Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak akan dilakukan pada awal bulan Desember tahun ini. Ada 269 daerah yang menggelar pilkada serentak tahap pertama, yaitu 9 provinsi, 36 kota, dan 224 kabupaten.
Mengingat pilkada serentak adalah pengalaman baru di Indonesia, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) kerap menemui kendala-kendala yang belum pernah terpikirkan sebelumnya. Apalagi kedua lembaga itu mengkhawatirkan potensi menurunnya tingkat partisipasi masyarakat di bawah 50 persen. Sebagai perbandingan, selama ini tren partisipasi masyarakat dalam pilkada umumnya 50 sampai 60 persen.
Data survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) terbaru justru menunjukkan bahwa KPU dan Kemendagri tak perlu khawatir. Menurut Direktur Eksekutif SMRC, Djayadi Hanan, dari survei SMRC yang dilakukan di 140-an daerah yang akan menyelenggarakan pilkada, terlihat bahwa masyarakat yang mengetahui bahwa akan ada pilkada itu mencapai kisaran 60 sampai 70 persen. Di sejumlah daerah bahkan yang sudah tahu akan ada pilkada itu mencapai 80 persen.
“Sebagian besar responden malah sudah menentukan pilihan siapa kandidat yang akan dicoblosnya. Karena itu, meski tampak minim publikasi tentang pilkada, tapi angka itu sudah relatif tinggi. Apalagi pilkada baru diselenggarakan 4 bulan lagi,” kata Djayadi.
Doktor ilmu politik dari Ohio State University, AS, itu menyatakan ada tiga top priority agenda menurut masyarakat secara umum. Pertama, bagaimana menciptakan lapangan kerja. Kedua, bagaimana menjaga harga-harga sembako agar tidak mahal. Ketiga, soal pemberantasan korupsi. Bagi Djayadi, itu tiga agenda prioritas umat Islam juga. Sebab, masyarakat secara umum yang diwakili para responden dalam survei-survei itu sebagian besar adalah umat Islam.
Berikut petikan lengkap wawancara dengan Djayadi Hanan.
Dalam beberapa bulan ke depan, pilkada serentak akan diselenggarakan. Apakah SMRC sudah punya proyeksi tingkat partisipasi masyarakat dalam pesta demokrasi itu?
Kami belum punya proyeksinya. Tapi kalau berkaca dari data pilkada sebelumnya, angka partisipasi masyarakat itu dari 50 sampai 60 persen. Selain itu, preseden pilkada serentak sebetulnya sudah ada sebelumnya. Misalnya, pernah ada di satu provinsi, 17 kabupaten/kota menyelenggarakan pilkada secara sekaligus. Bedanya, pilkada yang ke depan ini, serentak dalam skala nasional.
Angka partisipasi sebesar 50 sampai 60 persen itu apakah kecil, sedang, atau besar?
Sedang. Kalau pemilu level nasional, baik pemilihan legislatif (pileg) maupun pemilihan presiden (pilpres), angka partisipasinya selalu 70 persen. Menurut standar demokrasi, angka 50 sampai 60 persen untuk pilkada dan angka 70 persen untuk pemilu tingkat nasional itu sedang sampai tinggi.
Dari data yang bisa dilihat sejak pilkada diselenggarakan pada tahun 2005, angka 50 sampai 60 persen itu tetap stabil. Memang ada pilkada yang angka partisipasinya di bawah 50 persen. Tapi itu hanya terjadi di satu dua daerah. Itu artinya, rendahnya tingkat partisipasi pada pilkada itu bukan fenomenan umum.
Namun, bila dibandingkan antara angka partisipasi di pilkada dengan pemilu nasional, angka partisipasi di pilkada itu lebih kecil. Saya sendiri tidak punya jawaban yang cukup kuat soal ini. Tapi itu diduga karena intensitas pada pemilu nasional lebih tinggi sehingga membuat orang yang menjadi tertarik lebih banyak. Itu, misalnya, ditandai dengan pemberitaan yang semarak di berbagai media. Sementara kalau pilkada kan lokal sifatnya dan karena itu pemberitaannya tidak begitu semarak. Mungkin ini yang membuat orang tidak begitu antusias.
Jika angka partisipasi pilkada itu sedang sampai tinggi, tapi mengapa, misalnya, KPU dan Menteri Dalam Negeri khawatir dengan rendahnya partisipasi pada pilkada mendatang?
Kami sudah melakukan survei di 140-an daerah yang akan menyelenggarakan pilkada. Dari hasil survei itu terlihat bahwa masyarakat yang mengetahui akan ada pilkada itu mencapai kisaran 60 sampai 70 persen. Di sejumlah daerah bahkan yang sudah tahu akan ada pilkada itu mencapai 80 persen. Dan sebagian besar responden malah sudah menentukan pilihan siapa kandidat yang akan dicoblosnya. Karena itu, meski tampak minim publikasi tentang pilkada, tapi angka itu sudah relatif tinggi. Apalagi pilkada baru diselenggarakan 4 bulan lagi.
Berbeda dengan pilkada yang sebelumnya, pada pilkada kali ini yang mensosialisasikan pilkada adalah KPU nasional, provinsi, hingga kabupaten/kota dalam berbagai bentuk. Mulai dari berita-berita, soal polemik calon tunggal, polemik peraturan pilkada, dan sebagainya. Jadi, isu tentang pilkada itu sebenarnya selalu jadi spot berita nasional.
Tapi kan ada gap antara sudah tahu tentang penyelenggaraan pilkada dengan ikut berpatisipasi. Dalam survei itu, apakah dapat diketahui berapa dari mereka yang tahu kemudian ikut berpartisipasi?
Tidak ada. Tapi dugaan saya, melihat dari tren selama ini, tidak akan berbeda jauh dengan angka 50 sampai 60 persen.
Tadi anda menyebut ada wilayah tertentu yang tingkat partisipasinya di bawah 50 persen. Apa yang terjadi pada wilayah tersebut?
Ada dinamika politik lokal yang terjadi. Ada kekuatan yang dianggap melakukan intervensi pada proses pilkada. Karena itu, masyarakat kemudian malas untuk menyalurkan suaranya.
Masih terkait partisipasi. Di internal umat Islam, ada kelompok yang menolak demokrasi. Bagi mereka demokrasi yang berasal dari Barat itu adalah sistem thagut, bukan sistem ‘islami’. Karena mereka tidak percaya pada demokrasi, maka itu berpengaruh pada tingkat partisipasi dalam pemilu. Adakah data yang bisa dirujuk untuk mengetahui berapa jumlah kelompok ini?
Soal ini, saya begini mengukurnya. Selama ini kami punya data seberapa persen masyarakat yang menganggap demokrasi adalah sistem politik terbaik, meskipun tidak sempurna. Angka masyarakat yang percaya pada demokrasi sejak 2004 sampai survei terakhir kami, jumlahnya adalah 70 persen. Dan masyarakat yang punya komitmen pada demokrasi sekitar 60 sampai 70 persen. Itu artinya, masyarakat kita yang mayoritas Muslim itu tidak anti pada demokrasi.
Sisa 30 persen itu apakah mereka semua menganggap demokrasi sebagai thagut?
Tidak semua. Sebab sebagian besar dari angka 30 persen itu tidak percaya pada demokrasi bukan karena alasan doktrin agama. Tapi karena mereka menganggap demokrasi tidak membawa perubahan mendasar bagi kondisi bangsa. Makanya tak jarang ditemukan orang yang mendambakan rezim Orde Baru yang otoriter. Nah, yang betul-betul anti pada demokrasi karena alasan doktrin agama, angka lebih kecil. Berapa? Saya tidak tahu persisnya.
Itu artinya, kelompok Islam seperti Hizbut Tahrir maupun Wahabi, yang terkesan berpengaruh di tengah umat Islam dengan kampanyenya yang menolak demokrasi atau alergi terhadap sesuatu dari Barat pada kenyataannya jumlah mereka tidak besar ya….
Iya. Apalagi tren masyarakat yang punya komitmen terhadap demokrasi selalu stabil. Yaitu selalu di atas 60 persen. Tren itu sejak tahun 2004 sampai sekarang. Dan angka 60 persen itu moderately good. Idealnya di atas 70 persen.
Menurut anda, apa upaya yang bisa dilakukan untuk memperluas dukungan dan komitmen masyarakat pada demokrasi?
Dengan memperbaiki kinerja demokrasi. Dan cara mengukur kinerja demokrasi ialah dengan mengukur kinerja pemerintahan. Kinerja pemerintahan diukur dari persepsi masyarakat tentang politik, ekonomi, dan yang paling penting pemberantasan korupsi. Dalam situasi di mana ekonomi menurun, biasanya tingkat kepuasan masyarakat pada demokrasi juga menurun. Kalau tingkat kepuasan masyarakat pada demokrasi menurun, maka dukungan dan komitmen masyarakat pada demokrasi juga menurun.
Dengan kata lain, dukungan dan komitmen masyarakat sangat tergantung pada faktor-faktor yang saya sebut tadi. Yaitu, situasi politik, ekonomi, dan komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi.
Menurut anda, apakah perlu ada agenda atau program tertentu yang harus didesakkan kepada calon tertentu dalam pilkada nanti?
Ada tiga top priority agenda menurut masyarakat secara umum yang muncul dari hasil survei kami selama ini. Pertama, bagaimana menciptakan lapangan kerja. Kedua, bagaimana menjaga harga-harga sembako agar tidak mahal. Ketiga, soal pemberantasan korupsi.
Dari tiga agenda prioritas itu mana yang harus didesakkan?
Ya tiga-tiganya harus didesakkan semuanya. Tapi memang ada kelompok masyarakat tertentu yang perhatian pada isu pemberantasan korupsi agak lemah. Itu terlihat dari masih banyaknya dukungan masyarakat pada kandidat yang dikait-kaitkan dengan tindak pidana korupsi.
Nah, bagi mereka sepanjang kasus pidana korupsi yang mengaitkan nama kandidat masih belum jelas dan belum diputus tetap oleh pengadilan, mereka menganggap dia tidak melakukan korupsi. Karena itu sifatnya masih dugaan atau disangkakan dan belum ada putusan tetap.
Kandidat yang dikait-kaitkan dengan kasus korupsi dan tim suksesnya biasanya akan berkilah dengan mengatakan bahwa itu adalah fitnah yang dilakukan elite politik untuk menjatuhkan namanya. Dengan demikian, kasus korupsi yang dikait-kaitkan dengan kandidat tertentu justru diolah oleh tim suksesnya untuk meraih simpati dari masyarakat.
Lalu, kira-kira apa yang bisa dilakukan masyarakat untuk menghalau kandidat yang dikait-kaitkan atau tersandung kasus korupsi agar memenangkan pilkada?
Masyarakat saat ini sudah cerdas dalam memilih. Mereka sudah berpengalaman dalam menentukkan pilihan dalam pemilu, baik di level nasional, seperti pileg atau pilpres, maupun di level daerah. Namun, masyarakat masih perlu diperkaya dengan informasi-informasi tentang kandidat, plus-minusnya dan track record-nya.
Masa kampanye kan masih 4 bulan lagi. Dan kandidat juga sudah ditetapkan. Maka, bagi kandidat yang disebut-sebut sebagai kandidat alternatif dan mampu menawarkan sesuatu yang baru, harus memanfaatkan waktu itu dengan semaksimal mungkin untuk menarik simpati dan dukungan masyarakat. Di sisi masyarakat, masyarakat harus mencari kandidat mana yang bisa mengakomodir tiga agenda prioritas tadi. Setelah masyarakat tahu, lalu salurkan dukungannya saat pencoblosan.