Ribuan orang memadati jalan Merdeka Selatan Jakarta Jumat lalu. Mereka memprotes pernyataan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Kepulauan Seribu. Apa yang sebetulnya dilakukan Ahok di Kepulauan Seribu? Mari kita cuplik.
Selasa siang yang terik itu, 27 September 2016, Ahok asyik mengayunkan jaring ke dalam keramba. Ada beberapa ikan yang terjerat. Seekor kerapu berwarna gelap ia angkat. “Ini satu ekor bisa Rp 300.000 loh. Kalau dijual restoran yang sudah matang bisa jutaan ini,” ujar Ahok (Kompas.com, 27/09).
Investasi
Pada kunjungan dinas itu, Ahok menyampaikan komitmen pemerintah provinsi untuk membantu peningkatan ekonomi warga melalui program budidaya ikan. Melalui skema investasi, pemerintah provinsi akan menyediakan bantuan berupa keramba, bibit ikan dan pakan kepada para nelayan.
Pada tahap pertama, ada 10 unit yang dikembangkan berisi 40 keramba seluas 3 kali 3 meter. Dengan jumlah benih rata-rata 250 per kotak, dibutuhkan sekitar 10 ribu benih ikan.
Pada 27 September lalu, Ahok telah menyebar 4 ribu benih ikan. Pemberian benih lanjutan sebanyak 4 ribu akan dilakukan pada bulan November dan 2 ribu pada bulan Desember.
Sementara itu, pemerintah provinsi juga akan menggelontorkan biaya pakan dan biaya hidup selama lima bulan ke depan. Biaya yang akan dikeluarkan sekitar 90 juta rupiah.
Keuntungannya akan dibagi 80:20, di mana warga pengelola budidaya akan memperoleh 80 persen dari keuntungan, sementara pemodal, yakni Pemprov, memeroleh 20 persen.
Sebetulnya ini kurang lazim dalam dunia bisnis. Dalam dunia tauke, pola kerjasama semacam ini akan membagi keuntungan 10:90, di mana pengelola mendapatkan 10 persen dari keuntungan, sementara pemilik modal mendapatkan 90 persen. Tapi ini bukan bisnis murni, melainkan kebijakan sosial yang dibungkus dengan paradigma bisnis.
Mengapa dilakukan dalam bentuk bisnis? Pertanyaan ini sangat relevan mengingat pola kebijakan publik pada masyarakat demokratis yang sekarang mengalami kecenderungan redistribusi langsung.
Negara mengambil pajak dari warga kaya untuk kemudian didistribusikan secara tunai pada masyarakat yang kurang beruntung. Pola kebijakan publik semacam ini terlihat bagus di awal pelaksanaannya, namun memiliki cacat yang bisa melumpuhkan.
Kebijakan ini bisa berjalan ketika negara memiliki dana, namun akan mati bila negara sudah mulai kehabisan sumber daya.
Selain itu, pola kebijakan transfer tunai itu juga akan menyebabkan budaya ketergantungan warga kurang beruntung pada pemerintah.
Tren kebijakan sosial yang diterapkan di pelbagai negara selalu menyertakan prasyarat perubahan kultur dan perilaku masyarakat miskin. Contohnya adalah bantuan pendidikan kepada masyarakat miskin dengan syarat seluruh bayi yang ada dalam keluarga si miskin melakukan kunjungan rutin ke rumah sakit untuk imunisasi. Contoh lain adalah bantuan dengan syarat kehadiran anak di sekolah mencapai target tertentu.
Yang dibutuhkan oleh warga miskin lebih dari bantuan langsung kebutuhan pokok. Yang jauh lebih dibutuhkan oleh masyarakat untuk keluar dari lingkaran kemiskinan adalah akses pada modal dan budaya kerja keras. Karena itu, kebijakan sosial yang didasarkan pada prinsip bisnis bisa menjadi solusi bagi keberlangsungan siklus ekonomi.
Dalam sebuah acara talkshow di Berita Satu, Nadiem Makarim (pendiri dan CEO Go-Jek) menyatakan bahwa salah satu motivasi dia menciptakan Go-jek adalah kepedulian sosial. Dia melihat bahwa Go-jek yang dikelola berdasarkan prinsip-prinsip bisnis itu sesungguhnya adalah upaya untuk menyelesaikan persoalan kemacetan di ibu kota. Dia melihat bahwa kemacetan membuat kegiatan ekonomi warga tidak efektif dan efisien. Karena itu, mengatasi kemacetan adalah upaya untuk meningkatkan ekonomi.
Nadiem berpendapat bahwa program sosial yang bisa berkelanjutan adalah bisnis. Di dalam bisnis, semua pihak bekerja berdasarkan kepentingan pribadi. Besar-kecilnya pemenuhan kepentingan pribadi ditentukan oleh seberapa besar usaha dan upaya para pihak yang menjalankan bisnis itu. Selama kepentingan pribadi ada di situ, maka selama itu pula kegiatan bisnis akan berjalan dan dipertahankan.
Situasi di mana semua orang mengejar kepentingan pribadinya akan menciptakan kemaslahan umum yang berkelanjutan.
The Tragedy of the Common
Yang juga menarik dari program Basuki Tjahaja Purnama ini adalah mengapa ia memilih budidaya dan bukan memperbaiki teknologi dan alat tangkap ikan?
Mayoritas warga Kepulauan Seribu mengandalkan penghasilan dari laut. Dari tahun ke tahun, hasil tangkapan ikan mengalami penurunan.
Dalam kacamata sederhana, mestinya solusi yang ditawarkan oleh pemerintah adalah membantu peningkatan kemampuan nelayan untuk menangkap ikan. Dengan begitu, secara cepat penghasilan warga bisa bertambah. Yang dilakukan oleh Ahok justru sebaliknya. Ia tawarkan pada warga untuk memelihara dan membesarkan ikan.
Pada 20 September 2016 dan di banyak kesempatan lain, Ahok menyatakan bahwa ke depan kegiatan tangkap ikan di laut lepas akan semakin ditinggalkan. Dunia perikanan akan masuk ke dalam budidaya.
Pandangan Ahok ini memiliki konsekuensi yang cukup jauh. Ini akan menimbulkan semacam revolusi dunia nelayan.
Selama ini paradigma konvensional melihat laut sebagai ladang tempat menuai hasil yang takkan pernah habis. Karena itu, nelayan bekerja untuk memetik hasil laut tanpa harus berkontribusi menumbuhkan dan merawat hasil laut itu sendiri. Sedangkan melalui budidaya, nelayan bergerak dari sekedar penangkap hasil laut menjadi pencipta dan perawat hasil laut.
Di sini, nelayan diberi beban tanggung-jawab. Besar-kecilnya hasil tergantung dari kerja-keras merawat keramba dan ikan-ikan di dalamnya.
Dengan adanya tanggung-jawab semacam ini, masing-masing individu akan menjaga laut, minimal laut tempat keramba mereka berada, karena itu terkait erat dengan penghasilan mereka.
Mari kita pakai analogi bunga agar lebih jelas. Biasanya bunga liar yang tumbuh pinggir jalan atau tempat umum tidak tumbuh secara maksimal. Bunganya kecil-kecil. Gampang kering. Kerdil. Padahal semua orang senang memandang dan mencium harum baunya. Bandingkan dengan bunga yang ada di tanam pribadi. Biasanya bunga di taman pribadi lebih berseri dan lebih harum.
Itu terjadi karena pada lapangan umum atau pinggir jalan umum, tidak ada yang merasa memiliki. Akibatnya, tidak ada yang benar-benar peduli dan pertanggungjawab atas pertumbuhan bunga tersebut. Sementara di taman pribadi, minimal ada satu individu yang bertanggung-jawab penuh untuk menyiram dan memberi pupuk.
Demikian halnya dengan ikan di laut. Kian hari ikan di laut lepas kian berkurang. Di pinggiran pantai, hanya ikan-ikan kecil yang kekurangan gizi yang bertahan hidup. Tidak ada yang peduli karena hasil dari kepedulian individu itu tidak akan dimonopoli oleh si individu itu sendiri. Akibatnya, semua ingin memetik hasil tapi tak mau berkontribusi merawat dan membesarkan ikan-ikan.
Beda halnya jika ada kepastian bahwa mereka yang merawat dan membesarkan, mereka pula yang akan memetik hasil. Melalui pola budidaya, laut di pinggiran pantai bisa kembali produktif menghasilkan ikan-ikan berkualitas tinggi. Ikan-ikan yang dirawat dengan sepenuh usaha.
Ahok tidak ingin menjalankan bisnis ini perkelompok, melainkan per-orang. Dalam praktiknya, budidaya ikan ini bisa dilakukan per-kelompok, tapi tetap yang bertanggung-jawab adalah perorangan. Prinsip ini kelihatan sepele, tapi sangat penting. Pertanggung-jawaban pada perorangan akan membuat kerja lebih efektif karena ada mekanisme kontrol yang jelas. Kerja kelompok biasanya tidak akan berjalan efektif karena masing-masing anggota bisa saling mengandalkan. Akibatnya, kegiatan budidaya ikan bisa terbengkalai.
Bertempat di perairan Karang Lebar, Kelurahan Pulau Panggang, 8 orang alumnus sekolah perikanan asal Kepulauan Seribu dipersiapkan menjadi pembudidaya professional. Mereka diberi modal keramba, bibit ikan, dan pakan. Ke depan, mereka diharapkan menjadi pengusaha di bidang perikanan.
Pada bulan Februari 2017, diperkirakan panen pertama sebanyak 4 ribu ekor ikan dengan perkiraan hasil sebanyak 87,5 juta rupiah. Artinya, pengelola akan memperoleh hasil pertama sekitar 70 juta rupiah (80%) dan pemodal (Pemprov) sebesar 17,5 juta rupiah (20%).
Melalui program budidaya tahap awal ini, warga Kepulauan Seribu akan mendapatkan pelatihan langsung dari para alumnus sekolah perikanan. Mereka juga akan melihat bagaimana budidaya itu dijalankan.
Ke depan, warga yang telah siap akan menjadi pemain-pemain utama dalam budidaya ini. Sangat mungkin mereka juga akan menjadi pemasok utama kebutuhan ikan di ibu kota, bahkan ekspor.
Walaupun membahas kunjungan Ahok ke Kepulauan Seribu, inisiatif pengembangan ekonomi warga ini luput dari materi orasi pada demonstrasi besar di depan Balaikota hari Jumat yang lalu. Sayang sekali.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Bisnis Ahok di Kepulauan Seribu”.