Tidak kurang dari 27 miliar dollar AS komitmen investasi Tiongkok di Indonesia setelah kunjungan Joko Widodo ke Beijing. Ini adalah bukti penting tentang semakin merekatnya hubungan kedua negara.
Beijing adalah kota pertama yang dikunjungi Jokowi setelah resmi menjadi Presiden Republik Indonesia. Selain menghadiri forum ekonomi dunia, APEC, kunjungan ini sesungguhnya juga memiliki makna simbolis tentang hubungan Indonesia dan Tiongkok. Meski Jokowi menyatakan hubungan Indonesia dan Tiongkok telah berlangsung ratusan tahun, sebagai negara modern hubungan ini naik-turun, bahkan putus-sambung.
Indonesia adalah negara pertama yang menjalin hubungan bilateral dengan Tiongkok tahun 1950. Sejak itu, Indonesia dan Tiongkok menjalin persahabatan erat. Soekarno bahkan menyebut Poros Jakarta-Peking (Beijing), selain juga beberapa poros lain, seperti Poros Jakarta-Moskwa atau Poros Jakarta-Moskwa-Pyongyang-Peking.
Poros ini adalah isyarat jelas untuk menyingkirkan pengaruh Amerika Serikat dan Eropa di Asia. Selain itu, Indonesia dan Tiongkok juga memang sedang dipimpin oleh dua tokoh besar penggerak revolusi: Soekarno dan Mao Zedong.
Kedekatan Indonesia dan Tiongkok ketika itu sesungguhnya bertumpu pada kedekatan ideologi negara yang tecermin pada sikap para pemimpinnya. Masa-masa itu, rakyat Tiongkok baru saja merayakan kekuasaan partai komunis.
Indonesia, di satu sisi, juga masih dalam euforia revolusi dengan semangat sosialistik yang kental. Indonesia bahkan memiliki partai komunis terbesar ketiga dunia saat itu.
Awal kerenggangan
Akhir kekuasaan Orde Lama yang digantikan rezim militer Orde Baru menjadi awal renggangnya hubungan kedua negara. Orde Baru bersikap antikomunis dan berjarak dengan Tiongkok.
Para agitator Orde Baru bahkan tak segan-segan menuduh Tiongkok berada di balik percobaan kudeta tahun 1965. Propaganda anti-komunisme, pembubaran Partai Komunis Indonesia, dan tuduhan Tiongkok mendalangi percobaan kudeta membekukan hubungan diplomatik kedua negara tahun 1967.
Faktor pembeku hubungan diplomatik kedua negara sebetulnya tidak hanya ada di Indonesia. Di Tiongkok, masa-masa itu adalah masa paling ideologis dari partai penguasa sehingga semangat revolusioner mewarnai kebijakan luar negerinya.
Pada pertengahan 1970-an, kebijakan luar negeri Tiongkok menjadi lebih damai dan bersahabat terhadap negara-negara non komunis. Saat itu mulai diperkenalkan empat bentuk modernisasi kebijakan: agrikultur, industri, sains dan teknologi, serta pertahanan (Sukma, 2009).
Perubahan arah kebijakan Beijing yang berorientasi pada pembangunan membuka peluang bagi terciptanya kembali hubungan dengan Indonesia. Pada saat yang sama, rezim Orde Baru di Indonesia sudah semakin kokoh berkuasa, nyaris tidak memerlukan lagi propaganda anti-komunisme.
Jargon pembangunan semakin populer. Jargon anti-komunisme hanya muncul sekali-sekali sebagai alat ideologis untuk meredam potensi gerakan sosial yang kritis. Maka, kedua negara membuka peluang persahabatan kembali.
Ketika terjadi kerusuhan 1997-1998 di Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia yang menyebabkan etnis Tionghoa menjadi korban utama, beberapa kelompok masyarakat di Tiongkok mendesak pemerintah mereka mengambil sikap tegas.
Namun, rezim komunis Tiongkok justru memilih tidak ingin ikut campur dan menganggap Indonesia mampu mengatasi persoalan di dalam negerinya sendiri. Sikap ini tidak akan ditemukan pada tahun-tahun sebelumnya.
Runtuhnya Orde Baru dan semakin terbukanya pandangan rezim komunis Tiongkok seakan menandai musnahnya semua rintangan besar untuk membangun hubungan diplomatik bilateral Indonesia-Tiongkok.
Pemulihan hak
Presiden Abdurrahman Wahid pun memilih Republik Rakyat Tiongkok sebagai negara pertama yang ia kunjungi setelah terpilih sebagai presiden tahun 1999. Di dalam negeri, Gus Dur memulihkan hak-hak warga keturunan Tionghoa yang selama Orde Baru terpinggirkan.
Di ranah kultural, Gus Dur bahkan menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional dan meresmikan Khonghucu sebagai agama yang diakui oleh negara.
Lebih jauh, seluruh hak politik warga keturunan Tionghoa dipulihkan dan menjadi sama dengan warga negara lainnya. Mereka bahkan bisa menjadi presiden yang sah secara konstitusional.
Hubungan ini terus meluas dan semakin mendalam di era Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono. Tahun 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Hu Jintao menandatangani Perjanjian Kerja Sama Strategis (Strategic Partnership Agreement).
Volume perdagangan Indonesia-Tiongkok bergerak sangat cepat. Tahun 2005, kedua negara sepakat melipatgandakan volume perdagangan dalam waktu lima tahun menjadi 30 miliar dollar AS, dan hanya dalam dua tahun target itu sudah terlampaui (Tjhin, 2012). Tahun 2013, volume perdagangan sudah mencapai 66 miliar dollar AS dan akan mencapai tidak kurang dari 80 miliar dollar AS tahun depan (BBC, 2013).
Pada Oktober 2013, Presiden Tiongkok Xi Jinpin menyampaikan pidato bersejarah di gedung MPR/DPR. Ini bukan hanya pidato pertama pemimpin Tiongkok di gedung parlemen, melainkan juga pidato pertama dari pemimpin dunia.
Maka, kunjungan pertama Jokowi ke Beijing bukan sesuatu yang mengherankan. Jokowi mengajak para pengusaha Tiongkok menanamkan modal pada pembangunan infrastruktur Indonesia.
Kini, hubungan Indonesia-Tiongkok semakin terbuka dan lebih didasarkan pada kedekatan kepentingan. Hubungan bilateral kedua negara tidak hanya memberikan keuntungan kepada rakyat masing-masing negara, melainkan juga umat manusia secara keseluruhan. ●
Sebelumnya dimuat di Kompas, 15 Desember 2014