Minggu, 19 Januari 2025

Komitmen Jokowi pada Kebebasan dan Hak Sipil

Survei SMRC pada akhir Mei sampai awal Juni 2019 lalu memberikan peringatan penting bagi pemerintah Jokowi. Survei nasional itu menunjukkan bahwa seraya publik puas dengan kondisi demokrasi di bawah pemerintahan Jokowi, terdapat pula peningkatan kekhawatiran akan komitmen pemerintah pada pemenuhan kebebasan dan hak sipil yang merupakan prasyarat demokrasi.

Pemerintah Jokowi pada dasarnya sukses membangun kepercayaan masyarakat Indonesia pada demokrasi.  Pada pertengahan 2015, kepuasan masyarakat pada demokrasi sempat mencapai titik terendah. Saat itu hanya sekitar 53% rakyat puas  pada demokrasi. Namun secara perlahan tapi pasti tingkat kepuasan itu terus meningkat sehingga sekitar satu tahun yang lalu angkanya mencapai titik tertinggi, sekitar 74%. Angka 74% itu juga tercatat pada April 2019.

Namun survei SMRC tidak menampilkan gambaran yang sepenuhnya cerah. Ini bisa dimulai dengan data yang menunjukkan bahwa persentase warga yang puas pada demokrasi di Indonesia turun dari 74% di bulan April menjadi ‘hanya’ 66 % di bulan Mei. Begitu juga ada peningkatan kekhawatiran signifikan dalam hal pemenuhan kebebasan dan hak-hak sipil. Salah satu yang menonjol adalah, jika pada 2014 hanya 24% masyarakat menyatakan takut pada perlakuan semena-mena aparat hukum, pada 2019 angka ini mencapai 38%.

Ini adalah gambaran mengkhawatirkan mengingat dalam sebuah negara demokratis, setiap warga seharusnya merasa aman untuk mengungkapkan pendapat setajam apapun pada mereka yang berkuasa tanpa harus ditangani secara semena-mena oleh aparat hukum. Kecenderungan yang layak dijadikan peringatan ini mungkin terkait dengan sejumlah langkah mutakhir yang dilakukan pemerintah.

Hal pertama adalah bentrok antara aparat penegak hukum dengan kelompok masyarakat sipil pada 21-22 Mei 2019, seusai KPU mengumumkan hasil pilpres yang memenangkan Jokowi.  Pada dua hari itu tercatat ada sembilan orang tewas, lebih dari 200 orang ditangkap, dan sejumlah kerusakan terjadi. Beberapa nama pimpinan organisasi dan tokoh masyarakat pun ditahan.

Bagi rakyat yang sudah bertahun-tahun hidup dalam suasana demokratis di mana hak bersuara, berserikat, dan menyatakan pendapat terjamin penuh; apa yang dilakukan pemerintah saat itu memang dengan mudah bisa dikerangkai sebagai peringatan tentang kemungkinan berulangnya pengalaman Orde Baru.

Bertindak Keras

Sekadar catatan, pada 2016 ketika ada gelombang unjuk rasa yang melibatkan ratusan ribu – atau bahkan diklaim jutaan – orang turun ke jalan baik menjelang pemilihan gubernur DKI maupun pemidanaan Gubernur DKI, tidak ada bentrokan serius terjadi. Juga tidak ada ada penangkapan kolektif terkait dengan peristiwa tersebut.

Kini, untuk pertama kali setelah waktu yang lama, aparat kepolisian kembali bertindak keras. Video yang menunjukkan bagaimana polisi memukuli anggota pengunjuk rasa viral menyebar. Begitu juga video puluhan orang bertelanjang dada digelandang aparat keamanan menjadi tontonan di dunia maya. Dan tentu saja, ini semua dibarengi dengan narasi yang sengaja disebarluaskan bahwa pemerintah Jokowi membungkam hak-hak dan kebebasan rakyat untuk bersuara.

Hal kedua adalah langkah pemerintah membubarkan HTI, membersihkan lembaga pemerintahan dan lembaga strategis lainnya dari orang-orang yang terindikasi terkait dengan HTI, dan juga mungkin sekali adanya pembicaraan tentang perlunya penutupan FPI.

Dalam hal ini, yang mungkint erbangun di benak sebagian masyarakat adalah bahwa pemerintah tidak lagi menghormati kebebasan warga untuk menyurakan pendapat yang kritis terhadap jalannya pemilu sehingga aparat keamanan dikerahkan untuk membungkam kritik tersebut dengan cara menyerang dan menangkapi para pengunjuk rasa. Di sisi lain, ada pula anggapan yang menguat bahwa pemerintah tidak menghormati hak berorganisasi kelompok-kelompok masyarakat yang bersatu atas dasar kesamaan keyakinan keagamaan.

Harap dicatat, survei SMRC ini menangkap persepsi masyarakat tentang kualitas demokrasi, dan bukan tentang kualitas demokrasi itu sendiri. Dengan kata lain, survei SMRC ini tidak membuktikan bahwa pemerintah Jokowi memang menjauh dari komitmennya pada demokrasi, melainkan sekadar menunjukkan bahwa ada peningkatanjumlah orang yang mulai ragu pada komitmen pemerintah Jokowi pada demokrasi.

Apa yang terjadi pada 21-22 Mei, misalnya, bisa dibaca bukan sebagai pengingkaran atas kebebesan berbicara melainkan lebih sebagai hal normal yang lazim dilakukan pemerintah demokratis manapun untuk menata ketertiban umum. Sikap keras aparat keamanan pada peristiwa 21-22 tidak dengan sendirinya dapat dikategorikan sebagai ‘tindakan semena-mena’.

Hormati Kebebasan

Dalam skema penjelasan ini, aparat keamanan menghormati kebebasan berbicara warga dengan membiarkan unjuk rasa berlangsung secara damai sampai batas waktu yang diizinkan. Konflik baru pecah setelah malam agak larut dan mulai adap rovokasi-provokasi yang jelas-jelas direncanakan. Lebihjauh lagi, proses jatuhnya korban tewas sedemikian membingungkan sehingga sampai sekarang tidak mudah untuk menyimpulkan bahwa itu terjadi karena kebrutalan aparat keamanan dalam membungkan unjuk rasa.

Begitu juga pembubaran HTI. Hak berserikat atas dasar keyakinan keagamaan adalah hak sipil yang harus dijamin. Namun pembubaran HTI bisa juga dibaca sebagai kewajaran dalam demokrasi karena organisasi ini pada intinya memang mengandung doktrin yang bertentangan dengan hak sipil yang harusnya dijunjung tinggi dalam demokrasi. HTI tidak menganggap seluruh warga negara memiliki hak setara. Bagi HTI misalnya, hak warga beragama Islam lebih tinggi dari hak warga non-Islam dalam hal memilih atau dipilih sebagai pemimpin. HTI bahkan percaya bahwa pemerintahan Islam yang hendak ditegakkan harus melewati batas-batas negara bangsa NKRI.

Tentu saja perbedaan pemaknaan dan penafsiran tentang peristiwa-peristiwa tersebut dimungkinkan. Namun demikian, pemerintahan baru Jokowi yang tahun ini akan terbentuk perlu memperhatikan salah satu peringatan penting dari hasil survei SMRC: kendati warga Indonesia percaya dan puas dengan penegakan demokrasi di masa pemerintahan Jokowi, mereka tetap adalah kalangan kritis yang tidak akan menerima begitu saja apapun yang dilakukan pemerintah Jokowi sebagai sesuatu yang tidak tercela.

Warga Indonesia menilai pemerintah Jokowi dengan standar yang lazim dikenakan pada pemerintah demokratis di seluruh dunia. Ini mungkin menyulitkan pemerintah. Namun pada saat yang sama, hal semacam inilah yang akan menjaga kesehatan demokrasi di sebuah negara. []

Artikel ini dimuat di Harian Media Indonesia di Opini halaman 6 pada Rabu, 3 Juli 2019

Ade Armando
Ade Armandohttps://saifulmujani.com
Dr. Ade Armando (Universitas Indonesia) Bidang Kajian: Media Massa Meraih gelar doktoralnya dari Universitas Indonesia dalam bidang Komunikasi Massa dan gelar masternya dari Florida State University di Talahasse dalam bidang Kependudukan, Ade Arman-do dikenal sebagai pengamat, peneliti sekaligus aktivis dalam dunia komunikasi Indonesia. Mi-nat penelitiannya mencakup kebijakan penyiaran nasional dan dampaknya terhadap pengua-saan ruang-ruang frekuensi siaran daerah oleh kekuatan beberapa media nasional yang ber-pusat di Jakarta. Ia pernah menjadi jurnalis di sejumlah media massa, manager riset media di Taylor Nelson Sofres, Komisioner di Komisi Penyiaran Indonesia, terlibat dalam penyusunan se-jumlah UU terkait media massa serta menulis di jurnal nasional dan internasional. Dia juga mengajar di Departemen Komunikasi Universitas Indonesia.
RELATED ARTICLES

Terbaru