Hasil studi yang dilakukan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menunjukkan pasangan Prabowo-Gibran lebih kuat mendapat dukungan dari warga yang bukan anggota organisasi keagamaan dibanding anggota organisasi tersebut. Sebaliknya, Ganjar-Mahfud mendapatkan dukungan anggota organisasi keagamaan lebih kuat dibanding yang bukan anggota. Sementara Anies-Muhaimin, lebih kuat didukung massa pendukung gerakan 212 dibanding yang tidak mendukung gerakan tersebut.
Hasil studi ini dipresentasikan Professor Saiful Mujani pada program ’Bedah Politik bersama Saiful Mujani’ episode ”Ormas Keagamaan dan Pilpres 2024” yang disiarkan melalui kanal Youtube SMRC TV pada Kamis, 4 Januari 2024. Video utuh presentasi Prof. Saiful bisa disimak di sini: https://youtu.be/lHyZA6cAgl0
Saiful menjelaskan bahwa kelompok civil society, interest groups (kelompok kepentingan), organisasi sosial, bahkan gerakan sosial diyakini penting untuk menjembatani antara warga biasa atau masyarakat dengan entitas politik seperti partai politik atau para calon yang bersaing untuk memperebutkan jabatan publik seperti presiden atau parlemen. Tesis ini, menurut Saiful, berkembang di negara-negara demokratis yang sudah mapan.
Di Amerika Serikat, misalnya, organisasi yang besar dan memiliki anggota yang banyak di antaranya adalah organisasi keagamaan seperti gereja. Karena itu gereja menjadi sangat penting. Variasi dalam organisasi gereja menjadi sangat menentukan pilihan-pilihan karena bisa melakukan mobilisasi politik untuk memperantarai antara warga biasa atau anggota jemaat dengan calon presiden atau partai politik tertentu. Gereja kulit putih biasanya punya hubungan tradisional dengan Partai Republik. Sementara gereja-gereja yang dimiliki warga kulit hitam memiliki hubungan yang dekat dengan Partai Demokrat. Sementara organisasi di luar keagamaan adalah organisasi buruh, bisnis, olah raga, dan lain-lain. Fungsinya juga sama, yakni menjadi organisasi yang memperantarai antara warga negara dengan kelompok-kelompok politik seperti partai politik atau calon presiden.
Saiful menambahkan bahwa orang yang memilik hak pilih tidak mungkin bisa dijangkau satu per satu karena jumlahnya sangat besar, puluhan bahkan ratusan juta. Upaya yang efisien yang memperantarai antara individu-individu pemilih dengan entitas politik yang mau didukungnya (partai atau calon) adalah organisasi, gereja, organisasi hobi, olah raga, alumni sekolah, dan lain-lain. Organisasi-organisasi tersebut yang kemudian disebut sebagai civil society.
Di Indonesia, organisasi yang besar dan mapan adalah organisasi keagamaan. Untuk non-Islam, organisasi yang besar adalah gereja. Sementara untuk Islam, ada dua organisasi paling besar, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Selain itu, juga ada remaja masjid, majelis taklim, atau pesantren tertentu.
“Kelompok-kelompok tersebut adalah civil society yang bisa memperantarai antara entitas politik dan pemilih,” jelas pendiri SMRC tersebut.
Lebih jauh Saiful menjelaskan bahwa beberapa partai politik di Indonesia memiliki hubungan khusus dengan organisasi massa, misalnya antara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan NU. PKB lahir dari NU. Setidaknya tokoh-tokoh utama di NU itulah yang melahirkan PKB. PKB didirikan oleh Abdurrahman Wahid menjelang Pemilu 1999. Demikian pula Partai Amanat Nasional (PAN) memiliki hubungan khusus dengan Muhammadiyah. Sementara Partai Persatuan Pembangunan (PPP) memiliki hubungan khusus dengan Masyumi, NU, Parmusi, dan juga unsur Muhammadiyah.
Namun, lanjut Saiful, organisasi di luar keagamaan, seperti organisasi buruh, tani, nelayan, Pramuka, olah raga, dan lain-lain kurang kuat hubungannya dengan kelompok politik. Karena itu, menurut Saiful, diasumsikan organisasi keagamaan yang memiliki hubungan yang unik dengan kekuatan politik tertentu.
Dalam survei SMRC, Desember 2023, dilihat hubungan antara keanggotaan dalam pelbagai organisasi dengan pilihan terhadap pasangan calon presiden. Selain organisasi, yang juga diamati adalah gerakan sosial seperti gerakan 212. Sejauh mana gerakan 212 tersebut memiliki asosiasi dengan pasangan calon presiden.
Ada 39 persen yang tahu gerakan atau aksi bela Islam 212. Dari 39 persen yang tahu tersebut, 27 persen memilih pasangan Anies-Muhaimin, 45 persen Prabowo-Gibran, 20 persen Ganjar-Mahfud, dan 9 persen tidak tahu. Sementara dari 61 persen yang tidak tahu, 15 persen memilih Anies-Muhaimin, 51 persen Prabowo-Gibran, 21 persen Ganjar-Mahfud, dan 12 persen tidak jawab.
Dari yang tahu, sekitar 45 persen di antaranya mendukung gerakan 212, 50 persen tidak mendukung, dan 5 persen tidak jawab. Dari yang mendukung 212, 39 persen memilih Anies-Muhaimin, 46 persen Prabowo-Gibran, 11 persen Ganjar-Mahfud, dan 4 persen tidak tahu. Sementara dari yang tidak mendukung gerekan 212, 16 persen memilih Anies-Muhaimin, 46 persen Prabowo-Gibran, 28 persen Ganjar-Mahfud, dan 10 persen tidak jawab.
Saiful menjelaskan bahwa berdasarkan data tersebut, gerakan 212 penting secara politik untuk pasangan Anies-Muhaimin.
“Tahu saja tentang gerakan 212 sudah punya efek positif pada pasangan Amin, apalagi kalau mendukung. Dan ini cukup konsisten dengan situasi terakhir bahwa gerakan ini mendukung Anies-Muhaimin. Yang kedodoran jika gerakan ini menguat adalah Ganjar. Jika gerakan ini menguat, maka yang menguat adalah Anies dan yang melemah adalah Ganjar. Sementara Prabowo juga banyak terpengaruh” kata Saiful.
Survei ini menemukan bahwa yang mengaku sebagai anggota NU sebesar 23,3 persen, bukan anggota 73,8 persen, dan tidak jawab 2,9 persen. Dari yang mengaku anggota, 12 persen memilih Anies-Muhaimin, 46 persen Prabowo-Gibran, 30 persen Ganjar-Mahfud, dan 12 persen tidak jawab. Sementara yang bukan anggota NU, 22 persen memilih Anies-Muhaimin, 50 persen Prabowo-Gibran, 18 persen Ganjar-Mahfud, dan 10 persen tidak jawab.
Pada Muhammadiyah, yang mengaku sebagai anggota sebesar 3,2 persen, bukan anggota 94 persen, dan tidak jawab 2,8 persen. Dari yang mengaku anggota Muhammadiyah, 19 persen memilih Anies-Muhaimin, 48 persen Prabowo-Gibran, 29 persen Ganjar-Mahfud, dan 4 persen tidak jawab. Sementara dari yang bukan anggota Muhammadiyah, 20 persen memilih Anies-Muhaimin, 49 persen Prabowo-Gibran, 21 persen Ganjar-Mahfud, dan 11 persen tidak jawab.
Pada organisasi masjid, dari 14,2 persen yang mengaku anggota organisasi masjid, 19 persen memilih Anies-Muhaimin, 45 persen Prabowo-Gibran, 24 persen Ganjar-Mahfud, dan 12 persen tidak jawab. Sementara dari 83,1 persen yang mengaku bukan anggota organisasi masjid, 20 persen memilih Anies-Muhaimin, 50 persen Prabowo-Gibran, 20 persen Ganjar-Mahfud, dan 10 persen tidak jawab.
Dari 10,4 persen anggota serikat pekerja/buruh atau kelompok tani/nelayan, 16 persen memilih Anies-Muhaimin, 48 persen Prabowo-Gibran, 21 persen Ganjar-Mahfud, dan 14 persen tidak jawab. Sementara dari 87,3 persen yang mengaku bukan anggota, 20 persen memilih Anies-Muhaimin, 49 persen Prabowo-Gibran, 21 persen Ganjar-Mahfud, dan 10 persen tidak jawab.
Dan dari 24,9 persen anggota majelis taklim, 19 persen memilih Anies-Muhaimin, 44 persen Prabowo-Gibran, 26 persen Ganjar-Mahfud, dan tidak jawab 12 persen. Sementara dari 72,2 persen yang mengaku bukan anggota, 20 persen memilih Anies-Muhaimin, 51 persen Prabowo-Gibran, 19 persen Ganjar-Mahfud, dan tidak jawab 10 persen.
Saiful menjelaskan bahwa data ini menunjukkan bahwa orang yang tidak aktif di NU cenderung lebih kuat ke Prabowo dibanding dengan yang tidak aktif. Hal yang sama terjadi pada Muhammadiyah, organisasi masjid, dan majelis taklim. Prabowo lebih kuat pada warga yang bukan anggota organisasi-organisasi keagamaan dibanding warga yang menjadi anggota organisasi-organisasi tersebut. Sebaliknya dengan Ganjar-Mahfud, pasangan ini cenderung lebih kuat pada anggota organisasi keagamaan dibanding yang bukan anggota.
Lebih jauh Saiful menjelaskan mengapa dukungan pada Prabowo cenderung lebih kuat pada warga yang bukan anggota organisasi keagamaan. Pertama, Prabowo memang tidak punya rekam jejak aktivitas di organisasi keagamaan. Ini berbeda dengan Mahfud, misalnya, yang memiliki latar belakang organisasi NU dan kelompok Islam modernis seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Muhammadiyah. Ganjar juga memiliki kedekatan khusus dengan NU karena dia adalah gubernur dua periode di Jawa Tengah yang merupakan basis NU. Anies juga kurang memiliki sejarah kedekatan dengan organisasi seperti NU. Dia lahir di Kuningan, Jawa Barat, dan kemudian menjadi gubernur di DKI Jakarta yang bukan merupakan basis NU. Sementara Muhaimin Iskandar yang sebetulnya bisa menarik massa NU, namun ternyata belum. Salah satu penjelasannya, menurut Saiful, adalah bahwa versi NU Muhaimin sudah tersubordinasi ke dalam PKB. Sehingga jumlahnya lebih sedikit dibanding NU secara keseluruhan.
“Dia (Muhaimin) sudah terkurung di dalam PKB sehingga tidak cukup inklusif dibanding Mahfud. Sementara NU tidak hanya di PKB, tapi juga di partai-partai politik yang lain,” jelas Saiful.
Penjelasan lain mengapa Prabowo lebih kuat di warga yang bukan anggota organisasi keagamaan adalah bahwa dia bisa mempenetrasi pemilih tanpa perantara organisasi. Ini terjadi, menurut Saiful, karena Prabowo sudah melakukan sosialisasi yang sangat intensif dan panjang sejak menjadi calon wakil presiden 2009 sampai pemilihan presiden 2019.
“Dia bisa menjangkau pemilih secara langsung melalui media massa, kampanye, dalam kurun waktu yang panjang sehingga tidak harus dijembatani oleh organisasi-organisasi sosial apakah itu keagamaan maupun non-keagamaan. Itu yang menjelaskan mengapa warga yang bukan anggota organisasi sosial bisa dijangkau oleh Prabowo dibanding pasangan-pasangan calon presiden yang lain,” pungkasnya.
Populasi survei ini adalah seluruh warga negara Indonesia yang punya hak pilih dalam pemilihan umum, yakni mereka yang sudah berusia 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah ketika survei dilakukan. Dari populasi itu dipilih sampel secara random (multistage random sampling) 2500 responden dengan jumlah proporsional menurut provinsi. Untuk keperluan analisis dilakukan oversampel di 8 provinsi (Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten dan Sulawesi Selatan) masing-masing menjadi 420 responden, sehingga total sampel menjadi 4540 responden. Response rate (responden yang dapat diwawancarai secara valid dan tidak ada aparat saat proses wawancara) sebesar 3555 atau 78%. Sebanyak 3555 responden ini yang dianalisis. Pembobotan data dilakukan sedemikian sehingga profil demografi sampel yang dianalisis menjadi proporsional terhadap populasi dari sisi wilayah, gender, kelompok umur, agama, etnisitas, dan pendidikan. Margin of error survei dengan ukuran sampel tersebut diperkirakan sebesar ± 2.0% pada tingkat kepercayaan 95% (asumsi stratified random sampling). Responden terpilih diwawancarai lewat tatap muka oleh pewawancara yang telah dilatih. Waktu wawancara lapangan 29 November– 8 Desember 2023.