Presentasi Faisol Riza menanggapi hasil survei SMRC tentang Ekonomi Covid-19 dan persepsi publik tentang investasi luar negeri, 9 Agustus 2020. Faisol Riza adalah Ketua Komisi VI DPR RI.
Sebelum saya menyampaikan beberapa hal, mungkin ada baiknya jika melihat undang-undang nomor 25 tahun 2007, Bab 4, Pasal 10 tentang ketenagakerjaan. Di poin 1 disebutkan bahwa perusahaan penanaman modal, dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja, harus mengutamakan tenaga kerja warga negara Indonesia. Saya kira ini sangat jelas di undang-undang kita bahwa kewajiban dari setiap perusahaan investasi asing sekalipun itu harus mengutamakan tenaga kerja Indonesia.
Kenapa begitu? Karena memang investasi di Indonesia itu memiliki asas dan tujuan yang sangat jelas. Asas dan tujuannya itu adalah kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara, kebersamaan, efisiensi, keadilan, keberlanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, dan keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Jadi di undang-undang yang kita punya tentang investasi itu dengan jelas menyebutkan bahwa investasi di Indonesia, termasuk investasi asing itu pada dasarnya adalah bagian dari entitas ekonomi nasional kita yang diperlakukan secara sama termasuk dalam hal memenuhi kewajibannya sebagai perusahaan untuk mempekerjakan tenaga kerjanya berasal dari warga negara Indonesia.
Saya kira, ini poin penting karena saya ingin masuk dari soal ini karena persepsi tadi.
Jadi, mbak Aviliani maupun mbak Shinta ingin menyebutkan bahwa masyarakat di Indonesia memiliki persepsi karena ketidaklengkapan informasi yang mereka dapatkan mengenai investasi di Indonesia, terutama investasi asing, yang banyak muncul adalah pemberitaan tentang tenaga kerja asing bahkan masa-masa COVID, tenaga kerja dari Cina, misalnya, datang ke Sulawesi tengah kalau tidak salah, atau Sulawesi tenggara, itu berbondong-bondong di tengah-tengah kita sedang menyaksikan warga negara kita sedang mengkarantina diri kita karena PSBB, tidak melakukan kerja, sebagian work from home, kemudian mereka justru melakukan aktivitas ekonomi.
Sebelum-sebelumnya juga demikian. Menurut saya, informasi yang tidak seimbang inilah yang menyebabkan persepsi masyarakat tentang investasi asing khususnya, itu sangat mencolok, kelihatan, di dalam survey yang kita baca dan kita dengarkan dari pak Saidiman tadi.
Apalagi di dalam survei itu menyebut bahwa, pertanyaannya adalah ada tiga sampel; investasi dari Cina, investasi dari Jepang, dan investasi dari Malaysia. Sehingga gambarannya tidak terlalu mengejutkan, menurut saya, khususnya mengenai persepsi masyarakat mengenai investasi dari Cina.
Itu cukup jelas, mereka memiliki persepsi mengenai hal itu. Tetapi ini menarik, karena kalau kita berkaca pada kuartal pertama maupun kuartal kedua, investasi asing di Indonesia itu justru yang paling besar masuk Indonesia bukan Cina, tapi Singapura.
Sekalipun latar belakang perusahaannya bisa berasal dari negara-negara lain, Singapura memiliki perannya yang cukup besar karena mengisi ruang investasi kita itu 40 persen, tumbuh dari year on year 58 persen. Jadi kalau pada tahun yang lalu 1,72 milyar US dollar, itu pada kuartal pertama, menjadi 2,7 milyar US dollar.
Cina di urutan kedua, 1,3 milyar US dollar, kemudian Hongkong, 0,6, Jepang 0,6, dan Malaysia 0,5 milyar US dollar.
Jadi gambaran ini sebenarnya cukup memberikan ilustrasi bahwa ada ketidakseimbangan informasi yang diterima oleh masyarakat kita tentang investasi asing.
Yang kedua, ketidakseimbangan itu kelihatan bahwa investasi asing, khususnya Cina, yang disampaikan ke publik melalui media-media kita, itu hanya menggambar salah satu dari sektor yang sebenarnya. Kalau di dalam hirarki atau di dalam struktur investasi itu ada di bagian yang paling bawah, di mana nilai investasinya itu di sektor logam dasar atau barang-barang logam maupun tambang, sekitar 285,9 juta US dollar.
Sementara yang besar-besar, misalnya di sektor transportasi, gudang, dan telekomunikasi, yang jumlahnya 431,9 juta US dollar, kemudian diikuti sektor listrik, gas dan air; 373,1 juta US dollar, kemudian pangan, perkebunan, dan peternakan; 338,6 juta US dollar, bahkan untuk perumahan dan kawasan industri saja itu 286,1 juta US dollar itu masih diatas daripada investasi di sektor pertambangan.
Ada informasi yang jauh diterima oleh masyarakat kita sehingga persepsi itu betul-betul berasal dari informasi terbatas yang diterima oleh masyarakat.
PR pemerintah kita ini rupanya sangat besar. Yang pertama soal investasi, yang kedua soal Undang-undang Cipta Kerja.
Jadi yang kedua misalnya sebagai contoh juga bahwa ada keterbatasan informasi mengenai investasi dan Undang-undang Cipta Kerja. Misalnya, apakah memang investasi di Indonesia ini tidak menciptakan peluang kerja bagi tenaga kerja Indonesia? Saya kira pemerintah, saya tidak membela pemerintah, tapi saya kira kita perlu ada objektif sesuai dengan informasi yang diberikan kepada kami di komisi VI, bahwa ada cukup besar jumlah tenaga kerja yang direkrut melalui investasi.
Misalnya pada kuartal pertama, tenaga kerja yang terserap kira-kira 303.085 orang, naik year on year juga, sekalipun ini di ambang munculnya COVID, itu 235.401, hampir naik 28,75 persen.
Menurut saya, ini sebagai informasi mustinya pemerintah sampaikan sehingga masyarakat kita tidak menerima informasi yang terbatas. Sekalipun dari 303.000 ribu itu yang berasal dari PMN itu 151.919, dari PMDN—penanaman modal dalam negeri—151, 100.166 orang. Jadi kurang lebih sama 50%-50%.
Tapi itu menggambarkan di saat-saat kita sedang akan menghadapi bencana COVID saja, pertumbuhan tenaga kerja kita masih cukup lumayan, padahal kita dengar, kita saksikan, satu-dua tahun terakhir ini ekonomi dunia juga mengalami kelambatan.
Bapak-ibu semua yang saya hormati,
Memang gambaran ini menjadi lebih buram di kuartal kedua tahun ini, karena kita tahu bahwa kontraksi ekonomi kita cukup dalam, sekitar 5,32 persen. BPS menyebutkan rasanya ini harus menjadi perhatian yang agak—sangat serius dari pemerintah.
Pemerintah sendiri dengan berbagai macam cara sudah berupaya, saya lihat, untuk mengatasi masalah ekonomi kita.
Berbanding terbalik dengan 98, situasi ekonomi kita yang sekarang ini bukan hanya dialami oleh korporasi besar seperti pada tahun 98, tapi juga sampai ke UMKM.
Kita tahu pemerintah juga menyediakan program restrukturisasi kredit bagi UMKM, tapi masalahnya bukan dari restrukturisasi, karena UMKM kita sudah tidak bisa produktif, sehingga tidak menghasilkan apa-apa, apalagi untuk bayar kredit, bahkan untuk menjalankan usahanya sangat berat.
Mau tidak mau, harus ada jalan lain yang pemerintah harus siapkan. Itupun sudah menggunakan berbagai macam instrumen, kita tahu bahwa pada awal tahun—bukan awal tahun—tapi kuartal pertama, kita ribut mengenai PERPU nomor 1 yang kemudian menjadi undang-undang nomor 2 tahun 2020 mengenai pemulihan ekonomi nasional yang memberikan kewenangan besar kepada menteri keuangan, gubernur BI, kemudian komisioner OJK dan OSPS, itu untuk mengambil langkah-langkah strategis rupanya tidak juga jalan dengan hasil yang memuaskan.
Bahkan, pemerintah juga melayangkan komite baru; komite kebijakan, komite pemulihan ekonomi dan transformasi, yang dua atau tiga minggu yang lalu. Kelihatannya itu merupakan breakthrough terhadap macetnya instrumen pemerintah untuk mengatasi—menyusun program pemulihan ekonomi melalui undang-undang nomor 2 tadi.
Kita musti lihat bahwa masih butuh waktu untuk melakukan konsolidasi bagi pemulihan ekonomi.
Problemnya adalah kontraksi yang begitu dalam ini, ada dua. Yang pertama, yang paling utama, menurut saya, memang dari dulu masalah saja, sangat rendah konsumsi rumah tangga yang pemerintah sekarang ini dibantu melalui BLT dan Bansos.
Menurut hemat saya, ke depan sebaiknya pemerintah mengubah bantuan sosialsepenuhnya saja menjadi BLT karena ini akan malah menghidupkan lagi konsumsi masyarakat di level yang paling dasar.
Yang kedua, penyerapan ekonomi. Belanja pemerintah sendiri sangat rendah, kita tahu misalnya di sektor kesehatan saja baru 1,54 persen yang terserap. Kemudian perlindungan sosial 28,63 persen, insentif usaha 6,8 persen, UMKM itu sendiri 0.06 persen.
Apa artinya? Artinya bahwa pemerintah sendiri mengerem semua proses belanja di semua sektor. Kalau ini yang terjadi, maka kuartal berikutnya—kuartal ketiga—kita akan melihat kontraksinya menjadi semakin dalam. Dan apa yang kita saksikan di Singapura, di Hongkong, dan Korea Selatan, bahkan Eropa yang menyatakan sudah mengalami resesi, bukan tidak mungkin kita akan masuk kedalam situasi seperti itu.
Sekalipun kalau kita sehari-hari bersosialisasi sekarang ini, melihat kehidupan ekonomi, denyut nadi ekonomi mulai kelihatan di beberapa sektor terutama UMKM. Itu menumbuhkan harapan bahwa tidak sedalam itulah kontraksinya, karena di kuartal kedua memang dengan PSBB yang ketat itu kita saksikan kontraksinya 5,32 persen.
Harapannya, dengan denyut nadi yang sudah mulai dilonggarkannya PSBB, pasar-pasar mulai dibuka, kemudian perdagangan mulai berjalan, konsumsi sudah mulai ada itu kontraksinya bisa lebih kurang.
Bapak ibu semua yang saya hormati.
Ada yang ingin saya share juga bahwa situasi ekonomi dunia ini sebenarnya juga memberikan kesempatan yang tidak kecil pada kita untuk membangun perekonomian nasional lebih kuat lagi, khususnya memperkuat beberapa sektor yang harusnya menjadi sektor-sektor ekonomi kita yang bisa diandalkan di tahun-tahun mendatang.
Industri substitusi impor juga bisa menjadi pilihan, tapi yang menurut saya penting adalah kembali ke sektor dasar, misalnya sektor pertanian-perkebunan; sektor pangan.
Pada hari ini pak Jokowi mempercayakannya kepada pak Prabowo untuk melakukan program ketahanan pangan khususnya pembukaan lahan di Kalimantan sebesar mungkin, sehingga bisa menciptakan ketahanan pangan.
Tapi menurut saya tidak demikian konsepnya.
Saya berandai-andai kalau kita mengilustrasikan situasi sekarang ini seperti pada saat Jepang merasakan ketertinggalannya pada tahun 1905. Mereka memutuskan menghentikan kekuasaan shogun pindah ke oligarki, dengan istilah restorasi Meiji. Restorasi Meiji itukan artinya pencerahan, dengan slogan negara makmur militer kuat. Saya tidak terlalu setuju soal militer kuat, tetapi ini efek terhadap industrialisasi Jepang kemudian bisa kita rasakan sampai hari ini.
Kalau pemerintah sekarang mengajak kita semua, misalnya, turun ke ladang, semua lahan-lahan pemerintah yang tidak produktif bisa dikerjasamakan dengan kelompok-kelompok tani, dengan kita semua menjadi bagian dari struktur itu, rasanya kita akan mengalami lompatan yang luar biasa di tahun-tahun mendatang khususnya di sektor pertanian.
Kita tahu dengan bonus demografi tentu kita memiliki keunggulan di sektor-sektor tertentu, khususnya untuk kebutuhan pangan dunia, lubang yang sudah bisa mengisi kebutuhan.
Kembali ke ladang dan bekerja bersama masyarakat saya kira ini bisa menjadi tema pemerintah di masa yang setelah COVID ini.
Saya kira itu yang bisa saya sampaikan, terimakasih.