yang kira-kira paling pas untuk rakyat Indonesia? Rakyat Indonesia itu artinya apakah mereka akan memilih siapa. Dan sudah dikasih kesempatan, ternyata tidak berubah peta itu. Ganjar sebagai kader PDI Perjuangan yang paling mungkin.
Tapi itu cukup lama tidak putus, kan begitu. Nah, itu ditafsirkan kemudian Ibu Mega akan lebih mengedepankan kepentingan keluarga. Walaupun, sebenarnya kalau kita flash ke belakang tidak begitu. Ibu Mega maupun Puan kalau kepentingan keluarga, mestinya maju 2014. Tapi kan tidak terjadi.
2014 bisa Ibu Mega sendiri yang maju.
2019 Ibu Mega juga masih sehat. Bisa dia maju. Tapi kan dia melihat fakta di lapangan. Dan menurut saya membuat keputusan yang bijaksana seperti yang sudah terjadi ini. Ini juga begitu. Jadi, kalau ada harapan salah satu kader terbaiknya di dalam elite PDI Perjuangan menjadi calon presiden, saya kira itu harapan yang logis, tapi kemudian harus atas dasar kenyataan politik di lapangan seperti apa. Kenyataannya adalah rakyat lebih menginginkan Ganjar daripada kader yang lain. Dan Ibu Mega ngambil keputusan itu. Menurut saya itu adalah sebuah sikap yang terbuka dan bijaksana dan itu juga yang membuat saya kira faktor PDI Perjuangan salah satu partai yang solid sejauh ini.
Bung Saiful meskipun demikian, sering kali Bu Mega dalam pidatonya mengatakan petugas partai dan itu bagi banyak orang yang tidak memahami definisi petugas partai itu menjadi antipati. Pada rapimnas kemarin Ibu Mega itu ditanya sebenarnya oleh wartawan soal cawe-cawenya Pak Jokowi, tapi sepertinya Bu Mega menganggap pertanyaan itu adalah cawe-cawenya Bu Mega pada Presiden Jokowi. Ini jawaban dia.
Itu presiden saya. Itu presiden rakyat Indonesia. Saya mau neken gimana cara nekannya. Apakah ini mampu memoderasi atau menyembuhkan perasaan antipati terhadap terminologi yang sering digunakan, petugas partai.
Saya kira memang secara umum di luar, istilah petugas itu konotasinya kurang positif. Secara umum ya di luar dipahami. Apalagi untuk seorang presiden, walaupun tadi Bu Mega sudah mengatakan ini presiden saya dan dipilih oleh rakyat, punya rakyat Indonesia. Cuman, saya melihat secara spesifik di PDI Perjuangan itu hal yang standar. Sebutlah begitu ya. Itu standar. Itu berlaku pada Pak Jokowi, berlaku pada Ganjar, atau siapa saja: gubernur, bupati, dan sebagainya, menggunakan istilah itu. Jadi, bukan sebagai pembantu Ibu Mega. Tapi ini adalah ejawatahan dari pelembagaan politik yang disebut PDI Perjuangan. Jadi, semua kader-kader itu yang bekerja di eksekutif maupun legislatif itu disebut sebagai petugas. Artinya, dia mewakili, merepresentasikan rakyat yang diwakilkan kepada PDI perjuangan.
Persis. Tapi itu kan buat internal. Begitu itu disampaikan di publik, seolah-olah pilihan partai yang menjadi kader terbaik partai, ini menjadi boneka partai politik.
Menjadi anak buah, pesuruh.
Apakah Bung Saiful juga melihat bahwa ini bisa merugikan Ganjar Pranowo yang menjadi bakal calon bakal presiden PDI perjuangan?
Secara umum, saya kira iya. Karena pemilu ini bukan hanya melibatkan atau pemilih PDI Perjuangan. Istilah itu akrab di telinga kader dan pendukung PDIP Perjuangan.
Mengapa itu tidak terlalu merugikan pada Pak Jokowi sebelumnya disebut juga petugas partai. Mengapa itu lebih merugikan Ganjar Pranowo sebagai bakal calon presiden? Apa yang membedakan?
Yang membedakan adalah intensitas penyebutan Pak Jokowi sebagai petugas partai itu agak belakangan. Tidak pada 2014 atau menjelang 2014. Itu di dalam memori saya itu tidak ada. Itu lebih belakangan saja. Paling-paling muncul itu kalau di raker dan sebagainya. Di internal.
Ketika sudah jadi presiden maksudnya..
Iya, betul. Ketika sudah jadi presiden, itu agak belakangan istilah itu muncul pada Pak Jokowi. Oleh karena itu, dia udah jadi presiden, tidak ada ruginya disebut seperti itu. Wong dia memang sudah jadi presiden. Tapi Pak Ganjar lain. Pak Ganjar ini masih baru satu langkah menjadi presiden.
Bakal calon presiden…
Dan bisa gagal.
Kalau belum apa-apa sudah disebut sebagai petugas partai, apa resikonya?
Resikonya adalah seolah-olah Ganjar ini hanya milik PDI Perjuangan. Padahal untuk menjadi presiden, Ganjar ini harus menang 50% plus. Dan itu artinya, tidak cukup PDI Perjuangan saja. Oleh karena itu, bahasa yang dipakai adalah bahasa yang diterima oleh kebanyakan orang. Dan ini juga mungkin sebagai satu kritik atau apapun namanya, Ibu Mega kan relatif jarang bicara kepada publik.
Tadi bahasa seperti tadi, Pak Jokowi ini adalah presiden kita, presiden rakyat Indonesia, itu kan sekali-sekali muncul seperti itu.
Sehingga yang muncul di memori kolektif publik adalah petugas partai, bukan seperti tadi penjelasan Bu Mega itu adalah presiden kita. Saya tidak akan saya tidak bisa menekan. Jadi bukan itu yang diingat. Penghormatan seorang Ketum PDI perjuangan pada presiden, tapi yang diingat adalah petugas partai.
Betul. Oleh karena itu, menurut saya komunikasi politik semacam ini harus lebih lebih diperbanyak, harus lebih sering dilakukan.
Seperti apa? Menempatkan presiden atau calon presiden sebagai pelayan rakyat?
Pelayan rakyat dan inklusif. Tidak dibatasi hanya ini, misalnya kalau Mas Ganjar sekarang kan mungkin baru awal-awal ini, kalau sosialisasi ke daerah kan mengunjungi kantor-kantor atau kader-kader PDI Perjuangan di daerah. Tidak, atau kurang, atau belum ya setidaknya sekarang, waktunya kan udah dekat, mengunjungi secara lebih inklusif. Harus lebih inklusif seperti saya katakan tadi. Presiden ini adalah presiden rakyat Indonesia. Bukan presiden PDI Perjuangan.
Karena kalau ini kurang inklusif, saya khawatir resistensi terhadap Ganjar dan PDI Perjuangan akan menjadi kuat. Dan itu akan merugikan Ganjar. Menurut saya ya.
Bung Saiful banyak sekali yang menerka-nerka, mencoba menebak-tebak isi hati Presiden Jokowi kepada siapa suaranya akan berlabuh. Pada Rapimnas PDI Perjuangan kemarin 6 Juni bertepatan dengan hari kelahiran Bung Karno, di akhir rapimnas Bu Mega memberikan hadiah ke Presiden Jokowi berupa foto bersama saat deklarasi Mas Ganjar di Istana Batu Tulis Bogor. Kita ingatkan kembali seperti apa video itu atau peristiwa itu.
Bung Saiful, apa pesan yang sesungguhnya ingin disampaikan Bu Mega. Mengingatkan Pak Jokowi kita sama-sama mengumumkan siapa yang akan menjadi calon presiden dari PDI Perjuangan..
Bukan hanya itu. Lebih dari itu. Sebetulnya itu adalah pesan kepada publik. Bukan sekedar bilang kepada Pak Jokowi, “Ayo dong, kamu jadi presiden karena dukungan kami. Sekarang waktunya adalah Pak Jokowi juga bersama-sama untuk mendukung Ganjar”. Itu pasti harapan itu.
Tapi yang lebih penting lagi, karena itu dibuka, dipublish, itu adalah semacam pernyataan kepada publik bahwa asumsi atau tafsiran seolah-olah Pak Jokowi tidak mendukung Ganjar, seolah-olah Pak Jokowi tidak dekat dengan elite PDI Perjuangan, seperti Bu Mega, ingin ditepis.
Foto itu ingin menunjukkan memori bersama bahwa pada saat pengumuman Ganjar Pranowo sebagai bakal calon presiden dari PDI Perjuangan ada Pak Jokowi di situ. Seberapa penting memang itu?
Secara politik itu sangat penting tentu saja. Kenapa penting, untuk Pak Jokowi khususnya ya, karena Pak Jokowi ini terlalu bernilai secara politik di mata rakyat. Dan itu bagi ‘kontestan’ yang lain itu jadi masalah dan harus digeser setidak-tidaknya bagaimana caranya membuat Pak Jokowi tidak memihak, sebut begitu. Dan saya kira logis kalau lawan politik Ganjar menginginkan Pak Jokowi minimal tidak memihak. Makanya ketika tadi ya, walaupun ibu Mega meresponnya berbeda, ada opini Pak Jokowi tidak boleh cawe-cawe. Artinya, jangan memihak pada calon tertentu deh. Netral saja sebagai presiden. Itu diharapkan terjadi.
Cuma, jangan lupa di dalam demokrasi, dalam satu partai yang sama, orang seperti Obama dan sebagainya, tidak mungkin mendukung calon partai Republik atau netral. Biasanya presiden itu dari satu partai yang sama dengan cukup eksplisit atau tidak, walaupun tadi kan tidak terlalu eksplisit, untuk pak Jokowi biasanya memihak pada keputusan partai yang sudah dibuat di mana dia bagian daripada partai itu.
Persis. Itu makanya pertanyaan banyak orang. Setelah deklarasi pun Pak Jokowi tidak kunjung menyebut secara verbatim nama Ganjar Pranowo sebagai calon presiden yang harus didukung. Ada apa dengan Presiden Jokowi?
[Segmen II]
Saya masih bersama Pendiri lembaga survei SMRC. Dia adalah orang Asia pertama yang meraih penghargaan bergengsi Franklin L. Burdette/Pi Sigma Alpha Award dari American Political Science Association (APSA) tahun 2010. Ia menjadi salah seorang pioneer di Asia sebagai pollster dan atau peneliti opini publik.
Sebagai seorang peneliti opini publik, ramai-ramai semua orang ingin mengidentikan diri dengan Presiden Jokowi termasuk asal partai Pak Jokowi, yaitu PDI Perjuangan. Apakah memang anda melihat mencatat opini publik itu melihat bahwa Pak Jokowi tidak lagi identik dengan bakal calon presiden dari partainya, tapi memang lebih identik dengan Pak Prabowo dari Gerindra? Apakah itu juga menjadi catatan anda dari opini publik?
Opini publik artinya bagaimana publik atau pemilih menilai atau mempersepsikan kedekatan atau keberlanjutan program dari Pak Jokowi dengan tokoh-tokoh yang akan menjadi presiden tersebut. Kalau tanya opini publik, masih kuat pada calon dari PDI Perjuangan. Dalam hal ini Pak Ganjar. Jadi, kalau ada asumsi, tadi Mba Rosi ditampilkan di situ, mungkin ditafsirkan yang utama bagi calon presiden itu kata Pak Jokowi adalah nyali. Berani dan bernyali. Dan dikatakan Pak Jokowi juga pada musra yang menekankan pentingnya itu.
Konteksnya adalah bahwa bagaimana susahnya berhadapan dengan dunia global untuk ekspor-impor, negosiasi, dan seterusnya. Pak Jokowi merasa kita dikerjain terus oleh negara-negara lain dan kita harus ngelawan itu. Dan membutuhkan pemimpin yang bisa melawan itu. Kira-kira begitu ya konteksnya.
Nah, siapa orang itu? Ada orang yang berspekulasi kalau spesifik seperti itu adalah Prabowo yang lebih berani karena dia berlatar belakang tentara, mungkin. Dan sering bicara di forum-forum internasional dengan gaya seperti itu juga yang kita lihat kemarin. Bukan Mas Ganjar. Orang berspekulasi seperti itu. Mungkin itu benar tapi, record Ganjar dibanding Pak Jokowi menurut saya itu lebih ‘straightforward’.
Sorry, sebelum ke situ Bung Saiful. Di hadapan Bu Mega, di hadapan bacapres PDI Perjuangan, sebenarnya wartawan bertanya apa wejangan bagi bacapres PDI Perjuangan untuk Pak Ganjar bernyali, berani, itu banyak orang melihat itu nyindir, “Hei berani dong sama partai, seperti saya bisa belok-belok sedikit sama partai”…
Saya kira itu terlalu jauh spekulasi seperti itu ya. Menurut saya meminta Pak Ganjar harus berani berhadapan dengan PDIP Perjuangan, kalau itu terlalu jauh menurut saya itu terlalu jauh. Poinnya adalah dalam konteks kepemimpinan global. Saya melihatnya di sana, bahwa kita memang membutuhkan itu dengan menghadapi dunia yang sangat tough ini membutuhkan pemimpin yang bernyali. Dan Mas Ganjar “Ini loh tantangan. Gue punya pengalaman 10 tahun tidak gampang loh berhadapan dengan dunia yang keras ini”. Saya melihatnya ke sana. Bukan suruh berkonfrontasi dengan PDI Perjuangan.
Kalau begitu, mengapa sampai sekarang Pak Jokowi tidak juga secara lugas verbatim Ganjar Pranowo adalah presiden yang juga saya dukung?
Di pidatonya ketika diputuskan di Bogor, Pak Jokowi kan kasih sambutan dan memberikan semacam penilaian Ganjar itu siapa dan sebagainya, misalnya….
Tapi itu internal yang tentu tidak dipublikasikan. Ada video yang memang beredar Bung Saiful bahwa tantangan ke depan geopolitik dan lain sebagainya, karena itu kita butuh pemimpin yang kuat, pemimpin yang berani, dan saya melihat itu ada di Pak Ganjar. Tapi itu internal. Itu divideokan oleh peserta dalam rapimnas itu. Tapi tidak dikatakan secara langsung oleh Presiden Jokowi…
Kita berharap Pak Jokowi dalam forum yang lebih terbuka menyatakan mendukung Ganjar? Saya kira tidak Pak Jokowi, mungkin ya menurut saya. Itu tidak Pak Jokowi tipe seperti itu. Apalagi….
Jadi, Bung Saiful ingin mengatakan sampai kapanpun kita tidak akan bisa mengharapkan seorang presiden Jokowi akan mengadakan pilih si A, pilih si B. Pilih G atau pilih P….
Menurut saya, kalaupun ini tidak langsung. Halus, seperti itu. Kebetulan kita record inchumbent dengan calon berikutnya itu kasusnya baru sedikit. Mungkin yang baru bisa dilihat hanya Pak SBY sebagai satu perbandingan. Ketika Pak SBY masuk 2014, di record saya tidak ada satupun Pak SBY secara publik mengatakan saya, walaupun partainya mendukung Prabowo dan ada besannya di situ, dan saya melihat Pak SBY tidak pernah mengatakan secara ke publik, kecuali secara personal, bahwa Pak SBY mendukung calon ini.
Jadi, Presiden Jokowi juga akan melakukan hal yang sama. Tidak akan secara terang-benderang load and clear mengatakan pilih si A, pilih si B. Berkampanye untuk calon presiden tertentu. Anda juga memastikan merasakan insting politik anda itu tidak dilakukan oleh Presiden Jokowi?
Saya merasa begitu.
Karena ini nyambung, Bung Saiful. Karena dalam press conference rapimnas kemarin, ada wartawan yang mengatakan ada baliho dari calon presiden tertentu, kita sudah tahu itu Pak Prabowo yang memiliki baliho dengan Pak Jokowi sebagai kelanjutan dari Presiden Jokowi. Itu ditanyakan oleh wartawan, apakah baliho ini disetujui oleh Presiden Jokowi. Dan apa pandangan Presiden Jokowi soal baliho itu. Tetapi itu tidak dijawab oleh Presiden Jokowi. Kemudian ini menjadi macam…
That’s him. Itulah Pak Jokowi. Enggak mungkin berkonfrontasi langsung secara terbuka. Harapan kita sebagai misalnya sebagai wartawan ingin dapat jawaban yang clear, “itu tidak tidak seizin saya”, misalnya. Harapannya kan kayak begitu. Enggak mungkin untuk berkonfrontasi langsung dengan itu. Bayangin, Pak Prabowo itu lawan politiknya dua kali secara langsung. Itu pun dia masih mau bersama. Segitunya personality Pak Jokowi. Halus dalam pengertian itu yang saya pahami. Jadi, kalau kita berharap lebih secara straightforward, mungkin susah. Mungkin kita salah berharap pada Pak Jokowi.
Jadi, ketika PDI perjuangan menginginkan adanya dukungan secara loud and clear jelas dari Presiden Jokowi untuk calon presiden dari PDI Perjuangan dan koalisinya, itu mengharapkan sesuatu yang tidak akan terjadi?
Secara langsung dan clear kayak gitu, mungkin tidak akan terjadi. Oleh karena itu sangat tergantung pada kreativitas PDI Perjuangan dengan timnya melihat nilai politik dari Pak Jokowi seperti apa. Nah, apa yang dilakukan kemarin dari PDI Perjuangan menurut saya sangat bagus. Mengkomunikasikan bagaimana hubungan Pak Jokowi dengan Ibu Mega, hubungan Pak Jokowi dengan Pak Ganjar, dan seterusnya. Publik makin semakin mengerti apa artinya Pak Jokowi dan bagaimana sikap Pak Jokowi. Saya bukan orang Jawa Mba Rosi, jadi enggak legitimate untuk menafsirkan kehalusan, simbol-simbol orang Jawa.
Oleh karena itu, menurut saya adalah sudah datang dua kali ke acara resmi di PDI Perjuangan, waktu pengumuman, waktu rapat kemarin, itu sudah lebih dari cukup untuk mengatakan Pak Jokowi berada di mana dalam kontek kontestasi politik.
Karena Bung Saiful mengatakan soal simbol-simbol, maka saya juga akan menampilkan simbol-simbol kebersamaan Presiden Jokowi dengan Gubernur Jawa Tengah, dengan Menteri Pertahanan yang juga menjadi sampai saat ini sebelum calon presiden dari partai Gerindra. Coba kita lihat simbol-simbol kebersamaan mereka.
Bung Saiful, Pak Jokowi ini sering sekali menggunakan simbol-simbol. Tapi kalau kita lihat setelah 21 April setelah deklarasi atau pengumuman bacapres dari PDI Perjuangan, Pak Jokowi mengajak Pak Ganjar naik mobil RI 1, naik pesawat bersama. Tapi kemudian juga pada saat Lebaran 22 April Pak Prabowo datang ke Solo. Lalu, di bulan Mei ada tanam mangrove Pak Prabowo Menhan dengan presiden. Jadi, ini sebenarnya siapa mengajak siapa? Atau, siapa yang proaktif minta diajak?
Saya tidak tahu ya. Tapi yang jelas, pertama adalah saya kira logis kalau Pak Prabowo ingin dilihat dekat dengan Pak Jokowi. Karena yang saya sebut tadi, nilai politik Pak Jokowi.
Atau Pak Jokowi yang mengajak Menhan dekat dengan beliau?
Mungkin juga. Saya tidak tahu persis soal itu. Dan menurut saya, Pak Jokowi pernah ngomong secara verbatim dalam pidatonya, Pak Prabowo memang minta untuk Kalau Pak Jokowi lagi berkunjung ke daerah dan sebagainya untuk menemaninya. Dan menurut saya pernyataan itu cukup jelas menunjukkan bahwa…
Kalau tidak salah itu acaranya PAN. Kemudian Pak Jokowi bilang menterinya Pak Zul juga minta diajak. Ya sudah, besok saya ajak. Dan betul diajak…
Kurang lebih seperti itu kan. Pak Prabowo kan punya agenda politik yang nyata. Kalau melihat resource politik dalam hal ini Pak Jokowi begitu kuat, saya kira logis kalau Pak Prabowo terus berusaha mengidentikan diri dengan Pak Jokowi di mata publik. Dan harus dilakukan itu. Pak Jokowi tidak merasa keberatan itu dilakukan. Apalagi dia sebagai salah satu menterinya.
Jadi, menurut saya poinnya di sini yang terpenting adalah Pak Jokowi ini diperebutkan oleh semua orang yang berkepentingan 2024. Itu dalam posisi yang tidak mudah buat Pak Jokowi sendiri menurut saya.
Tidak mudah?
Tidak mudah.
Justru kita mengatakan pada orang yang bisa memilih, justru tidak mudah…
Bukan, kita ingin mengatakan bahwa Pak Jokowi mengatakan untuk misalnya anda tidak bisa menggunakan saya untuk kepentingan politik anda, itu tidak mudah Pak Jokowi mengatakan seperti itu ke publik. Tapi dilihat dari recordnya tadi kan itu seolah-olah kan ada penyeimbang, keseimbangan antara dekat dengan Ganjar di satu pihak, di pihak yang lain dengan Prabowo juga dekat. Tapi kan enggak bisa dilepaskan dari kenyataan bahwa yang resminya kan Pak Jokowi tidak datang pada deklarasi Prabowo sebagai calon presiden. Dan belum daftar juga ke KPU. Tapi di Gerindra sudah. Sudah menyatakan bahwa Prabowo memang calon presidennya. Gerindra ya.
Nah, oleh karena itu menurut saya, beda gitu ya bagaimanapun dengan apa yang dilakukan oleh PDI perjuangan dengan Ganjar. Itu sudah resmi dan memberi memberi sambutan di kedua acara tersebut yang menurut saya itu sangat penting. At least untuk orang yang mengatakan seolah-olah Pak Jokowi ini tidak menginginkan Ganjar sebagai presiden.
Saya ingin mempertanyakan judul program Rosi malam hari ini, mengapa saya mengundang Prof. Dr. Saiful Mujani. Jadi, ketika ada isu soal keretakan Bu Mega dan Pak Jokowi, siapa yang diuntungkan?
Yang berkepentingan dengan 2024. Yang diuntungkan dalam jangka pendek. Dalam hal ini jangka pendek politik adalah 2024 yang tinggal 8 bulan. Jadi, jangankan riil, image saja sudah cukup untuk mengatakan bahwa Ibu Mega dengan Pak Jokowi tidak sejalan. Yang diuntungkan adalah lawan politik Ganjar. Tentu saja.
Sampai saat ini 3 teratas dalam survei adalah ada Pak Anies ada Pak Prabowo. Siapa yang paling diuntungkan ketika hembusan?
Pak Prabowo.
Ketika Pak Jokowi dan Bu Mega terus dibentur-benturkan yang paling dirugikan adalah Pak Ganjar dan yang paling diuntungkan adalah…
Pak Prabowo. Siapa yang membenturkan?
Siapa yang paling berkepentingan membenturkan itu?
Tidak tahu saya persisnya ya. Tapi wacana di publik ya tadi perbedaan antara Ibu Mega sama Pak Jokowi dalam konteks pemilihan presiden ini cukup tercipta. Dan memberikan pengertian pada sebagian publik bahwa Pak Jokowi tidak sejalan. Dan lawan yang paling diuntungkan dari sisi benturan ini adalah tentu saja yang selama ini dilihat dekat dengan Pak Jokowi. Dalam hal ini Pak Prabowo. Kenapa tidak Anies? Anies memang sudah agak eksplisit beda gitu jalannya. Oleh karena itu non-faktor. Jadi, ini adalah soal Pak Prabowo dengan Ganjar.
Saya ingin menanyakan satu hal, klarifikasi dari seorang profesor di bidang ilmu politik, apakah anda memang memiliki sentimen personal yang negatif pada Pak Prabowo sehingga apapun yang anda analisa tentang dia selalu menihilkan atau mengecilkan peran seorang Prabowo Subianto?
Secara objektif keilmuan, tentu saja tidak. Saya straight pada kaidah-kaidah ilmu. Tapi sebagai warga negara saya punya politik tertentu dan punya sikap politik tertentu. Saya mungkin sejak awal para Pak Prabowo mau jadi calon presiden, saya sangat kritis pada Pak Prabowo. Karena saya percaya pada track record yang terjadi pada pemberhentian Pak Prabowo waktu itu. Bagi saya itu adalah catatan yang sangat penting. Saya tidak mau punya presiden dengan track record seperti itu. Dan saya tidak akan lupa itu. Bahwa orang melupakan itu, itu urusan orang lain. Tapi saya tidak akan lupa dengan itu. Dan saya tidak tidak mau sebagai warga negara punya presiden dengan record seperti itu.
Apakah catatan kelam dari seorang Prabowo Subianto itu akan mempengaruhi metodologi survei anda?
Tidak akan. Karena survei itu adalah pertaruhan profesionalisme dan profesionalitas saya. Hidup saya itu ada di situ. Dan objektivitas, SOP dari survei itu adalah syarat yang mutlak harus dijaga. Kalau itu tidak dijaga, itu akan mati. Kalau mati, itu artinya itu mematikan diri saya sebagai seorang profesional. Bahwa saya punya sikap politik itu satu hal yang lain lagi. Di manapun intelektual di dunia bersikap kalau melihat sesuatu yang dianggap ini tidak bisa ditoleransi dalam hubungannya dengan masalah terutama, human rights. Menurut saya itu harus. Tidak bisa seorang intelektual dia melihat seperti itu.
[Segmen III]
Saya masih bersama pendiri lembaga survei SMRC, Profesor Saiful Mujani. Dia juga penulis buku ‘Kuasa Rakyat’ yang mengupas pengaruh survei opini publik bagi pelembagaan demokrasi di Indonesia setelah reformasi.
Bung Saiful, saya selalu membaca tulisan anda yang seolah menihilkan peran calon wakil presiden. Padahal sekarang beda dengan 2014. Kita tahu 2014 Pak Jokowi itu moncer sekali dari sisi survei, sehingga ya pemilihan wakil presiden itu ya tidak terlalu penting. Kalau sekarang di antara 3 nama itu tidak ada yang seperti 2014 Pak Jokowi. Anda masih bersikeras bahwa faktor bakal calon wakil presiden itu enggak penting?
Kalau saya dasarnya adalah data. Bukan harapan atau spekulasi. Saya membuat track mungkin 3 tahun terakhir, dengan berbagai metodologi, termasuk eksperimen, sejauh mana wakil itu akan mempengaruhi hasil dari kontestasi. Sampai hari ini saya belum menemukan satu jawaban yang meyakinkan bahwa wakil itu sangat penting untuk membuat seorang nomor satu menjadi lebih kuat terhadap lawannya.
Oleh karena itu, sementara kalau ditanya sama saya, apakah wakil itu penting dan wakil yang macam apa, mungkin saya tidak bisa menjawab dengan meyakinkan karena data tidak menunjukkan itu.
Kalau data tidak menunjukan itu harusnya dan sekarang sudah bisa dong calon wakil presiden. Kenapa partai politik masih, meminjam istilah Bu Mega, kalau politik itu kayak dansa. Harus melihat lagunya seperti apa. Harusnya kalau calon wakil presiden itu tidak dominan, bisa diumumin dari sekarang. Atau yang paling baru, misalnya, Demokrat mengatakan bahwa harus diumumkan wakilnya Pak Anies Baswedan. Kalau enggak ya kita harus mengevaluasi lagi. Artinya, kan masih tarik ulur dari soal calon wakil presiden. Saya melihat ada kontradiksi dari analisa Bung Saiful dengan apa yang terjadi secara realitas dari apa yang menjadi keputusan-keputusan partai politik: wakil presiden itu penting….
Kalau wakil itu tidak penting, mereka tidak punya resource untuk bargain. Jadi, posisi itu menjadi bagi partai politik untuk bargain.
Bargain, maksudnya?
Kan misalnya ada satu partai politik ingin berkoalisi, nilai politiknya bagi yang mau bergabung tersebut apa? Sebutlah, misalnya, AHY ingin jadi wakilnya. Nilai politik kan jadi posisi jadi wakil. Kalau tidak diputus-putuskan ini, berarti kan Demokrat tidak punya nilai politik yang yang kuat dalam konteks kontestasi ini. Gitu saya melihatnya. Nah, oleh karena itu berbeda dengan saya, tradisi kita memutuskan wakil itu injury time.
Last minute…
Last minute. Kemungkinan itu terjadi terakhir. Kemungkinan itu terjadi, kecuali dalam konteks yang berbeda. Misalnya, koalisi perubahan di situ ada tiga partai. Satu saja keluar, tidak jadi pencalonan itu karena dia membutuhkan tiga partai itu. Oleh karena itu, Demokrat maupun PKS ataupun Nasdem dalam hal ini masing-masing punya daya tawar terhadap partnernya di dalam koalisi tersebut. Oleh karena itu, tidak bisa main-main. Kalau Demokrat bilang “Ayo putuskan sekarang”, itu serius untuk Nasdem dan maupun untuk PKS. Kecuali Nasdem dan PKS punya alternatif lain selain Demokrat. Misalnya, “Oke anda silakan pergi, saya bisa ngambil yang lain menjadi sebagai pengganti”. Selama itu belum ada, tuntutan Demokrat itu menjadi sangat penting. Bukan untuk wakil itu penting bagi pemilih ya. Bukan itu.
Kita sudah melihat orang seperti Pak Ma’ruf Amin. Wakil itu secara konstitusional saja pemenuhan itu. Di Banten sebagai kampungnya Pak Ma’ruf Amin, kalah besar. Kalah telak. Jadi, menurut saya itu memang tidak kita bisa harapkan dari wakil untuk memenangkan pilpres. Kalau Demokrat berharap seperti itu karena itu memang bargaining politiknya. Buat apa berkoalisi dengan Nasdem dan sebagainya kalau tidak dapat posisi seperti itu. Bukan soal untuk memenangkan, tapi soal bargaining politik di antara elite politik itu sendiri. Saya melihatnya seperti itu.
Jadi, kalau misalnya partai politik mengatakan mencari wakil presiden, tentu mellihat dari elektoral, tapi yang penting bagaimana itu bisa diterima partai-partai koalisi suoaya mesin partai itu tetap berjalan…
Setidak-tidaknya tidak pecah koalisi itu. Tidak ada yang pergi, sehingga koalisi itu jadi bubar. Itu kan dasar. Bukan soal apakah akan memperkuat secara elektora atau tidak, itu hal yang lain lagi. Kalau mau bicara tentang efek daripada wakil terhadap kontestasi dari pemilihan, tanya sama Saiful. Apakah orang ini menguntungkan secara elektoral dan tidak, kita punya hitungannya. Tapi kalau apakah partai ini dirugikan atau tidak, itu urusan elite politik. Kalau saya melihatnya berbeda.
Secara singkat sebenarnya posisi wakil presiden itu tidak untuk pemenangan pemilu, tapi untuk soliditas koalisi..
Untuk solidasi koalisi untuk sementara ini. Saya melihatnya begitu. Itu satu. Kedua, jangan sampai memilih yang resistensinya terlalu tinggi dari pemilih.
Contohnya?
Saya tidak bisa menyebut nama. Tapi cukup banyak orang yang ingin menjadi wakil, misalnya, sebelum PDI Perjuangan memutuskan calon, kan ada keinginan Pak Prabowo dicalonkan dengan pasangan dengan siapa dan seterusnya. Kan ada aspirasi semacam itu. Dalam studi kita itu tidak jalan. Sang wakil bahkan menurunkan elektoral…
Saya enggak ngerti maksudnya gimana?
Kan ada keinginan untuk memasangkan Pak Prabowo dengan tokoh-tokoh yang lain. Jauh-jauh hari. Mungkin PDI Perjuangan enggak perlu punya calon presiden. Wakil aja cukup. Tapi dalam studi kita, dan dipublish, keinginan itu tidak mendukung untuk memenangkan Pak Prabowo. Oleh karena itu, kemudian nilainya menjadi tidak ada wakil itu, bahkan negatif terhadap Pak Prabowo. Oleh karena itu, tidak dipikir oleh Pak Prabowo dengan timnya untuk melakukan koalisi semacam itu. Jadi, ada memang tokoh-tokoh tertentu yang tidak bisa membantu, bahkan negatif. Dan ke depan, memilih wakil jangan sampai yang seperti itu poinnya.
Kalau dia negatif, apakah itu sejalan bahwa tingkat keterpilihannya juga rendah..
Maksud saya, negatif itu ya itu. Elektoral. Misalnya, Pak Prabowo aslinya tanpa berpasangan, katakanlah dapat 30. Ketika dipasangkan dengan dia, turun jadi 20. Itu artinya membetot Pak Prabowo dari atas ke bawah. Itu yang terjadi secara empirik. Nah, pasangan nanti ke depan jangan sampai itu terjadi. Minimal, tidak mengganggu. Minimal, tidak mengganggu. Dan selama ini saya melihat banyak tokoh-tokoh yang tidak mengganggu yang bisa jadi pasangan.
Oke, siapa sih sosok-sosoknya, misalnya, yang tidak mengganggu itu?
Banyak, yang banyak beredar sekarang ini yang enggak mengganggu.
Siapa yang mengganggu?
Enggak bisa saya sebutkan. Enggak baik menyebutkan yang mengganggu itu.
Tapi Mba Puan itu cukup membuat orang banyak GR, siapa saja pasangan Pak Ganjar. Banyak disebut. Ada Pak Sandi, Pak Erick Thohir, Pak Ridwan Kamil, termasuk Pak AHY, Pak Mahfud MD. Anda melihat sesuatu yang bisa bikin GR atau..?
GR orang, maksudnya? Saya kira itu gimmick politik biasa. Jadi, ada yang serius dipikirkan di situ, ada juga itu bagian dari hiburan politik saja, menurut saya. Tapi itu komunikasi yang baik yang yang dilakukan Mba Puan karena ada ekspektasi jauh..
Memberi harapan pada semua orang bahwa bisa jadi calon wakil presiden…
Ingin mengatakan bahwa PDI Perjuangan inklusif. Semua orang bisa bersama-sama.
Bung Saiful, mulai dari sekarang manuver calon wakil presiden itu sudah bermunculan. Menurut anda, apakah itu sebuah kesia-siaan atau sebuah investasi yang baik karena kita tahu pendaftaran calon presiden dan wakil presiden di KPU itu masih bulan Oktober hingga November. Ini maraton bukan sprint. Apakah manuver para calon wakil presiden ini adalah sesuatu investasi yang berarti atau akan sia-sia. Karena Anda mengatakan pasti semuanya di last minute….
Untuk membuat keputusan di last minute, itu kan salah satu sumbernya adalah dari manuver-manuver ini. Manuver bukan dalam pengertian para pemilih akan membuat orang ini jadi positif terhadap orang nomor satu. Bukan itu. Tapi minimal meyakinkan di antara elite politik sendiri. Jadi, 6 bulan itu, sekarang bulan mungkin kurang dari 6 bulan, 3 bulan sampai 4 bulan, itu pendek untuk kerja politik, menurut saya. Jadi, spekulan-spekulan politik, sebut begitu, itu menurut saya, masuk akal. Dan apa yang dilakukan oleh mereka yang berminat atau punya interes menjadi wakil presiden, saya kira itu tidak bisa dihindarkan. Harus dilakukan.
Singkat cerita, profesor Saiful Mujani ingin mengatakan para calon wakil presiden ini bukan orang yang melulu akan menjadi penentu pemilihan atau suara publik, tapi mereka penentu apakah bisa diterima oleh koalisi partai-partai politik..
Persis.
Seringkali lembaga survei dituding menjalankan pesanan dari elite politik demi menaikkan elektabilitas partai politik dan tokoh yang diusung. Benarkah tudingan ini?
[Segmen IV]
Saya masih bersama pendiri lembaga survei SMRC, Profesor Saiful Mujani. Bung Saiful, anda selalu menempatkan para calon presiden atau nama-nama dalam tiga teratas calon presiden ada, saya urut dari nomor alfabet, Pak Anies, Pak Ganjar, Pak Prabowo. Pak Anies yang selalu berada di bawah. Sekali lagi ingin saya tanyakan, apakah anda punya sentimen pribadi? Pokoknya, yang harus menang adalah nama tertentu dan yang tidak anda sukai di nama yang surveinya rendah…
Professional speaking, secara profesional sebagai pollster saya harus menjaga koridor kerja sebagai pollster. Ada SOP-nya dan syarat itu saya harus pegang teguh. Kalau tidak, saya berhenti sebagai pollster. Itu satu.
Kalau soal Anies berada pada posisi tiga, kita menemukannya kebetulan begitu. Tidak selalu sebenarnya. Saya punya punya..
Tapi, contohnya misalnya Pilkada DKI selalu menempatkan Pak Anies di bawah. Ternyata Pak Anies yang…
Itu opini Pak Anies tadi ya. Kalau pengalaman kita sih, ada rekam digitalnya, jelas tidak benar bahwa..
Apa yang tidak benar?
Dia selalu nomor 3 itu tidak benarlah. Bahwa yang masuk ke putaran kedua itu adalah Pak Ahok dan Pak Anies. Nomor satu Ahok, nomor 2 Pak Anies. Faktanya memang begitu hasil KPU. Kemudian putaran kedua yang menang Anies. Anies lebih unggul daripada Ahok. Ya faktanya begitu. Bahwa tidak persis seperti KPU, betul. Tapi Pak Anies nomor satu di putaran kedua itu. Jadi, ya begitulah. Jadi, itu bicara tentang survei.
Tapi ada tudingan serius dari Pak Abdillah Thoha, Bung Saiful. Pak Abdillah mengatakan “Saya kagum surveyor SMRC ini seperti pabrik assembling mampu memproduksi dua atau tiga survei seminggu. Barangkali survei ini adalah surveyor paling produktif sedunia. Hasilnya selalu mirip-mirip. Barangkali bahan bakunya atau kelompok sasarannya sama terus. Dan pemasukan yang sudah dijamin oleh pelanggan tertentu”. Ini dari Pak Abdilah Thoha.
Yang juga saya rasa kalau misalnya anda juga tahu Bung Rocky Gerung biasa sentimen pada anda atau men-challenge soal metodologi itu sudah biasa. Tapi ini seorang Abdillah Thoha ikut mengkritik SMRC sebagai pabrik assembling opini publik itu serius loh kalau menurut saya. Anda tidak melihat ini sebagai sebuah tudingan serius?
Enggak. Pertama, adalah dia bukan peer saya secara disiplin. Peer saya, maksudnya kolega se-profesi. Kalau yang mengkritik itu orang seperti yang terprofesi kompetensinya seperti siapa lah teman di Litbang Kompas, misalnya teman di UI kayak Hamdi Muluk, itu serius saya tanggapi.
Tapi kalau Pak Abdillah, enggak lah. Dengan segala hormat, saya kenal Pak Abdillah dengan baik. Cuma saya ingin merespon begini, betul bahwa intensitas survei yang kami lakukan itu jauh lebih tinggi dibanding ketika menjelang Pilpres 2019 yang lalu.
Kenapa?
Pertama, adalah ada perkembangan yang menarik secara teknologi dan akses publik terhadap media. Sekarang publik yang bisa mengakses media lewat handphone itu 80%. Dan itu besar. Yang sebelumnya masih di bawah 50%. Oleh karena itu cukup membantu untuk memberikan gambaran umum, walaupun 80%, belum 100%, tapi yang berkaitan dengan isu-isu yang sehari-hari itu sudah cukup bagus dipotret dengan 80% tersebut. Karena orang di desa kan tidak mengikuti juga isu-isu yang berkembang, seperti rapat PDIP Perjuangan dan sebagainya.
Oleh karena itu, dengan perkembangan teknologi dan perkembangan populasi pemilih seperti tadi, yang 80% bisa diakses, itu membuat kita merekam opini publik lebih gampang dengan teknologi yang berkembang sekarang ini. Kita bisa survei telepon dari rumah. Surveyor kita enggak perlu datang ke Papua, enggak perlu datang ke Aceh. Oleh karena itu, survei kita lebih sering dan ongkosnya jauh lebih murah.
Karena dari teknologi yang memungkinkan untuk itu. Survei melalui telepon. Tidak perlu tatap muka..
Walaupun tatap muka tetap kita lakukan, minimal untuk perbandingan. Sebulan sekali atau dua bulan sekali.
Ada bedanya enggak?
Tidak signifikan. Kita tinggal kalibrasi. Oleh karena itu, ini menjadi satu cara yang cepat. Apalagi isunya yang berkembang sangat cepat.
Untuk mengurangi kecurigaan publik terhadap siapa di belakang survei ini, kenapa SMRC tidak membuka, “Kami dibiayai oleh capres tertentu, oleh partai politik tertentu, oleh lembaga tertentu.” Mengapa sumber pembiayaan itu tidak dibuka saja?
Pertama, adalah pasti survei itu membutuhkan biaya. Tapi kalau dikatakan istilahnya itu kalau ada yang membully kita ini tukang survei. Tukang survei bayaran itu artinya hasilnya sesuai dengan yang diinginkan oleh yang membayar, itu tidak mungkin tidak bisa dilakukan pesanan seperti itu.
Kenapa enggak bisa?
Ya buat apa. Buat apa buat apa harus survei. Itu mah bisa saya karang aja sendiri, kalau seperti itu. Kenapa tidak dilakukan survei seperti ngarang seperti itu kalau memang itu berguna. Kalau saya rilis dengan ngarang seperti itu mempengaruhi opini publik, lakukan aja. Kenapa harus survei beneran dengan ongkos yang relatif agak mahal.
Saya pasti membutuhkan biaya untuk survei. Dan biaya itu pasti tidak datang dari diri saya. Gaji saya sebagai seorang profesor tidak cukup untuk membiayai sendiri survei. Jadi, membutuhkan orang, pasar dalam hal ini. Siapapun pasar itu. Umum, generik. SMRC atau saya dari awal reformasi 1999 melakukan survei ini dengan biaya berbagai macam.
Kenapa tidak dibuka? Apa hambatannya atau apa…?
Saya yang punya pengalaman. Ini yang penting, Mba Rosi. 2009, waktu itu saya survei cukup intensif. Sering dikritik siapa yang membiayai di belakang ini. Dan saya sampai pada kesimpulan, “Oh kalau begitu saya buka saja. Apapun yang terjadi.” Saya buka, saya sampaikan bahwa survei ini dibiayai oleh tim suksesnya SBY. Heboh.
2009 tuh ya..
Menjelang 2009. Itu heboh. Substansi surveinya tidak didiskusikan. Yang didiskusikan adalah soal sumber uangnya. Kapok saya membuka itu.
Pasti, saya tidak punya uang sendiri. Beda dengan Litbang Kompas mungkin punya sendiri uangnya. Saya tidak se-kaya Litbang Kompas dalam hal ini. Jadi, pasti ada pihak. Tapi saya tidak akan buka. Dan sumber itu pun keberatan kalau dibuka.
Sumbernya itu secara generik aja saya sebut. Ada dari partai politik, ada dari calon, ada dari dunia internasional, lebih akademik sifatnya, ada juga dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan 2024. Ingin tahu, “Kalau saya mau invest, Mas Saiful, invest stay or out?” Kan itu bagi mereka butuh informasi politik Indonesia 2024 seperti apa. Saya ingin informasi seperti itu. Oleh karena itu, “Oke saya biaya anda survei, kasih tahu saya”. Seperti itu sumber-sumber itu. Tidak bisa saya sebutkan name tentang itu atau Lembaga.
Bisa enggak dibilang Jadi sekarang sebenarnya untuk penentuan calon presiden ada oligarki survei?
Oligarki survei artinya hanya satu lembaga survei?
No. Survei-survei itu sebenarnya dibiayai oleh orang-orang yang sama untuk memuluskan nama tertentu, untuk selalu surveinya paling tinggi..
Saya kira tidak. Saya kira tidak. Bahwa justru dengan banyaknya survei itu salah satu secara metodologis juga membantu kami untuk meyakini bahwa survei yang kami lakukan kemarin itu tidak ngaco. Ada konsistensi. Kalau hari ini hasilnya A tinggi, seminggu berikutnya B tinggi juga, itu kita jadi ragu. Dengan ada peluang untuk sering melakukan cek dan seterusnya semacam itu, kita makin yakin secara metodologi kita tidak terlalu buruk, walaupun kompleks melakukan survei itu.
Tapi belajar dari pemilu presiden Turki, hasil survei salah total. Erdogan ditempatkan selalu yang terendah. Tapi lihatlah apa yang terjadi pada Erdogan. Putaran pertama dia menang dan kemudian jadi presiden terpilih kembali. Ini seolah menguatkan opini publik yang tidak percaya pada survei. Lihat aja Turki semua hasil survei juga salah.
Saya tidak tahu apa yang dilakukan di Turki. Tapi sejauh ini kita, Alhamdulillah, pilpres kita sesuai kita lumayanlah membantu. Dan partai politik, orang biasa saja seperti pak Jokowi terbantu untuk meyakinkan elite. Pak Jokowi bisa, Ganjar sekarang bisa. Kalau tidak ada masukan seperti itu, dari mana kita tahu. Dengan segala plus minusnya. Jauh dari sempurna, tentu saja. Tapi ini (survei) adalah sumbangan terpenting dalam studi politik modern, Mba Rosi.
Sepanjang ia tidak melacurkan..
Ilmunya..
Ilmu hanya untuk kepentingan…
Uang..
Uang, maka ini sebenarnya adalah sumbangan bagi dunia demokrasi. Saya ada pertanyaan terakhir untuk Bung Saiful Mujani.
Dalam banyak percakapan politik Pak Anies disebut untuk memenangkan Jawa Timur, ada nama Ibu Khofifah di sana. Begitu juga dengan Pak Prabowo untuk memenangkan Jawa Timur. Pak Prabowo sudah kuat di Jawa Barat, bagaimana memenangkan Jawa Timur? Itu ada nama Ibu Khofifah di sana. Tapi nama ibu Khofifah tidak ada dalam five top survei Bung Saiful maupun yang lain. Tapi dia menjadi incaran partai-partai politik. Saya mau bertanya, apakah memang pemilih kita ini pembenci perempuan?
Oh, kenapa di hasil survei Ibu Khofifah itu tidak top. Itu pertanyaannya?
Kenapa perempuan, Ibu Khofifah tidak ada dalam 5 besar. Tapi sekarang digadang-gadang untuk dikawinkan? Apakah memang tipikal pemilih kita adalah mereka yang antipati pada perempuan untuk dijadikan pemimpin?
Tidak percaya pada perempuan untuk jadi pemimpin? Apakah rakyat kita seperti itu? Tidak tahu.
Tapi apakah ini sebuah anomali? Dia tidak ada dalam top five tapi kemudian menjadi incaran dua capres?
Itu menurut saya insting politik aja yang bicara. Maksud saya begini, itu didasarkan pada fakta bahwa ibu Khofifah seorang perempuan. Dia kompetitif di Jawa Timur.
Kalau misalnya dia memang kompetitif, kenapa itu tidak tercermin..
Mungkin leverage-nya Mba Rosi itu Jawa Timur. Sementara untuk tingkat nasional, Jawa Timur itu kan hanya 16% Jawa Timur dikomper terhadap pemilih secara nasional. Dan Ibu Khofifah kuat ya di Jawa Timur dan tidak sosialisasi di provinsi-provinsi yang lain. Beda dengan Pak Prabowo, beda dengan Ganjar, beda dengan Anies yang sudah melakukan kerja politik nasional semuanya. Bu Khofifah enggak ada. Bahkan berita-berita yang memframe Ibu Khofifah sebagai salah satu alternatif itu kan tidak ada.
Saya tidak se-pesimis orang yang melihat rakyat Indonesia memang sama benci perempuan atau perempuan itu tidak bisa dipercaya untuk jadi pemimpin. Saya belum sampai pada kesimpulan itu.
Belum sampai pada kesimpulan itu karena anda melihat bahwa Bu Khofifah memang belum cukup melakukan sosialisasi. Tapi banyak tokoh politik perempuan tidak masuk dalam elektabilitas. Anda tidak melihat itu sebagai ketidaksiapan pemilih Indonesia pada perempuan?
Ada aspek demand, dalam hal ini masyarakat. Ada aspek supply, dari elite-nya sendiri yang melakukan sosialisasi untuk politik. Saya melihat dari aspek supply-nya tidak bekerja ke sana. Sebutlah, saya mengagumi orang seperti Ibu Sri Mulyani karena kompetensinya, integrity-nya, reputasinya di dunia internasional. Pantas ini jadi presiden, perempuan ini. Tapi kan tidak ada frame dan langkah-langkah kerja ke sana. Orang tahu Ibu Sri Mulyani pun tidak terlalu banyak. Dan Ibu Sri Mulyani kan bukan politisi.
Suka atau tidak suka, kalau memang dia akan dijadikan sebagai pemimpin dia harus melakukan sosialisasi…
Harus. Dan kita bisa menyalahkan partai dalam konteks ini adalah kurang inklusifnya untuk mensosialisasikan orang-orang yang potensial sebagai anak-anak bangsa, dalam beberapa hal. Jadi, memaksakan pada apa yang sudah ada di partai politik. Padahal itu tidak cukup di mata pemilih kita.
Senang bisa bicara dengan Bung Saiful Mujani.
Sama-sama.
Jadi, pendaftaran masih di bulan Oktober-November. Jadi, ini sprint, bukan maraton. Bersabarlah karena penyebutan nama itu..
Pasti kita punya..
Pasti last minute. Saya mau tanya dulu bulan Juni akan dirayakan puncak hari Bung Karno. Apakah di situ anda akan melihat momentum itu akan dipakai Pak Jokowi untuk penyebutan Pak Ganjar sebagai capres atau tidak?
Saya tidak mengatakan iya atau tidak. Tapi kehadiran Pak Jokowi di situ, dekat dengan elite PDI Perjuangan, saya kira itu banyak maknanya secara politik.
Terima kasih Profesor Doktor Saiful Mujani sudah di Rosi.
Video wawancara bisa disimak di sini: https://youtu.be/TL2iaYBxkKs