Menakar Putaran Kedua

0
1160

Dimuat KOMPAS, 22 Februari 2017.

Berdasarkan hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei dan hasil real count yang ditayangkan laman Komisi Pemilihan Umum, putaran kedua pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta tahun 2017 tinggal menunggu penghitungan dan pengumuman resmi saja.

 

Tidak ada satu pasangan calon pun yang berhasil memperoleh suara lebih dari 50 persen. Pasangan calon nomor urut satu, Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, hampir pasti berada di posisi ketiga. Putaran kedua akan diikuti pasangan calon nomor urut dua, Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat, dan pasangan calon nomor urut tiga, Anies Baswedan-Sandiaga Uno.

Perhatian kini tertuju pada dinamika kompetisi putaran kedua. Pertanyaan utamanya ada dua: ke manakah partai-partai pendukung Agus-Sylvi akan mengalihkan dukungannya dan ke manakah pemilih pasangan calon ini akan berlabuh? Dua pertanyaan ini disebut utama dengan asumsi pemilih pasangan calon nomor urut dua dan tiga akan tetap solid mendukung mereka di putaran kedua.

Jika melihat karakteristik pemilih dan partai pendukung pasangan calon nomor urut satu, pasangan calon nomor urut tiga memang punya peluang lebih besar untuk memperoleh limpahan suara karena karakteristik pemilihnya mirip. Namun, putaran kedua baru akan berlangsung sekitar dua bulan lagi, yakni 19 April 2017. Banyak hal bisa terjadi selama dua bulan tersebut. Sejumlah kejutan bisa saja muncul.

Maka, untuk sementara kita harus mengatakan putaran kedua akan berlangsung sangat ketat, bahkan sengit. Kedua pasangan calon memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing. Di atas kertas, kedua hal ini bisa membuat pertarungan pasangan calon nomor urut dua melawan pasangan calon nomor urut tiga berimbang, seperti pada putaran pertama.

Koalisi partai

Meski pergerakan di tingkat elite belum tentu diikuti oleh pendukungnya di kalangan pemilih, dukungan partai tetap penting sebagai simbol, sebagai tambahan potensi mesin politik, dan untuk tambahan suara dari pendukung partai yang masih punya kedekatan emosional dengan partai atau elite partai. Sekecil apa pun tambahan dukungan diperoleh tetap akan penting mengingat putaran kedua diasumsikan berlangsung ketat dan sengit.

Yang juga penting, meraih dukungan partai minimal mengurangi potensi partai tersebut untuk membantu pihak lawan. Dengan kata lain, partai-partai yang mendukung pasangan calon nomor urut satu jelas akan menjadi rebutan pasangan calon nomor urut dua dan nomor urut tiga.

Di atas kertas, ada tiga partai yang paling mungkin bergabung dengan pasangan calon nomor urut dua: Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Amanat Nasional (PAN). Ketiga partai ini bagian dari koalisi besar pendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla bersama dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Golkar, Nasdem, dan Hanura. Atas dasar itu, ketiga partai pengusung pasangan calon nomor urut satu lebih masuk akal diprioritaskan oleh pasangan calon nomor urut dua yang diusung dan didukung keempat partai pendukung pemerintah tersebut.

Namun, jika benar ketiga partai berpindah ke pasangan calon nomor urut dua, tantangan besarnya adalah bagaimana mentransformasi sikap elite partai menjadi sikap para pemilih pendukung partai. Mengingat kecenderungan pemilih Jakarta yang lebih independen dan biasanya ketokohan figur lebih penting bagi pemilih dalam pilkada, sangat tidak mudah melakukan transformasi ini. Misalnya, menurut berbagai survei SMRC sepanjang 2016 hingga awal 2017, lebih dari 75 persen pemilih Jakarta memutuskan sendiri pilihannya.

PKB secara tradisional mungkin menunjukkan kaitan emosional yang cukup dekat antara elite dan para pendukungnya. Ini bisa menjadi peluang bagi pasangan calon nomor urut dua. Dengan menggandeng PKB, warga Nahdlatul Ulama (NU) yang biasanya cenderung memilih PKB diharapkan juga akan mengikuti pergerakan elite partai. Tantangannya adalah sejumlah tokoh NU, seperti Kiai Ma’ruf Amin, kelihatan cenderung kurang berpihak kepada pasangan Basuki-Djarot. Sampai tingkat tertentu hal yang sama bisa juga terjadi pada PPP, yang sebagian pemilihnya mirip dengan pemilih PKB.

Yang juga sangat mungkin, partai-partai pendukung pasangan calon nomor urut satu akan menentukan sikap berdasarkan kecenderungan pilihan pendukungnya di putaran pertama. Data untuk ini pasti tersedia di partai masing-masing. Dalam exit poll SMRC pada hari pemungutan suara lalu, sekitar 70 persen pemilih PAN, 60 persen pemilih PKB, dan 50 persen pemilih PPP memilih pasangan calon tiga.

Ini artinya pemilih ketiga partai tersebut punya kecenderungan memilih Anies-Sandi. Kalau kecenderungan ini yang dipakai, maka ketiga partai ini juga sangat mungkin bergabung dengan pasangan calon nomor urut tiga. Dengan kata lain, tarik-menarik terhadap dukungan tiga partai pendukung Agus-Sylvi ini akan berlangsung sengit.

Menurut logika politik konvensional, Partai Demokrat adalah yang paling sulit diajak bergabung ke pasangan calon nomor urut dua. Selain bukan bagian dari koalisi pendukung pemerintah yang dimotori PDI-P, hubungan ketua umum partai ini dengan Ketua Umum PDI-P masih belum mulus. Beberapa peristiwa politik menjelang hari pemungutan suara 15 Februari makin menguatkan ketegangan antara Partai Demokrat dan PDI-P beserta pendukung masing-masing, bahkan antara Ketua Umum Partai Demokrat dan pihak Istana.

Apakah ini berarti Partai Demokrat akan lebih mudah ke Anies-Sandi? Mungkin saja, tapi belum tentu. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai ketua umum biasanya sangat memperhatikan kecenderungan pilihan politik publik, yang dalam hal ini berarti pemilih partainya. Di antara pendukung pasangan calon nomor urut satu, pemilih Demokrat adalah yang paling solid. Menurut data exit poll SMRC, sekitar 64 persen pemilih Demokrat mendukung Agus-Sylvi, 24 persen mendukung Anies-Sandi, dan 12 persen mendukung Basuki-Djarot.

Soliditas pendukung Demokrat memang mungkin terjadi karena ketokohan SBY yang masih mendominasi. Pergerakan SBY berpotensi untuk diikuti pendukungnya. Mengingat dukungan elektoral partai ini ada di kisaran 10 persen, maka posisi Demokrat, dan SBY, kembali penting, mungkin juga seksi.

Memahami pemilih dan pergerakannya

Exit poll SMRC menemukan lima alasan utama masyarakat memilih pasangan calon nomor urut satu. Kelimanya secara berurutan adalah karena program yang meyakinkan (27,4 persen), alasan terkait agama (17,7 persen), karena pilihan keluarga (16,5 persen), karena dianggap memperjuangkan rakyat kecil (13,4 persen), dan karena kampanyenya paling diingat (11 persen). Ada sejumlah alasan lain dengan persentase yang jauh lebih kecil.

Alasan agama tampaknya langsung dapat kita gunakan sebagai alat prediksi. Perolehan suara pasangan calon satu ada di kisaran 17 persen. Ini berarti, ada sekitar 3 persen pemilih pasangan calon satu memilih karena alasan agama. Di putaran kedua, sangat besar kemungkinan pasangan calon tiga memperoleh tambahan 3 persen dari pergerakan pemilih ini. Jika analisis ini benar, tersisa 14 persen pemilih Agus-Sylvi yang masih bisa diperebutkan.

Jika menggunakan agama sebagai predictor, kemungkinan besar cara berpikir pemilih di putaran pertama dilakukan secara dua tingkat. Pemilih Muslim yang banyak dipengaruhi agama dalam keputusan memilih pertama-tama memilah ketiga pasangan calon menjadi dua bagian: calon gubernur Muslim dan calon gubernur non-Muslim. Selanjutnya, karena ada dua calon gubernur Muslim, maka pilihan dijatuhkan atas pertimbangan faktor-faktor di luar agama.

Menurut exit poll yang sama, Anies- Sandi dipilih karena alasan memiliki program yang meyakinkan (39 persen), alasan agama (20,3 persen), pilihan keluarga (11,2 persen), kampanyenya paling diingat (10 persen), memperjuangkan rakyat kecil (9 persen), dan sejumlah alasan lain. Jadi, kalau kita bandingkan alasan memilih pasangan calon nomor urut satu versus pasangan calon nomor urut tiga, tampak faktor agama tidak begitu menonjol.

Akan tetapi, kalau kita rinci distribusi pemilih berdasarkan agama kepada ketiga pasangan calon, di kalangan Muslim, menurut exit poll itu, 47 persen memilih Anies-Sandi, 34 persen memilih Basuki- Djarot, dan 19 persen memilih Agus-Sylvi. Dengan kata lain, 66 persen pemilih Muslim memilih calon gubernur Muslim. Jumlah pemilih Muslim di Jakarta ada sekitar 86 persen.

Dengan asumsi angka partisipasi pemilih secara demografi terdistribusi secara proporsional dibandingkan yang tidak memilih, ini berarti ada sekitar 56,7 persen pemilih Muslim (di antara 86 persen) yang memilih atas dasar keyakinan agama. Angka ini dikonfirmasi oleh data lain dari exit poll yang menemukan bahwa sekitar 56 persen pemilih Jakarta setuju bahwa orang Islam tidak boleh dipimpin oleh orang bukan Islam. Kesimpulannya, faktor agama menjadi faktor yang penting dalam pilkada DKI putaran pertama.

Sementara itu, kekuatan utama pasangan calon nomor urut dua adalah posisinya sebagai petahana. Alasan utama Basuki-Djarot dipilih adalah karena program yang paling meyakinkan (67,4 persen), paling memperjuangkan rakyat kecil (15,6 persen), pilihan keluarga (8,8 persen), kampanyenya paling diingat (5 persen), dan sejumlah alasan lain. Data exit poll juga menemukan hal yang konsisten dengan data berbagai survei sebelum pilkada soal tingkat kepuasan publik kepada petahana, yaitu di kisaran 70 persen.

Inilah alasan mengapa petahana masih bisa unggul tipis dari lawan-lawannya. Namun, keunggulan sebagai petahana ini memperoleh tantangan serius, antara lain, dari faktor sosiologis.

Kalau kita sederhanakan, ada dua faktor utama yang bertarung dalam pilkada DKI putaran pertama: faktor sosiologis dan faktor ekonomi-politik (evaluasi terhadap petahana). Tentu saja kedua faktor ini dalam kenyataannya bukan faktor tunggal. Keduanya berjalin berkelindan dengan faktor lain.

Pada putaran kedua nanti, kedua faktor utama ini tetap akan berpengaruh. Namun, seberapa besar pengaruhnya, masih bergantung pada banyak hal lainnya. Faktor personalitas atau kualitas personal kandidat, baik dari segi kapasitas maupun emosional, juga memengaruhi sikap pemilih. Faktor pengaruh agama, menurut temuan berbagai survei hingga exit poll, tidak bersifat tetap. Sebelum akhir Oktober atau November, jumlah pemilih Jakarta yang meyakini orang Islam tidak boleh dipimpin non-Muslim ada di kisaran maksimal 30-35 persen.

Namun, berbagai peristiwa, seperti dugaan penodaan agama, membuat sentimen ini meningkat, hingga ke angka 50-an persen. Ia sempat turun lagi setelah pertengahan Desember ketika suasana panas politik mulai turun. Menjelang hari pemungutan suara, faktor ini kembali menguat. Sejumlah faktor lain juga mungkin berpengaruh: manajemen isu di kedua pasangan calon (termasuk di dalamnya sidang dugaan penodaan agama), intensitas proses sosialisasi selama dua bulan ke depan, dan peristiwa-peristiwa yang muncul secara tidak terduga. Maka, belum ada kandidat yang bisa ongkang-ongkang kaki menuju 19 April 2017. Putaran kedua is still anybody’s game!

TINGGALKAN PESAN

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini