Presentasi M. Chatib Basri dalam acara rilis survei SMRC “Kondisi Ekonomi Masa Covid-19 dan Respons Kebijakan: Opini Publik Nasional,” 25 Juni 2020. M. Chatib Basri adalah ekonom dan mantan Menteri Keuangan Republik Indonesia.
Hasil survei SMRC ini sangat menarik. Saya senang. Hasil survei ini memperkuat tulisan saya di Kompas, awal Juni lalu. Hasil survei SMRC ini completely reinforce argumen saya di tulisan itu.
BPS menunjukkan ekonomi nasional di kwartal pertama tahun 2020, dari Januari-Februari-Maret, turun dari 5 persen ke 2.97 persen.
Yang patut kita catat, Pemerintah baru secara resmi mengumumkan kasus covid 19 ini awal Maret. Jadi secara logis, ekonomi kita di Januari mestinya masih 5 persen. Di bulan Februari, setelah terjadi lonjakan di Wuhan dll, mungkin ada pengaruh. Kita bisa turun jadi sekitar 4 persen. Ini yang terjadi, Januari-Februari-Maret, ekonomi turun dari 4,9 ke 2,97.
Artinya apa? Ada sesuatu di bulan Maret yang menarik rata-rata pertumbuhan turun ke bawah. Tidak mungkin di Januari, karena belum ada kasus. Dan Februari baru pengaruh dari luar, dan itu mungkin mempengaruhi ekspor. Bisa turun jadi 4 persen.
Ini berarti situasi di bulan Maret yang parah. Apa yang terjadi di Maret ini tercermin dengan apa yang terjadi di April, Mei dan Juni.
Karena apa? Karena dampak dari social distancing itu baru mulai terjadi sejak bulan Maret. Dengan situasi seperti ini, menurut saya, ekonomi kita akan terkontraksi di kwartal kedua 2020. Pertumbuhannya mungkin akan negatif.
Jadi, saya tidak terkejut kalau orang bilang bahwa situasi ekonomi memburuk sejak Maret dibanding Juni. Hasilnya konsisten.
Saya coba masuk ke consumption growth. Saya coba cari apa yang orang masih percaya masih baik. Kita temukan, sektor yang berhubungan dengan kesehatan, relatif OK. Yang paling tinggi growth-nya itu Pharmacytical Online. Jadi, bisnis online obat-obatan doing well.
Kenapa sektor kesehatan online ini bekerja baik, karena esensi dasar dari ekonomi itu pasar. Aktifitas ekonomi jalan kalau pasarnya ada. By definition, pasar itu adalah tempat pertemuan orang untuk menjual barang dan jasa. Bisa secara fisikal, maupun virtual.
Dengan social distancing, yang fisikal tidak boleh. Bayangkan, esensi pasar adalah “tempat pertemuan”, tapi orang gak boleh ketemu. Maka, semua sektor ekonomi yang membutuhkan aktifitas fisik, pasti collapse. Kecuali pasar itu pindah ke online.
Itu yang menjelaskan kenapa di GDP Growth by industry, sektor informasi dan komunikasi doing well. Orang perlu beli data. Yang lain-lain, seperti konstruksi, semua drop.
Ini konsisten dengan temuan survei SMRC. Lihat grafik daya beli, turunannya tajam sekali. House keeper, yang mestinya tingkat upahnya paling baik, sejak Februari drop.
Jadi dari sini, apa yang bisa kita lihat? Saya tidak terlalu terkejut dengan temuan survei SMRC. Yaitu bahwa ada pemburukan situasi di bulan Juni, dibanding bulan Maret.
Yang menarik, di akhir Juni, ada sedikit optimisme. Dugaan saya, ini akibat dari “new normal” yang akan diterapkan. Jadi ada harapan orang, adanya new normal akan memperbaiki ekonomi. Ini yang menjelaskan hasil temuan SMRC, kenapa mayoritas setuju penerapan new normal.
Ini yang akan kita lihat, apakah benar new normal membawa harapan perbaikan ekonomi?
Masalah berikutnya adalah soal BLT (bantuan langsung tunai) dan Bansos (bantuan sosial). Menurut saya kita agak sulit melakukan survei soal ini, karena BLT dan Bansos ini sifatnya non-random.
Bisa jadi sample yang ditanya itu memang orang yang tidak terima Bansos. Karena penerima kecil sekali di populasi. Ia diberikan kepada kelompok miskin. Jadi, bukan orang yang bisa ditelpon. Kalau mereka yang ditelpon mengaku tidak menerima BLT atau Bansos, itu ada bias. Yang harusnya disurvei, ya kelompok penerima secara random.
Jadi kalau ada temuan mereka yang ditelpon tidak tahu dan tidak terima BLT, ya wajar. Karena mereka yang bisa ditelpon, pendapatannya mestinya agak di atas garis kemiskinan.
Benarkah kalau new normal diterapkan, ekonomi akan recover? Temuan survei SMRC, yang mengatakan begitu di atas 80 persen. Pertanyaannya: kenapa orang berpikir begitu?
Data demografi yang ditunjukkan survei SMRC memperkuat argumen mengenai pola yang terjadi di banyak negara. Tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di India, Meksiko, dan Brazil.
PSBB dan lockdown hanya akan efektif kalau negara mampu menjalankan social protection. Itu yang menjelaskan kenapa di Swedia, yang tidak ada lockdown, penduduk tetap di Rumah. Begitu juga Denmark. Kenapa? Karena jaminan sosial di negara-negara itu sangat baik. Sehingga warga punya kemewahan untuk bisa tinggal di rumah.
Dalam kasus Indonesia, India, Brazil dan Meksiko, pengangguran adalah barang mewah. Hanya orang kaya yang bisa menganggur. Mereka yang miskin, pasti kerja. Ini menjelaskan, secara demografi, kelompok pendapatan di atas 2 juta, mengatakan pemberlakuan new normal perlu ditunda. Mereka yang pekerjaannya dosen dan profesional, menganggap new normal ditunda dulu. Ini sangat menarik. Bisa jadi bahan study lebih jauh ke depan.
Artinya, yang saya mau bilang, kebijakan PSBB itu bias kelas menengah atas, jika perlindungan sosial tidak diberikan. Karena mayoritas penduduk Indonesia mayoritas kerja di sektor informal, dan karena pemerintah tidak bisa memberi jaminan sosial kepada lebih dari 40 persen penduduknya, maka secara logika, tinggal di rumah adalah barang mewah. Biayanya jauh lebih mahal dibanding keluar rumah walaupun dengan resiko.
Karena itu, kelompok menengah bawah memilih untuk segera kembali bekerja. Ini yang menjelaskan kenapa pasar tradisional langsung ramai. Ini yang menjelaskan hasil survei SMRC.
Bagaimana dengan mall? Mall bukan primary goods. Orang bisa tidak datang ke mall. Ini yang menjelaskan kenapa setelah dibuka, masih sepi. Kelas menengah hiburannya ya seperti CFD (car free day) minggu lalu. Hal itu tidak mereka lakukan setiap hari. Itu sekedar euforia saja.
Jadi, orang kembali masuk ke kebutuhan primer. Bukan leisure. Jadi menurut saya, sektor yang lebih cepat recover adalah sektor yang berkait dengan primary goods, kebutuhan primer.
Ini tidak unik Indonesia. Di Cina juga ini yang terjadi. Penumpang subway di sana, penuh hanya di hari kerja. Orang masuk ke kebutuhan primer yang necessary, bukan leisure.
Karena itu saya bisa membayangkan, pada saat new normal, sektor yang langsung bisa bergerak adalah sektor yang berhubungan dengan kebutuhan primer ini. Berhubungan dengan sektor informal. Kelompok menengah bawah. Yang belakangan nanti, baru hiburan, hospitality, pariwisata. Ini yang menjelaskan kenapa new normal di Bali tidak secepat Jakarta. Jakarta ini dominasi urban poor.
Ini yang membuat saya sangat tertarik dengan temuan survei SMRC. Hasil temuannya memperkuat argumen saya.
Yang mau saya bilang, ada ekspektasi besar ke depan. Orang, terutama di Jakarta, sangat desparate. Karena tidak ada income. Bedanya dengan krisis yang lalu, orang menjadi miskin karena krisis.
Mas Rosan ini bisnisnya baik-baik sebelum Maret. Tiba-tiba diminta di rumah, ya otomatis tutup.
Intinya, orang mestinya harus dibayar untuk tinggal di rumah. Karena kalau tidak dibayar, dia pasti tetap keluar rumah. Untuk kelompok usaha yang ada tabungan, ada amunisi untuk tinggal di rumah. Untuk yang tidak ada tabungan, mereka tidak punya pilihan. Mereka tidak bisa menunda new normal. Itu yang menjelaskan, lulusan SD hanya 12 persen yang bilang new normal ditunda.
Ini sekali lagi memperkuat argumen saya: PSBB itu bias kelas menengah atas, kalau dilakukan tanpa kemampuan negara memberi jaminan sosial. Ini yang terjadi di India, Meksiko, Brazil, dan lain-lain.
Di semua negara yang penduduknya banyak, di mana negara tidak mampu memberi jaminan sosial, maka orang-orangnya tidak bisa dikontrol. Ini sekali lagi mencerminkan bahwa, situasi ekonomi buat menengah bawah, memang sangat berat.
Pertanyaan terakhir: benar gak kondisi akan membaik? Kapan?
Real problem kita sayangnya baru muncul pada 2021. Sekarang, yang UKM kreditnya bisa direstructure. Dia bisa minta perpanjangan kepada Bank. Skema ini akan berakhir Maret 2021. Setelah itu apa yang terjadi? Pada saat itu mereka yang meminjam harus bayar. Tidak bisa diperpanjang. Pada saat itu masalah akan muncul.
Ini yang akan menjawab harapan masyarakat yang tercermin di survei SMRC terhadap new normal. Real issue-nya akan terjawab di kwartal pertama 2021.
Pada saat seperti ini, kita tidak bisa mengatakan bahwa dukungan perbaikan ekonomi diharapkan dari penurunan bunga. Kenapa saya katakan begitu? Kita lihat di perbankan sekarang, itu permintaan kreditnya drop. Kenapa orang tidak minta kredit ke bank, buat apa? Orang tidak ada yang beli barang. Ngapain mereka produksi, kalau tidak ada permintaan.
Jadi yang pertama perlu diinduce adalah permintaannya dulu. Kalau permintaan tidak ada, dunia usaha tidak akan expand.
Permintaan itu tidak bisa dilakukan melalui kebijakan moneter. Itu harus dilakukan melalui kebijakan fiskal. Seperti ngasih uang lewat BLT.
Masalahnya, yang bisa menerima BLT itu kelompok miskin. Sementara yang diminta tinggal di rumah, bukan hanya mereka yang miskin, tapi semua orang.
Makanya saya bilang, perlu ada perluasan bantuan sosial. Bukan hanya kepada kelompok miskin, tapi ke lower-middle income. Kalau lower-middle income ini tidak ada uang, tidak ada demand.
Yang saya khawatir adalah, ekspektasi recovery lewat new normal ini tidak terjawab tahun depan, karena daya belinya tidak muncul.
Ini yang terjadi di Cina. Mereka masuk new normal. Mereka kembali produksi. Tapi barangnya tidak ada yang beli. Karena setelah tinggal di rumah, orang tidak punya uang.
Sekali lagi, hasil survei SMRC ini sangat menarik karena konsisten dengan data ekonominya. Juga konsisten dengan prediksi mengenai kelas berdasar kelompok pendapatan. Siapa yang diuntungkan, siapa yang terkena.
Ke depan, mungkin dunia usaha akan melakukan adjustment. Salah satunya soal teknologi. Bisnis ke depan akan less labor intensive. Return yang paling tinggi datang ke pemilik modal, atau pengusaha. Penggunaan buruh akan mengalami penurunan.
Jadi, beberapa bulan ke depan, isu ketimpangan pendapatan akan muncul. Karena ada upaya untuk menjadi less labor intensive, lebih banyak menggunakan teknologi, lebih banyak menggunakan kapital.
Sekali lagi, selamat untuk SMRC. Hasil survei-nya menarik sekali.
Paparan lengkap presentasi ini bisa ditonton di kanal Youtube SMRC TV