Koalisi Presidensial dan Ideologi

    0
    862

    Pertemuan Presiden Joko Widodo dan mantan rivalnya dalam pemilihan presiden lalu, Prabowo Subianto, segera diikuti dengan pernyataan dukungan Koalisi Merah Putih atas kebijakan yang akan diambil Jokowi dalam menyelesaikan kisruh soal KPK dan Polri. Koalisi Merah Putih mengisyaratkan akan berusaha mengamankan kebijakan tersebut dari para penentang. Kemungkinan yang dimaksud penentang itu adalah PDI-P dan beberapa anggota Koalisi Indonesia Hebat.

    Fenomena politik tersebut terkesan ironis. Betapa tidak, Jokowi adalah presiden yang berasal dari Koalisi Indonesia Hebat (KIH), tetapi dalam kebijakan ini dia justru didukung oleh pihak oposisi. Logikanya, bukankah koalisi presiden akan mendukung kebijakannya dan oposisi akan menentangnya?

    Bagaimanakah kita memahami fenomena ini? Penjelasannya terkait, antara lain, dengan dua faktor. Pertama, soal sifat koalisi (dan oposisi) dalam sistem presidensial yang memang memungkinkan berpindah-pindahnya dukungan politik dari kubu oposisi ke koalisi atau sebaliknya. Kedua, soal sempitnya jarak ideologis antarpartai dan, karena itu, antara koalisi-oposisi sehingga partai-partai pun dapat lebih mudah memindahkan dukungannya dari satu isu/kebijakan ke isu/kebijakan lainnya.

    Koalisi permanen dan ”ad hoc”

    Ada dua jenis koalisi dalam sistem presidensial. Pertama, koalisi yang ”relatif” permanen. Dikatakan relatif karena soliditas koalisi dalam sistem presidensial biasanya lebih lemah dibandingkan koalisi sistem parlementer. Jika partai pendukung koalisi membangkang, dalam sistem presidensial tidak akan berakibat pada bubarnya pemerintahan. Sementara dalam koalisi parlementer, jika ada partai yang membangkang, sangat mungkin pemerintahan bubar. Dikatakan permanen karena koalisi pendukung pemerintah cenderung akan bertahan selama satu periode pemerintahan tersebut. Dalam konteks Indonesia, koalisi seharusnya dapat bertahan sampai lima tahun.

    Koalisi jenis pertama ini adalah garansi awal yang dapat memudahkan presiden memperoleh dukungan yang cukup untuk menjalankan agenda-agenda pemerintahannya. Garansi awal tersebut diperoleh karena presiden menukarnya dengan sejumlah konsesi politik kepada partai-partai pendukung, terutama jabatan-jabatan di kabinet atau posisi lain yang setara.

    Namun, garansi awal ini tidaklah mutlak. Presiden tidak bisa berharap partai anggota koalisinya akan seratus persen selalu mendukung presiden. Para anggota kabinet secara normatif adalah anak buah presiden, bukan anak buah partai. Dimungkinkan hubungan presiden dengan anak buahnya makin menguat seiring berjalannya waktu sehingga hubungan anak buahnya itu dengan partai asalnya menjadi makin lemah. Partai akan menjaga jangan sampai ini terjadi. Caranya, antara lain, dengan tidak mendukung kebijakan presiden ketika sang presiden mulai renggang dengan partai yang bersangkutan.

    Bisa juga yang terjadi sebaliknya. Hubungan anak buah presiden dengan partai asalnya sedemikian kuat sehingga tekanan politik dari partai yang bersangkutan makin kuat pula. Ketika presiden enggan mengakomodasi tekanan politik tersebut, partai tersebut sangat mungkin tidak mendukung presiden. Jadi, soal koalisi relatif permanen ini adalah soal bagaimana presiden memelihara hubungan dengan partai asal anak buahnya dan dengan anak buahnya tersebut. Dengan kata lain, ketika ada masalah dalam proses pemeliharaan dukungan politik tersebut, sangat mungkin partai pendukung presiden sendiri membangkang.

    Koalisi jenis kedua adalah koalisi ad hoc. Dukungan politik untuk kebijakan presiden dapat pula diperoleh per kebijakan/ isu. Dukungan ini bersifat retail dan sementara. Presiden dapat mengidentifikasi agenda-agenda kebijakannya yang cocok dengan partai-partai tertentu, tidak peduli ia berasal dari koalisi atau oposisi. Agenda A mungkin cocok untuk partai X, agenda B cocok dengan partai Y, dan agenda C dapat didukung partai Z. Dukungan untuk kebijakan presiden yang bermacam-macam itu akan sangat dinamis, bergantung pada kepandaian tim lobi politik presiden dalam mendekati partai-partai yang diharapkan mendukung.

    Apa yang diperoleh oleh partai-partai ketika masuk ke dalam koalisi ad hoc? Bukankah jabatan-jabatan politik sudah dibagi habis untuk partai-partai pendukung koalisi?

    Dalam sistem presidensial, presiden memiliki executive toolbox. Ada banyak kewenangan/kekuasaan dan sumber daya politik yang dapat digunakan presiden untuk ditukar dengan dukungan retail tersebut. Misalnya, sejumlah bos partai besar sedang kesulitan keuangan dan mereka memiliki kewajiban untuk segera membayar utang kepada negara atau masyarakat. Presiden dapat saja membantu mereka dengan menggunakan kebijakan negara untuk menalanginya dan ditukar dengan dukungan politik pada kebijakan presiden. Perkakas dalam executive toolbox presiden juga dapat digunakan untuk ”memukul”. Untuk menghindari ”pukulan” presiden itu, partai dapat menukarnya dengan dukungan politik pada kebijakan presiden.

    Jadi, presiden harus pandai betul memainkan jurus-jurus koalisi relatif permanen dan koalisi ad hoc ini. Dalam tim presiden, biasanya ada kelompok khusus yang menangani masalah ini. Dalam tim west wing lembaga kepresidenan Amerika Serikat, misalnya, selalu ada Tim Urusan Legislatif (Legislative Affairs Team) yang bertugas memastikan tersedianya dukungan terus-menerus dari legislatif. Biasanya urusan ini dikoordinasikan oleh dua orang: kepala staf kepresidenan (chief of staff) dan wakil presiden. Kepala staf kepresidenan memastikan dukungan di DPR (House of Representatives) sedangkan wakil presiden memastikan dukungan di senat karena di Amerika Serikat wakil presiden sekaligus adalah presiden senat.

    Kaburnya ideologi

    Faktor lain yang memungkinkan berpindah-pindahnya dukungan partai-partai terhadap kebijakan presiden di Indonesia adalah sempitnya jarak ideologis dan perbedaan platform kebijakan antarpartai dan antara koalisi-oposisi.

    Bisakah kita membedakan secara tegas ideologi partai-partai di KIH dan KMP? Semuanya partai nasionalis (dengan berbagai gradasinya) dan berdasarkan Pancasila. Demikian juga platform kebijakan mereka. Di bidang ekonomi, misalnya, semua partai memperjuangkan ekonomi kerakyatan. Di bidang hukum, semuanya sepakat perlunya hukuman maksimal, termasuk hukuman mati, bagi pelaku kejahatan narkoba, dan sebagainya.

    Kaburnya perbedaan ini membuat partai-partai tidak memiliki penghalang yang berarti untuk saling berkoalisi, baik itu sifatnya relatif permanen maupun berdasarkan isu-isu kebijakan tertentu (ad hoc).

    Perubahan sikap partai-partai ini juga tak akan ”dihukum” oleh basis utama pendukung partai di masyarakat. Bukan karena masyarakat tak memiliki kemampuan menghukum, melainkan karena basis utama pendukung partai-partai jumlahnya sedikit. Pendukung utama partai-partai adalah mereka yang relatif setia terus-menerus merasa menjadi bagian dari partai-partai. Ini disebut dengan party identification. Temuan riset opini publik dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) sepanjang 2004 hingga 2014 menunjukkan bahwa party identification di Indonesia sangat rendah, di kisaran 15-20 persen. Itu artinya, dukungan masyarakat kepada partai-partai juga sangat mudah berpindah. Maka, dalam mengambil keputusan untuk mendukung kebijakan presiden, partai-partai tidak begitu perlu memikirkan dampaknya terhadap basis utama pendukung mereka.

    Dua kenyataan politik ini mengisyaratkan dua hal kepada presiden. Pertama, sangat mungkin partai pendukung presiden kadang-kadang (bahkan bisa sering) tidak mendukung kebijakannya. Maka, presiden harus selalu terbuka untuk melihat segala kemungkinan sumber dukungan. Kedua, dalam proses yang dinamis ini, presiden harus mengambil posisi memimpin, baik dari depan, dari tengah, maupun dari belakang. Kalau tidak, presiden akan terombang-ambing di antara berbagai kepentingan partai politik yang terus mendesakkan kepentingannya melalui penawaran dukungan politik.

    Untuk itu, presiden harus menetapkan, menegaskan, dan konsisten dengan agenda prioritasnya. Apabila ini dimiliki dan dijalankan, presiden akan memiliki kriteria yang jelas akan bekerja sama atau tidak bekerja sama dengan partai mana dalam kebijakan-kebijakan yang akan dia jalankan.

     

    Sebelumnya dimuat di Kompas, 13 Februari 2015

    TINGGALKAN PESAN

    Silakan masukkan komentar anda!
    Silakan masukkan nama Anda di sini