Pilkada DKI Jakarta tidak memiliki efek pada politik nasional. Demikian temuan mutakhir hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting. Sebelum dan sesudah Pilkada DKI, dukungan pada tokoh-tokoh untuk menjadi presiden sangat stabil. Jokowi tetap yang teratas, dan tetap diikuti Prabowo di posisi kedua juga dengan posisi relatif stabil.
Menurut Direktur Eksekutif SMRC, Djayadi Hanan, stabilitas dukungan tersebut dimungkinkan oleh penilaian publik atas kinerja Jokowi dan kondisi makro nasional yang tidak banyak berubah.
Survei ini dilakukan pada 14-20 Mei 2017 melibatkan 1350 responden yang dipilih dengan teknik multistage random sampling dari total populasi nasional yang sudah memiliki hak pilih pada pemilihan umum, yakni mereka yang berumur 17 tahun atau lebih atau sudah menikah ketika survei dilaksanakan. Margin of error survei ini rata-rata +/- 2.5% pada tingkat kepercayaan 95%.
Dalam pertanyaan terbuka (top of mind), bila pemilihan presiden diadakan ketika survei dilakukan, 34.1% pemilih spontan mendukung Jokowi dan 17.2% mendukung Prabowo. Perbedaan elektabilitas antara keduanya cukup signifikan, sekitar 17%.
Menurut Djayadi, “perbedaan elektabilitas antara Jokowi dan Pabowo sekarang mirip dengan perbedaan elektabilitas SBY dengan Megawati pada 2007.” Pada jarak waktu yang sama, 2 tahun menjelang Pilres 2009, perbedaan elektabilitas keduanya sebesar 16%.
Dalam simulasi head to head, elektabilitas Jokowi 53.7% sementara Prabowo 37.2% dan tidak menjawab 9.1%. Jarak antara keduanya sekitar 16.5%. Dari sisi pilihan presiden, politik Tanah Air relatif tidak mengalami perubahan pasca Pilkada DKI Jakarta.
Demikian pula dengan pilihan partai politik. Peta dukungan pada partai politik sebelum dan sesudah Pilkada DKI juga tidak banyak berubah, terutama dalam periode Januari dan Mei 2017.
PDIP masih di posisi teratas (21.7%) dan disusul Gerindra (9.3%). Kedua partai ini mengalami kenaikan sekitar 4% dalam 5-6 bulan terakhir. Elektabilitas partai-partai lain masih berada di bawah elektabilitas Partai Demokrat, 5.2%.
Dampak negatif Pilkada DKI pada partai-partai pendukung pasangan yang kalah, dan dampak positif pada partai yang pasangannya menang, di luar PDIP dan Gerindra, tidak terlihat. Kalaupun terjadi perubahan maka perubahan itu tidak signifikan secara statistik (di bawah margin of error rata-rata ± 2,5%).
Jika dibanding hasil Pemilu 2014, hanya PDIP yang bisa mempertahankan atau bahkan menaikan posisinya secara elektoral lewat sikap spontan pemilih. Sejak Pemilu 2014, dukungan spontan pemilih pada PDIP rata-rata kurang lebih stabil. Partai-partai lain semuanya cenderung menurun, dan banyak yang tadinya memilih mereka nampaknya bersikap belum memutuskan.
Mengapa Jokowi dan PDIP masih di atas semua pesaingnya, tak terpengaruh oleh hasil Pilkada DKI Jakarta? Berbagai indikator yang berbasis pada evaluasi massa nasional secara umum positif dan stabil. Tingkat kepuasan publik pada kinerja Jokowi masih stabil, yakni 67%. Bahkan sebanyak 69% yakin akan kemampuan Jokowi memimpin.
Sementara itu, penilaian atas kondisi ekonomi, politik, dan keamanan juga relatif stabil. 44,4% merasa ekonomi rumah tangga lebih baik di banding tahun lalu, bahkan 62,3% optimis keadaan ekonomi keluarga akan lebih baik tahun depan. Sejalan dengan itu, penilaian atas kondisi ekonomi nasional juga cenderung positif, yakni 57,1%.
Kepercayaan pada lembaga-lembaga publik juga tidak banyak mengalami perubahan. Urutan teratas masih ditempati TNI (90%), presiden (86%), KPK (86%), kemudian POLRI 77%, pengadilan 76%, dan kejaksaan 74%. Walaupun mendapat kepercayaan mayoritas massa, tingkat kepercayaan pada partai dan DPR paling rendah dibanding pada lembaga-lembaga yang lain.
Berbeda dengan spekulasi yang beredar di sejumlah kalangan, survei opini publik ini justru menemukan bahwa semua indikator politik tidak menunjukan perubahan berarti, sebelum dan sesudah Pilkada DKI. “Pilkada DKI tak punya efek pada politik nasional” kata Djayadi.