Teguran Presiden untuk Kepentingan Tata Negara

865
Sumber foto: https://photo.jpnn.com/arsip/watermark/2019/09/16/presiden-jokowi-foto-bpmi-setpres.jpg

Presiden Joko Widodo menolak keras usulan masa jabatan presiden menjadi tiga periode atau maksimal 15 tahun masa jabatan dalam rencana amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Saat memberikan keterangan kepada wartawan di Istana Merdeka, Senin (2/12), Jokowi menyatakan orang yang mengusulkan masa jabatan itu seakan ingin menampar muka dirinya.

Ia mengartikan usulan itu dengan tiga makna yakni ingin menampar muka, cari muka, dan ingin menjerumuskan dirinya.

“Itu ada tiga [maknanya] menurut saya: Satu, ingin menampar muka saya; yang kedua ingin cari muka, padahal saya sudah punya muka; yang ketiga ingin menjerumuskan,” katanya.

Direktur Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Sirojuddin Abbas menilai, Jokowi sengaja menegur partai pendukungnya dengan menyampaikan penolakan cukup keras terkait usulan tersebut. Penolakan itu menurut Abbas, semata dilakukan untuk kepentingan negara alih-alih citra pribadi mantan wali kota Solo itu.

“Itu teguran keras dari Jokowi ke partai-partai pendukungnya. Jelas ditujukan pada pihak yang main-main isu amendemen itu dan jsutru partai pendukungnya kan yang mencoba mainkan isu itu,” ujar Abbas saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (3/12).

Menurutnya, sejumlah pihak yang mengusulkan, mengira Jokowi akan senang menanggapi perpanjangan masa jabatan itu. Namun sebaliknya Jokowi justru menolak.

“Jokowi tidak akan membiarkan itu terus berlanjut. Dia mengingatkan supaya hentikan spekulasi soal itu karena akan merusak ketatanegaraan yang lebih besar, bukan karena Jokowi pribadi,” katanya.

Penolakan itu juga dinilai menegaskan sikap Jokowi yang enggan merespons berbagai aspirasi dari partai-partai pendukungnya terkait amendemen UUD 1945, yang salah satu pokoknya menyinggung masa jabatan presiden dan wakil presiden.

Di sisi lain, wacana amendemen UUD 1945 ini juga mulai berlebihan meski niat awalnya dinyatakan terbatas untuk menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Sebab, menurutnya, tak ada pihak di parlemen yang dapat mengontrol arah pembahasan amendemen.

“Sehingga Pak Jokowi dengan tegas merespons pada pendukungnya bahwa da risiko sangat besar jika diskusi amendemen itu dibuka. Kalau dilanjutkan, Jokowi akan terjebak dalam perdebatan periode jabatan dna itu bahaya sekali,” ujarnya.

Teguran itu, lanjut Abbas, mestinya dapat menjadi peringatan bagi para pihak–termasuk partai pendukung Jokowi, agar menghentikan wacana perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode.

“Mereka pasti akan hentikan kalau masih mendengarkan Jokowi. Tapi kalau tidak, ya isu itu akan terus dimainkan,” tutur Abbas.

Sementara itu pengamat politik Universitas Paramadina Hendri Satrio menyatakan, sikap Jokowi yang keras menolak usulan itu cukup melegakan. Pernyataan keras itu, kata Hendri, sengaja ditujukan pada siapa pun pihak yang mengusulkan perpanjangan masa jabatan presiden sejak awal.

“Tentu pernyataan itu ditujukan ke siapa yang mengungkapkan, ya yang mempromosikan itu. Ada MPR, partai-partai, kemudian beberapa pengamat juga,” ucapnya.

Menurutnya, Jokowi memilih menolak karena enggan mengkhianati sejarah kepemimpinan presiden sebelumnya yakni Soesilo Bambang Yudhoyono yang juga dua periode. Terlebih dalam aturan perundang-undangan telah mengatur pembatasan masa jabatan presiden selama dua periode.

Selain itu,  Jokowi juga tak ingin citranya menjadi buruk karena menyetujui usulan tersebut.

“Isu ini bisa menjerumuskan Pak Jokowi dan citranya bisa menjadi sangat buruk, dan bisa jadi ada publik yang menyangka keinginan ini berasal dari dirinya. Wajar jika dia kemudian ingin memperbaiki citranya dengan menolak usulan,” katanya.

Sumber: CNNIndonesia.Com, 4/12/2019

Tinggalkan Komentar