Ada banyak partai politik dan politisi Indonesia yang berebut ingin menjadi atau disebut sebagai anggota Nahdlatul Ulama (NU). Demikian dikatakan ilmuwan politik, Prof. Saiful Mujani, dalam program ‘Bedah Politik bersama Saiful Mujani’ episode “Kekuatan Elektoral Nahdlatul Ulama” yang disiarkan melalui SMRC TV pada Kamis, 16 Februari 2023.
Video utuh pemaparan Prof. Saiful Mujani bisa disimak di sini: https://youtu.be/OJiksvzymps
Daya tarik NU, menurut Saiful, adalah pada jumlah massa yang dimilikinya. Dia menunjukkan bahwa dalam survei SMRC pada Desember 2022, warga yang mengaku sebagai anggota aktif NU sebanyak 8,6 persen dan mengaku sebagai anggota tapi tidak aktif sebesar 11,7 persen. Total warga yang mengaku sebagai anggota NU sebesar 20,3 persen. Sementara yang mengaku sebagai anggota serikat pekerja, buruh, dan tani sebanyak 14,7 persen; Muhammadiyah 3,1 persen; organisasi masjid 22,8 persen; dan majelis taklim sekitar 28,7 persen.
Saiful menegaskan bahwa daya tarik NU bagi partai politik di Indonesia adalah karena organisasi ini memang memiliki massa yang besar. Yang mengaku sebagai anggota formal NU sebesar 20,3 persen atau sekitar 40-an juta warga. Angka ini, menurut dia, di luar warga yang secara kultural mengikuti praktik ritual keagamaan NU. Kalau kelompok kultural itu digabungkan, maka massa NU akan menjadi lebih besar.
“Kalau dilihat dari data ini, memang NU memiliki nilai elektoral karena dari sisi jumlah sangat besar,” kata penulis buku Muslim Demokrat itu.
Lebih jauh Saiful menjelaskan bahwa bicara tentang hubungan NU dan organisasi lain dengan pemilihan umum, tidak bisa dipisahkan dari pertimbangan mengenai seberapa besar massa dari organisasi tersebut. Hal lain adalah bahwa organisasi sosial yang cukup besar dan aktif serta dikenal oleh masyarakat selama ini adalah organisasi sosial keagamaan, bukan organisasi lain seperti buruh, tani, atau nelayan.
“Di Indonesia, organisasi berbasis keagamaan lebih kuat dari bentuk-bentuk organisasi lain yang lintas agama. Karena itu, perlu dihitung seberapa besar kekuatan masing-masing organisasi tersebut, termasuk NU,” kata Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta tersebut.
Saiful menjelaskan bahwa dalam Pemilu 1955, NU menjadi pemenang nomor tiga. Ketika itu Partai Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) lebih kuat dari NU. Hanya saja, Masyumi sangat heterogen atau terdiri dari banyak kelompok Islam. Sementara NU homogen dan khas. NU, menurut dia, adalah subkultur Islam di Indonesia yang sangat solid. Sementara Masyumi tidak memiliki basis ormas. Berbeda dengan Masyumi, NU adalah partai dan ormas sekaligus. Antara partai NU dan Ormas NU identik.
Lalu kenapa organisasi keagamaan lebih kuat dibanding organisasi yang memiliki sifat yang umum? Saiful menjelaskan bahwa dilihat dari kelas menengah bawah yang menjadi basis dari organisasi buruh, mestinya jumlahnya lebih banyak. Namun kenyataannya, partai yang menyuarakan aspirasi buruh dan petani, yakni Partai Komunis Indonesia (PKI), justru tidak mendapatkan suara besar pada Pemilu 1955. Suaranya bahkan di bawah NU.
“Sejarah politik Indonesia, menurut Saiful, lebih berhubungan dengan politik aliran, bukan organisasi yang lebih sekuler atau kelas sosial,” ungkap Saiful.
Peraih doktor ilmu politik dari Ohio State University ini menyatakan bahwa PKI coba membawa sentimen kelas, tapi kalah oleh sentimen aliran. Yang terkuat saat itu adalah Partai Nasional Indonesia (PNI). Dan PNI, lanjut Saiful, tidak terlalu membawa sentimen kelas, yang dominan pada partai ini adalah aliran.
Lebih kuatnya politik aliran, menurut Saiful, yang membuat mengapa organisasi seperti NU lebih kuat dibanding organisasi lain seperti kelompok buruh.
Saiful menjelaskan bahwa di zaman Orde Baru, NU dihilangkan peran politiknya. Kekuatan politiknya digembosi oleh Orde Baru karena tahu NU itu besar. Kalau politiknya terbuka, berbahaya untuk rezim karena potensial mengancam.
Saiful mengenang bagaimana Gus Dur sadar dengan potensi NU dan kemudian mengerahkan massa sejuta umat. Itu adalah bentuk show of force karena Gus Dur merasa langkah-langkahnya dihalangi. Namun, kata Saiful, mungkin Gus Dur juga kurang menyadari bahwa politik waktu itu adalah otoritarian di mana massa memang tidak terlalu penting untuk ditunjukkan.
Kalau dilihat dari sisi jumlah massa, kata dia, NU sangat signifikan. Satu-satunya partai yang bisa mendapatkan suara sebesar massa NU (sekitar 20 persen) adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
“Dilihat dari sisi jumlah, NU sangat penting secara elektoral. Ini yang menjelaskan mengapa banyak partai dan tokoh-tokoh politik Indonesia menghitung NU. Semuanya bahkan ingin merasa dekat dan sebagai orang NU,” pungkasnya.