Suara pemilih Muslim terdistribusi pada semua calon presiden. Sementara suara non-Muslim cenderung dominan ke Ganjar Pranowo. Kesimpulan ini muncul dalam studi yang dilakukan Prof. Saiful Mujani yang disampaikan dalam program ‘Bedah Politik bersama Saiful Mujani’ episode “Kartu SARA di Pilpres 2024”. Program ini disiarkan melalui kanal Youtube SMRC TV pada Kamis, 9 Maret 2023.
Video utuh pemaparan Prof. Saiful Mujani bisa disimak di sini: https://youtu.be/OmcgBSHF5Wc
Saiful mengemukakan hasil survei SMRC pada Desember 2022. Dalam survei itu ditemukan warga yang mengaku Muslim sebanyak 87,5 persen, selain Islam sebesar 12,5 persen. Dari 87,5 persen yang beragama Islam, 34 persen di antaranya memilih Ganjar, 29 persen Anies Bawedan, dan 27 persen Prabowo Subianto. Ada 10 persen yang belum menentukan pilihan. Saiful melihat ditribusi suara pemilih Muslim relatif merata di semua calon, perbedaannya tidak begitu banyak.
Yang kurang menyebar merata justru dari pemilih selain orang Islam. Dari 12,5 persen pemilih yang beragama non-Islam, 43 persen memilih Ganjar, 17 persen Anies, dan 16 persen Prabowo. Masih ada 24 persen yang belum menentukan pilihan.
Saiful menjelaskan mengapa faktor Islam nampak tidak memiliki efek yang begitu kuat karena ketiga tokoh ini beragama Islam. Jika salah satu calonnya tidak beragama Islam, menurut Saiful, hasilnya akan lain, bahkan kelihatan jomplang.
Sementara pemilih non-Islam yang terdiri dari banyak agama (Katolik, Kristen, Hindu, Budha, dan lain-lain) cenderung memilih Ganjar. Hal ini, menurut Saiful, adalah semacam kompromi orang non-Muslim melihat ketiga tokoh yang sama-sama bukan non-Muslim. Mereka melihat siapa di antara ketiga tokoh tersebut yang dekat dengan mereka. Anies, menurut Saiful, memiliki rekam jejak sebagai politikus dari kelompok Islamis. Demikian pula dengan Prabowo yang dalam dua kali Pemilu bermain dengan kartu Islam. Karena itu, di antara pilihan itu, Ganjar lebih bisa diterima, walaupun agamanya tidak sama.
Saiful melihat bahwa sentimen agama ini kuat di semua kelompok masyarakat. Sebaran suara mayarakat Muslim pada tiga tokoh relatif merata karena semua calonnya beragama Islam. Data ini mungkin akan berbeda jika ada satu calon yang beragama non-Islam.
“Kehidupan politik Indonesia dengan bingkai SARA masih kuat dalam masyarakat kita. Karena itu, jangan main-main dengan (SARA) itu. Itu poinnya,” kata Saiful.
Sejauh ini, lanjut Saiful, aspek SARA cukup terkendali dalam Pilpres Indonesia. Hal itu terjadi karena sejauh ini calon-calon yang hadir relatif moderat dari agama yang sama. Sehingga tensi dari aspek agama tidak begitu kencang, walaupun ada. Saiful mencontohkan pengalaman dua kali Pilpres Prabowo melawan Jokowi. Di situ ada tensi sosial menyangkut SARA, tapi tidak seburuk yang ditakutkan banyak orang. Karena kedua tokoh tersebut sama-sama Muslim dan kualitas Islamnya relatif sama, sama-sama abangan.
Menurut Saiful, satu hal yang membuat politik nasional Indonesia relatif bisa berjalan dengan baik karena tensi SARA-nya terkendali oleh penawaran-penawaran politik yang diberikan oleh elit. Misalnya dalam pemilihan presiden 2004, yang bersaing adalah SBY, Wiranto, Mega, Amin Rais, dan Hamzah Haz. Mereka umumnya adalah orang Jawa dengan tipologi Islam yang kurang lebih sama, terutama untuk SBY, Wiranto, dan Mega. Pada 2009, yang bersaing adalah SBY dan Mega. Pada 2014 dan 2019, yang bersaing adalah Jokowi dan Prabowo. Mereka menurut Saiful berasal dari latar belakang kultural yang sama. Ini yang menyebabkan tensi sosial terkait SARA relatif terkendali, menurut Saiful.
Pada Pemilu 2024, lanjut Saiful, akan menarik jika yang bertarung adalah Ganjar melawan Anies. Kedua tokoh ini secara kultur memiliki perbedaan. Ganjar adalah nasionalis, sementara Anies berasal dari kelompok santri non-tradisionalis. Menurut Saiful, perbedaan ini potensial menimbulkan tensi yang cukup besar. Karena itu, saran dia, perlu antisipasi atas dampak negatif dari perbedaan orientasi politik SARA tersebut.
Kesimpulannya, aspek SARA masih penting dalam pemilih Indonesia.
“Karena itu (SARA) jangan dianggap enteng. Jangan main-main dengan SARA. Tapi kita juga tidak boleh menindas hak dan merepresi perbeda-bedaan tersebut. Karena itu bagian dari realitas. Kita harus menerimanya dan melakukan komunikasi dengan baik. Kita perlu lebih akomodatif terhadap pelbagai keragaman tersebut,” pungkasnya.
Saiful menjelaskan bahwa adalah sesuatu yang harus diterima sebagai kenyataan bahwa Indonesia berdiri di atas keragaman SARA. Menurut dia, sejauh SARA bisa dimanage, tidak menimbulkan konflik dan bahaya bagi bangsa, hal tersebut bukan masalah.
Dalam masyarakat dengan sistem politik yang terbuka, tantangan dari keragaman adalah sesuatu yang nyata. Namun justru di situ ujiannya, apakah membangun sistem politik yang terbuka itu bisa dilakukan pada masyarakat yang beragam atau plural. Menurut Saiful, justru di titik inilah demokrasi menjadi penting. Demokrasi adalah satu-satunya sistem yang bisa mengakomodasi keragaman tersebut.
Indonesia sudah mengalami pemilu, termasuk pemilihan presiden, yang terbuka sejak 2004. Saiful melihat bahwa tensi sosial yang panas menjelang Pemilu adalah sesuatu yang alamiah. Hal itu juga terjadi di banyak negara.