Presentasi Saiful Mujani tentang temuan hasil survei SMRC mengenai kondisi demokrasi di masa Covid-19, 23 Agustus 2020.
Selamat pagi Assalamualaikum wr wb
Terimakasih Pak Mahfud, Saudari Meutia, Pak Philips, pak Thamrin.Terimakasih kita share diskusi pagi ini, pada hari yang libur ini, mudah-mudahan tidak mengganggu liburnya.
Saudara-saudara sekalian, pada kali ini kita mau diskusi hasil temuan survei, sebenarnya temuan survei yang berkaitan dengan demokrasi. Ini concern lama yang berkelanjutan, kita sebut sudah berumur, seumur reformasi kurang lebih.
Tentang bagaimana sikap publik terhadap demokrasi sejak Pemilu 1999 dulu sampai sekarang.
Kebetulan tadi seperti disampaikan Bung Ade, bahwa di dunia sekarang ada kepedulian atau keprihatinan tentang kondisi demokrasi setelah adanya Covid.
Kita juga di sini ingin melihat apakah kondisi demokrasi kita di masa Covid ini, tetap seperti sebelum Covid artinya tidak perubahan, tidak punya dampak, Covid ini terhadap demokrasi atau bagaimana.
Kira-kira seperti itu pertanyaan pokoknya, karena tadi seperti disampaikan bahwa Covid 19 itu punya dampak negatif terhadap banyak negara di dunia terutama negara demokrasi baru seperti kita.
Dicatat misalnya oleh V-Dem, V-Dem itu sebagai sebuah lembaga monitor perkembangan demokrasi di dunia, di belakangnya para akademisi di dunia kira kira begitu.
Dan ketika ada Covid ini mereka semakin intensif melakukan pemantauan dan menekan bahwa banyak di antara demokrasi, antara demokrasi baru terutama yang mengalami kemunduran dalam demokrasi,
Diindikasikan oleh kebijakan-kebijakan yang mengabaikan unsur-unsur kesukarelaan dari masyarakat, ada unsur pemaksaan.
Misalnya banyak demokrasi baru, dicatat misalnya sebagai kemunduran yang sangat kuat itu adalah di demokrasi yang sudah paling tua, mungkin di Asia yaitu India.
Ketika Covid melanda India dan dunia, kebijakan yang dibuat lockdown dalam hal ini, itu dieksekusi atau dijalankan dengan banyak melanggar prinsip-prinsip demokrasi.
Terutama berkaitan dengan kesukarelaan masyarakat untuk melakukan, untuk bicara, atau untuk melakukan berbagai kegiatan.
Yang buruk juga ada tetangga kita yang sudah lama juga berdemokrasi ada di Philipina. Dilihat oleh V-Dem dan juga oleh igea.
Igea itu juga lembaga yang lain, yang monitor tentang perkembangan demokrasi India dan Philipina adalah contoh demokrasi yang mengalami kemunduran banyak akibat Covid ini.
Masuk ke dalam kategori, dalam tanda kutip merah begitu, gara-gara Covid mengalami kemunduran banyak.
Dan di Indonesia sendiri dinilai oleh lembaga pemantau ini disebut begitu, termasuk sedang.
Jadi ada beberapa indikasi yang bisa memperlemah demokrasi karena berkaitan dengan Covid dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
Tapi dibanding dua negara tersebut, Indonesia relatif masih lebih baik kira-kira begitu.
Itu pemantauan secara ceklist oleh para teknokrat, oleh para ahli, oleh well informed person, biasa dilakukan seperti bahwa ada di kita di Indonesia keprihatinan atau unsur-unsur yang mengindikasikan demokrasi terganggu walaupun tidak seburuk di Filipina atau di India.
India adalah salah satu demokrasi yang kuat di Asia.
Apakah, tadi penilaian dari well-informed person, tapi penilaian juga ada dalam melihat keadaan demokrasi kuat atau lemah naik atau turun.
Biasanya dalam studi adalah meminta masyarakat sendiri yang menilai, masyarakat dalam negara masing-masing.
Ini dipakai juga sebagai salah satu standar, kita menggunakan cara ini dalam menilai kondisi demokrasi kita, yaitu meminta masyarakat sendiri untuk menilai bagaimana demokrasi kita sekarang.
Oleh karena itu cara yang biasa dipakai, ada dengan survei opini publik nasional, kebetulan kita sebelum Covid ini punya rangkaian survei dengan pertanyaan yang kurang lebih sama.
Sehingga bisa dibandingkan pertanyaan yang sama itu hasilnya sebelum dan sesudah Covid.
Nah di sana kita bisa melihat kecenderungan seperti apa, apakah Covid ini berhubungan dengan pelemahan atau penguatan atau stabilnya demokrasi di Indonesia.
Dilihat dari persepsi atau pandangan publik atau evaluasi publik terhadap keadaan demokrasi kita, kira-kira seperti itu.
Maka kita melakukan survei opini publik, di masa Covid ini sebagaimana diketahui, kita tidak bisa melakukan survei face to face seperti biasa karena kondisi yang tidak mudah dilakukan di lapangan.
Kita juga sebisa mungkin melakukan prinsip-prinsip social distancing oleh karena itu kita melakukan survei lewat telepon yang dari pengalaman kami sudah cukup representatif secara nasional.
Saya hanya akan menyinggung aspek metodologi, nanti kalau ada yang mau tanya silahkan.
Bahwa sekitar 74% pemilih kita itu punya telepon, secara nasional. Berarti sekitar 30% yang tidak bisa kita kontak karena tidak punya telepon.
Jadi kalau mau sederhana survei ini mencerminkan sekitar 70% penduduk Indonesia .
Namun demikian supaya bias pada orang yang punya telepon saja itu berkurang, maka kita lakukan semacam pembobotan.
Didasarkan pada demografi, jadi ini bukan punya soal yang punya telepon, dalam survei ini, tapi lebih mencerminkan pada karakteristik demografi dari pemilih kita.
Misalnya dilihat dari representasi dari daerah, representasi dari gender, representasi dari agama, suku, dan bangsa.
Nah itu, kalau dilihat dengan pembobotan semacam itu kita mendapatkan gambaran yang kurang lebih sama atau mendekati populasi karakteristik populasi secara nasional.
Dari berbagai aspek demografi tersebut, oleh karena itu kami melihat bahwa sampel kita cukup bagus untuk menggambarkan sentimen di masyarakat, bisa melihat laki-laki dan perempuan kurang lebih sama.
Sesuai dengan populasi orang yang tinggal pedesaan dan perkotaan kurang lebih sama.
Antara sampel dan populasi kelompok umur juga demikian setelah dilakukan pembobotan, agama juga kurang lebih sama, yang beragama islam menurut populasi itu 87%, menurut sensus dan di sampel sekitar 88% bedanya itu tidak signifikan secara statistik.
Orang yang etnik atau suku bangsa Jawa menurut populasi sekitar 40% di sampel sekitar 40%, demikian dan seterusnya, jadi kita bicara di sini tentang seberapa representatif sampel kita.
Dan cara seperti ini, survei lewat telepon sudah kita lakukan sebelum pemilihan presiden 2019 itu yang pertama.
Jadi semacam model kita, dan kebetulan ada musibah pandemi ini yang tidak memungkinkan untuk turun ke lapangan.
Pengalaman sebelum pilpres dulu cukup bagus hasilnya, survei telepon dengan hasil pemilu kurang lebih sama, mendekati, kurang lebih perbedaan di bawah margin of error oleh karena itu kita melihat cara darurat yang masih bagus dilihat dari aspek metodologi.
Di dalam survei ini kita bicara tentang kondisi demokrasi kita, tapi biasanya kondisi demokrasi ini juga ada kaitannya dengan berbagai aspek yang basic.
Di sini mengenai penilaian masyarakat pada kondisi ekonomi, kondisi politik secara umum, kondisi keamanan, kondisi keamanan dan penegakan hukum, dan kemudian kepercayaan kepada polisi republik Indonesia.
Secara umum menjaga keamanan, penegakan hukum, ini wilayah, hampir semua wilayah pak Mahfud yang mengkoordinasi dan banyak beririsan dengan tugas mbak mutia di DPR.
Kondisi ekonomi kita, penilaian masyarakat terhadap kondisi ekonomi kita, kita tahu Covid ini membuat apa namanya penilaian masyarakat terhadap kondisi ekonomi keluarga itu sangat buruk.
Kita lihat itu yang merah tidak pernah terjadi sebelum Covid, ini adalah yang terburuk sejak krisis ‘97 dulu, atau terburuk sejak kita mengalami reformasi jadi kondisi ekonomi sangat buruk sekali.
Kondisi ekonomi nasional kita lihat itu ekstrem sekali penilaian sebelum Covid yang hijau itu lebih banyak daripada yang merah tapi begitu masuk Covid ini, melonjak tajam sekali.
Yang merah itu yang menandakan bahwa kondisi ekonomi nasional kita terburuk menurut masyarakat.
82%. Bayangkan kalau dilihat, kalau kita persempit model menjelaskan kondisi demokrasi atau rezim yang dianut, demokrasi atau apapun, kalau hanya bertumpu pada kondisi ekonomi mestinya demokrasi kita sudah runtuh.
Karena begitu negatif kondisi ekonomi kita 82% survei terakhir yang mengatakan kondisi ekonomi, lebih buruk kondisi ekonomi nasional.
Kita lihat aspek yang lainnya dan mungkin ada variasi yang sangat menarik di sini yaitu kondisi politik.
Kondisi politik yang mengatakan sangat atau baik, baik atau sangat baik, itu sekitar 39%, yang mengatakan buruk sekitar 21% secara umum.
Jadi kalau dari sisi ekonomi tadi buruk sekali, begitu ya, tapi kalau dalam politik tidak begitu buruk walaupun yang mengatakan sangat baik atau baik di bawah 50%.
Tapi tetap lebih tinggi daripada yang mengatakan buruk di survei terakhir.
Trendnya sebenarnya kita lihat Covid ini berdampak negatif terhadap penilaian masyarakat terhadap kondisi politik awal.
Tapi sekarang sudah pulih pada survei Juli, pada Maret sebelum Covid merebak luas, kondisi politik kita bagus, 38% yang mengatakan baik.
Tapi kemudian setelah 3 bulan kita menemukan penurunan yang cukup tajam dari 38 menjadi 31%.
Yang mengatakan baik dan pemulihan di survei terakhir mengalami new ball dari aspek politik.
Jadi mungkin dilihat dari secara umum kondisi politik tidak ada sesuatu yang istimewa sehingga, jadi masyarakat menilai baik baik saja.
Ketika itu karena begitu yang mengatakan buruknya itu lebih rendah daripada yang mengatakan baik.
Cuma di sini menarik, juga dengan catatan kita pernah, masyarakat merasakan kondisi politik itu buruk ketika waktu penetapan KPU hasil pemilu 2019 yang menimbulkan kerusuhan depan Sarinah.
Kita menyaksikan itu dan setelah itu kita melakukan survei penilaian masyarakat, negatif tentang kondisi politik kita.
Itu sama ketika kita mengalami Covid ini, juga kita mengalami penurunan walaupun kemudian sekarang sudah kembali membaik, pulih untuk aspek politik.
Kemudian kondisi keamanan yang mengatakan kondisi keamanan kita yang baik atau sangat baik sekitar 52%, jadi mayoritas merasakan begitu.
Yang mengatakan buruk sekitar 15% dilihat dari sisi keamanan, tapi kita harus melihat secara trendnya.
Secara umum sebelum Covid, kalau ditarik sampai Desember 2018 atau Januari 2019 belum ada Covid itu, kita melihat di atas rata-rata, di atas 60% yang mengatakan kondisinya baik mengenai keadaan keamanan dan ketertiban, secara nasional.
Mulai memburuk itu juga sama, ketika penetapan hasil pilpres 2019 itu menurun tapi kemudian pulih di survei sebelum Covid merebak di awal Maret itu sudah pada posisi yang positif masih 66%.
Tapi setelah itu mengalami penurunan dan cukup tajam 52% pada bulan Juni dan sekarang belum pulih masih pada posisi 52%.
Ini cukup konsisten dengan akses data evaluasi atau laporan yang diberikan oleh Polri bahwa setiap ada pandemi ini, angka kriminalitas di masyarakat mengalami kenaikan cukup banyak sekitar 7%, kira-kira begitu dari laporan Polri.
Jadi ini cukup konsisten, namun demikian masih di survei terakhir sempat di bawah 50% melampaui ambang psikologis 48%.
Yang mengatakan baik berarti sekarang sudah mulai membaik dan juga pulih menjadi 52% sudah di atas ambang psikologis 50%, ini kondisi keamanan.
Kemudian keyakinan terhadap ini cukup konsisten, yang menyatakan keadaan keamanan dan ketertiban dalam survei terakhir itu 52% yang mengatakan baik.
Ketika kita tanya, pemerintah, apakah setuju atau tidak setuju dan pendapat bahwa pemerintah belum bisa melindungi rakyat dari ancaman keamanan yang mengatakan setuju itu 42% di survei terakhir.
Sampai sebelumnya juga awal Agustus, 41% yang setuju dengan itu mayoritas mengatakan tidak setuju.
Artinya ini cukup konsisten dengan beberapa bentuk pertanyaan untuk melihat seberapa real evaluasi publik terhadap kondisi keamanan seperti ini.
Sebenarnya ini masih mayoritas, cuma tadi kita lihat itu aspek keamanan ini belum pulih betul pada posisi sebelum Covid.
Ini lebih pada unsur penilaian terhadap kemampuan polisi sebagai kekuatan paling depan untuk mencegah keamanan dan ketertiban pertanyaan adalah seberapa buruk atau seberapa baik keamanan atau pelaksanaan hukum kita sekarang.
Alternatif jawaban yang mengatakan sangat buruk dan polisi tidak bisa diandalkan itu 5% buruk.
Secara umum polisi masih bisa diandalkan itu 32%, yang mengatakan baik, polisi secara umum bisa menjaganya dengan sangat baik dan polisi bisa diandalkan itu sekitar 60%.
Jadi ada konsistensi walaupun tadi belum pulih secara keseluruhan sebelum Covid, tapi ada masih unsur kepercayaan pada polisi, bahwa polisi bisa menegakkan walaupun tidak semuanya.
Ada 60% yang percaya bahwa polisi masih bisa diandalkan untuk menegakan hukum dan menjaga ketertiban dan keamanan di masyarakat.
Sama dengan itu, juga ada aspek lain tentang kepuasan terhadap kerja presiden itu sekitar 67% yang menyatakan puas dan yang kurang puas sekitar 30%, trendnya kurang lebih stabil dari sesudah Covid kepuasan terhadap kinerja presiden sekitar di atas 60% atau hampir 70% rata-rata.
Kepuasan pemerintah saat menangani Covid itu juga mayoritas mengatakan puas sekitar 64% dan 65% di survei terakhir.
Dan kecenderungan sejak ada Covid dan survei sejak Covid sudah merebak luas itu kurang lebih stabil, penilaian masyarakat terhadap bagaimana pemerintah bekerja menangani Covid.
Di mata masyarakat, kepercayaan terhadap presiden untuk membawa keluar dari krisis juga di atas 70%.
73% yang percaya bahwa pemerintah, yang memilih presiden bisa memimpin untuk keluar dari krisis ekonomi akibat dari Covid tersebut.
Kecenderungan juga relatif stabil semasa Covid ini berlangsung, itu kira-kira kondisi-kondisi dasar yang terjadi dan itu juga akan berhubungan dengan penilaian terhadap demokrasi.
Kondisi demokrasi dilihat dari satu cara mengukur, untuk mengukur demokrasi di sebuah negara adalah dengan mengamati sikap warga terhadap demokrasi dan pelaksanaan, yaitu kepuasan dengan pelaksanaan demokrasi secara umum.
Kedua, referensi atau ruang terhadap demokrasi dibanding pada bentuk rezim lain atau utilitarianisme, atau ada juga istilah sultanisme, atau diktator, atau dsb.
Kemudian penolakan pada kepemimpinan pemerintah yang kuat tanpa pemilu dan tanpa dikontrol oleh DPR.
Ada itu sebagai ukuran komitmen masyarakat terhadap demokrasi juga penolakan pada pemerintahan oleh tentara aktif, jadi seberapa besar masyarakat menolak itu.
Itu juga dijadikan ukuran untuk melihat komitmen masyarakat terhadap demokrasi.
Hasilnya adalah kepuasan terhadap jalanya demokrasi, 67% mengatakan sangat puas atau cukup puas.
Yang mengatakan kurang atau tidak puas sama sekali, sekitar 27% secara nasional.
Jadi mayoritas masih merasa puas merasakan dengan pelaksanaan demokrasi sampai sekarang.
Namun trendnya kita melihat sejak sebelum Covid merebak luas, itu ada 74% orang yang merasa puas dengan demokrasi.
Tapi pada bulan Juni mengalami penurunan cukup tajam menjadi 59%.
Jadi kita melihat ini, indikasi Covid menunjukkan rasa tidak puas terhadap demokrasi, karena mungkin Covid membuat komplikasi-komplikasi dalam pelaksanaan pemerintahan.
Sehingga masyarakat punya penilaian yang agak pesimis atau kurang optimis terhadap pelaksanaan demokrasi.
Namun demikian secara umum masyarakat masih merasa puas terhadap pelaksanaan demokrasi ini dan trendnya juga baik dari 59%.
Awalnya 58%, sekarang di survei terakhir 67% walaupun belum sampai ke 74%, belum pulih tapi relatif terjaga kepuasan terhadap demokrasi ini.
Sekarang preferensi terhadap atau komitmen kepada demokrasi, kalau tadi penilaian terhadap demokrasi ada keyakinan kalau pelaksanaan bagus atau pelaksanaan demokrasi dinilai mengalami penurunan.
Maka komitmen terhadap demokrasi itu sendiri akan menurun, itu terutama di negara-negara demokrasi baru.
Jadi aspek normatifnya komitmen pada demokrasi terganggu apabila demokrasi tidak bisa dijalankan dengan baik.
Apabila masyarakat tidak puas dengan pelaksanaan demokrasi, ketika ditanya komitmen pada demokrasi dibandingkan pada bentuk rezim yang lain.
71% mengatakan walaupun tidak sempurna demokrasi adalah sistem pemerintahan terbaik bagi negara kita.
Ini ada mayoritas 71% yang masih punya komitmen, punya pandangan bahwa demokrasi tetap merupakan satu sistem terbaik.
Namun demikian komitmen ini sebelum dan ketika sudah masuk masa Covid itu terjadi penurunan yang sangat tajam.
Sebelum Covid itu 2019, 82% punya komitmen terhadap demokrasi ini seperti komitmen pada negara negara demokrasi yang sudah matang seperti di Taiwan di Korea selatan di Asia atau Jepang.
Tapi ketika ada Covid, komitmen terhadap demokrasi atau referensi terhadap demokrasi bahwa demokrasi adalah sistem terbaik bagi negara kita.
Itu turun menjadi 56%, sangat tajam. Tapi kemudian ini juga berhubungan dengan PSBB, ketika PSBB dilonggarkan atau bahkan sudah ada yang disebut sebagai normal baru.
Ada perubahan sikap masyarakat terhadap komitmen, terhadap demokrasi mengalami perbaikan, kemudian di survei terakhir kita melihat 71%, itu artinya masih berada di bawah sebelum Covid.
Saya menyimpulkan Covid punya pengaruh terhadap komitmen masyarakat terhadap demokrasi pengaruh yang dimaksud adalah pengaruh negatif.
Jadi memperlemah Covid ini, memperlemah komitmen masyarakat terhadap demokrasi, nah ini ukuran yang lain untuk melihat komitmen masyarakat terhadap demokrasi.
Sebelum Covid, kita mempunyai survei, sebaiknya keputusan keputusan nasional itu diserahkan pada orang kuat yang tidak dikontrol oleh DPR, yang orang kuat tersebut bukan hasil pemilu bisa jadi dia berkuasa dengan cara kudeta, dsb.
Kita sebut sebagai orang kuat dipakai standar ini di berbagai negara untuk melihat bagaimana komitmen masyarakat terhadap demokrasi.
Dulu awalnya pas April 2019 pas kita sudah 5-9 April sebelum pemilu kita punya pertanyaan ini yang setuju dengan pemerintah yang kuat itu hanya sekitar 7%, tapi setelah Covid kita menemukan ada kenaikan cukup signifikan itu sekitar menjadi 12% kira2 begitu.
Nah itu pada terakhir survei terkait pada 12-15%.
Jadi ada kenaikan walaupun kecil, tapi ada indikasi mentoleransi diktator gitu ya untuk memimpin negara kita, itu indikasi namun demikian secara umum orang yang tetap tidak setuju terhadap diktator tersebut masih sangat tinggi sangat tidak setuju atau tidak setuju itu lebih dari 80%.
Masih kuat tapi ada indikasi sedikit melemah dibanding melemah.
Tentara aktif hari ini juga pertanyaan yang biasa ditanyakan karena diktator atau anti yang menghambat atau mengancam demokrasi dianggap kudeta militer di banyak kasus di banyak negara di dunia kira2 begitu.
Seberapa toleran terhadap kepemimpinan tentara sebelum Covid di 2019 kita punya angka sekitar 24% orang yang setuju dengan kepemimpinan oleh tentara aktif, bukan purnawirawan tapi tentara aktif.
Kemudian setelah Covid terakhir di survei terakhir 12-15 Agustus angkanya naik menjadi sekitar 31% jadi totalnya ada sekitar kenaikan untuk dukungan terhadap tentara menjadi sekitar 31% naik sekitar 7% dibanding sebelum Covid.
Jadi walaupun mayoritas masyarakat masih menolak kepemimpinan tentara masuk di politik atau kepemimpinan kita secara nasional lebih dari 50% menjadi 59 atau 60% kurang lebih tapi ada gejala bahwa Covid ini menaikan tingkat toleransi terhadap kepemimpinan kita.
Itu aspek aspek bagaimana penilaian terhadap pelaksanaan demokrasi kita sebelum dan sesudah Covid dan ada kecenderungan penilaian masyarakat menurun ketika terhadap pelaksana demokrasi ketika memasuki masa Covid.
Demikian juga komitmen masyarakat terhadap komitmen masyarakat terhadap demokrasi dan resistensi terhadap kepemimpinan tentara aktif dan kepada diktator itu juga mengalami perubahan.
Ada kecenderungan tingkat toleransi terhadap diktator dan tentara sedikit naik walaupun secara umum masyarakat masih menolak dua bentuk kepemimpinan tersebut.
Terkait dengan demokrasi juga dalam tentang supremasi sipil yang dimaksud adalah kepemimpinan nasional itu di bawah pemimpin sipil yang dipilih secara demokratis oleh rakyat.
Jadi kekuatan angkatan bersenjata pertahanan dan semuanya berada di bawah sipil.
Kita ingat dalam sejarah reformasi kita ketika Abdurrahman Wahid dipilih oleh MPR waktu itu yang diangkat menjadi menteri pertahanan adalah pak Mahfud MD yang kita bicara hari ini.
Dan mengikuti dari media dulu saya pernah membaca di media bahwa Pak Mahfud sendiri tidak percaya diminta menjadi menteri pertahanan dikiranya menjadi menteri pertahanan kira-kira begitu.
Itu ternyata Menteri Pertahanan bukan Pertanahan ini yang menarik adalah ini Presiden Gus Dur betul-betul ingin menegakan supremasi sipil.
Salah satunya adalah di samping beliau sendiri sebagai Presiden sebagai komando tertinggi terhadap angkatan bersenjata tapi juga menteri pertahanan juga dari sipil sebagai simbol adanya supremasi sipil ini.
Makanya saya memahaminya pak Mahfud adalah wujud dari simbolisasi inginnya penegakan supremasi sipil dalam politik kita.
Dalam konteks situ kita punya beberapa pertanyaan berkaitan dengan supremasi sipil ini.
Reformasi 98 di antaranya adalah menjadikan Indonesia berada di bawah kepemimpinan supremasi sipil yang dipilih oleh rakyat bukan tentara aktif, apakah ibu setuju atau tidak setuju dengan isi reformasi dengan visi reformasi tersebut.
71% menyatakan setuju jadi kepemimpinan sipil yang dipilih oleh rakyat supremasi sipil 71% setuju yang tidak setuju 15%.
Kita juga punya pertanyaan Indonesia di bawah kepemimpinan sipil itu berarti bahwa semua tentara nasional Indonesia di bawah kuasa presiden yang dipilih rakyat sebagai panglima tertinggi dan TNI harus tunduk kepadanya.
Apakah setuju atau tidak setuju dengan ini, 76% setuju dengan statement atau supremasi sipil tersebut.
Jadi ini sangat tinggi.
Kemudian kita juga pertanyaan ini lebih yang banyak masih diperdebatkan dan kita melihat reformasi di TNI masih belum tuntas masih banyak terlibat dalam urusan yang tidak berkaitan dengan pertahanan.
Menggunakan kekuatan angkatan bersenjata ancaman dari luar negeri tertanam satu amanah reformasi adalah bahwa dalam keadaan normal atau tidak normal atau dalam keadaan tidak ada kerusuhan besar yang tidak bisa ditangani polisi.
Tentara tidak boleh terlibat langsung kepada keamanan atau ketertiban apapun dalam masyarakat apakah setuju dengan itu mayoritas menyatakan setuju jadi.
Tapi cukup banyak juga menyatakan tidak setuju jadi di sini masih dalam kenyataan kita masih punya kekuatan teritorial tentara kita masih punya babinsa yang tidak punya hubungan dengan pertahanan dari ancaman luar negeri kira2 begitu.
Jadi di sini masih ada tingkat toleransi sekitar 31%.
Tapi mayoritas masyarakat menginginkan tentara tidak mengurus masalah2 di luar pertahanan negara.
Di sini juga pertanyaan tentang amanah reformasi ada tentara aktif atau TNI sepenuhnya diabdikan untuk menjaga pertahanan dan keamanan nasional Indonesia dari ancaman luar negeri atau kerusuhan dalam negeri berskala besar yang dinyatakan dalam keadaan darurat keamanan nasional oleh presiden.
Jadi terlibatnya yang di sana yang setuju 74%, tidak setuju 16%.
Semua urusan keamanan ketertiban dan penegakan hukum dalam negeri ini tanggung jawab polisi sekitar 59% yang setuju dengan ini 32% tidak setuju jadi masih memberikan peluang 32% untuk para tentara.
Tapi secara umum keinginan publik tentara lebih profesional dan urusan keamanan, ketertiban, dan penegakan hukum dalam negeri lebih urusan polisi itu yang dominan dalam masyarakat.
Jadi kita melihat dari opini masyarakat mengenai ini umumnya menghendaki supremasi sipil itu sangat kuat, profesionalisme tentara dan urusan keamanan dan penegakan hukum dalam negeri lebih berurusan dengan polisi dibanding tentara.
Apa yang menjadi sumber2 penguatan demokrasi kita melihat tadi saya katakana di awal kalau dilihat dari sisi ekonomi demokrasi kita mestinya sudah sangat susah untuk tegak karena kondisi ekonomi berat.
Kalau kita mereduksinya masalah demokrasi itu ke dalam pondasinya ke dalam ekonomi maka seharusnya demokrasi kita sangat berat.
Tapi nampaknya yang menopang demokrasi bukan hanya ekonomi banyak faktor.
Kita melihat salah satunya adalah komitmen terhadap demokrasi itu berhubungan tadi sempat saya katakan di awal tentang bagaimana demokrasi dipraktekkan di sebuah negara.
Itu hubungan sangat positif, jadi kalau demokrasi kita itu payah dalam pelaksanaannya, lama-lama orang menjadi tidak peduli kita mau menganut demokrasi atau bukan demokrasi.
Oleh karena itu hubungannya sangat kuat antara pelaksanaan demokrasi dan komitmen terhadap demokrasi.
Juga berkaitan dengan bagaimana kinerja pemerintah kepuasan terhadap atas kinerja presiden dalam hal ini kepuasan atas kemampuan pemerintah menanggulangi Covid-19.
Keyakinan atas kemampuan pemerintah menanggulangi krisis ekonomi akibat Covid-19, kondisi politik, kondisi keamanan dan ketertiban, kondisi ekonomi.
Dari semua ini ini saling berpengaruh terhadap bagaimana demokrasi kekuasaan terhadap demokrasi itu dipengaruhi oleh faktor2 ini, kita melihat korelasi kepuasan atas pelaksanaan demokrasi dan atas pelaksanaan atas kinerja presiden.
Ini kepercayaan kepada presiden pada pemerintah untuk mengatasi berbagai masalah itu berhubungan sangat kuat dengan penilaian terhadap kondisi demokrasi.
Jadi kalau kita melihat tadi kalau ekonomi sudah sangat negatif penilaiannya tapi masih ada kepercayaan mungkin ada harapan terhadap pemerintah masih percaya kepada pemerintah.
Sehingga atas dasar itu hasil positif penilaian terhadap kondisi demokrasi dan komitmen terhadap pelaksanaan demokrasi.
Kita lihat di sini hubungan-hubungannya itu kepuasan terhadap kinerja presiden dengan kepuasan terhadap demokrasi itu kuat.
Kita melihat jadi sumbangannya ini yang menopang demokrasi kita itu adalah banyak aspek tidak hanya ekonomi.
Sehingga kita walaupun kepuasan itu mengalami penurunan karena Covid tapi penurunan itu tidak sampai pada titik yang sangat rendah.
Masih bisa ditahan masih ada bantalan di situ faktornya adalah masih ada kepercayaan pada pemerintah untuk mengatasi masalah masalah yang dihadapi masyarakat adalah masalah Covid dan kondisi ekonomi nasional kira-kira seperti itu.
Jadi kesimpulannya cukup banyak negara di dunia seperti saya kemukakan tadi, di Indonesia dan Covid ini berdampak sangat negatif.
Tapi belum ada satu laporan bahwa betul-betul sebuah demokrasi itu menjadi berpindah ke bentuk pemerintahan lain misalnya seperti ada kudeta- kudeta militer akibat dari Covid tersebut.
Namun secara umum ada variasi ada yang sudah pada posisi yang bahaya walaupun masih pada posisi demokrasi.
Dan negara kita dinilai ada dampaknya tapi tidak seburuk beberapa negara yang saya sebutkan tersebut.
Jadi publik umumnya puas dengan kinerja demokrasi mendukung demokrasi menolak diktator atau utilitarianisme setelah 6 bulan mengalami pandemi Covid 19.
Tapi perasaan puas dan komitmen tersebut di masa kemiskinan (suara kurang jelas) mengalami penurunan berarti.
Kita melihat di sini kepuasan yang mengalami minus 7% perbedaan ini signifikan, komitmen pada demokrasi minus 11%, dukungan pada diktator naik jadi 5%, dukungan ada diktator militer naik 7.
Jadi di situ ada perubahan, walaupun secara umum demokrasi kita bisa dijaga tapi bila tingkat kepercayaan kepada pemerintah untuk mengatasi berbagai masalah terutama masalah terkait Covid.
Dan krisis ekonomi ini tidak berhasil atau tidak sesuai dengan harapan masyarakat tidak tertutup kemungkinan demokrasi dukungan pada demokrasi oleh masa itu akan menjadi turun lebih tajam ke depan oleh karena itu faktor kinerja pemerintah menjadi sangat menentukan.
Mungkin itu sebagai pengantar saya, Bung Ade, untuk diskusi kita pada pagi hari ini.
Terimakasih.