Dalam tujuh tahun terakhir, Indonesia menunjukkan penurunan kinerja demokrasi yang serius. Salah satu faktor utama penurunan itu adalah masih kuatnya diskriminasi terhadap kalangan yang dianggap minoritas, yang kadang diwujudkan dengan menggunakan kekerasan, dan seolah dibiarkan oleh pemerintah. Karena itu, ke depan, Indonesia memerlukan kepemimpinan strategis di tingkat pusat hingga daerah yang mengedepankan prinsip-prinsip dasar kesetaraan warga negara.
Pernyataan itu disampaikan Saiful Mujani dalam diskusi “Meredupnya Demokrasi di Indonesia” yang diselenggarakan pada 4 Agustus 2019 di kantor Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Jakarta.
Menurut Pendiri sekaligus Peneliti Utama SMRC itu, pada 2005-2012 Indonesia dinilai oleh lembaga internasional seperti Freedom House telah mencapai indeks kebebasan ‘sepenuhnya bebas’. Ini berarti kualitas demokrasi di Indonesia adalah yang terbaik di ASEAN dan berada satu grup dengan negara-negara demokratis lainnya di Asia, seperti India, Jepang, dan Korea Selatan.
Namun sejak 2013, skor indeks kebebasan di Indonesia terus menurun sehingga sekarang dinilai hanya ‘sebagian bebas’.
Saiful membedakan dua dimensi hak dan kebebasan dalam demokrasi: hak-hak politik (political rights) dan kebebasan sipil (civil liberties). Untuk hak-hak politik, kondisi di Indonesia masih dianggap baik, meski masih ada banyak hal yang harus dibenahi. Sedangkan pemenuhan kebebasan sipil di Indonesia menunjukkan penurunan yang serius.
Pemenuhan hak politik, menurut Saiful, masih relatif baik karena saat ini di Indonesia, hak-hak politik untuk berpartisipasi dalam politik masih terjamin, misalnya kebebasan untuk ikut dalam pemilu, kebebasan memperebutkan jabatan publik strategis, dan lain sebagainya.
Di sisi lain, yang menyebabkan kinerja demokrasi di Indonesia dianggap terus menurun adalah yang terkait dengan dimensi kebebasan sipil. Termasuk dalam kebebasan sipil antara lain kebebasan berbicara, kebebasan akademik, kebebasan berorganisasi, serta kebebasan menjalankan dan menyatakan keyakinan agama atau bahkan tidak percaya pada agama secara terbuka.
Dalam hal ini, Saiful memberi penekanan pada soal kebebasan berkeyakinan dan beragama. “Masih banyak warga yang mengalami diskriminasi, tidak diterima oleh warga yang lain dengan paksa dan kekerasan,” ujar Saiful. “Dan negara tak melindungi hak-hak mereka sebagai warga negara.”
Menurutnya, diskriminasi ini terutama dialami oleh kelompok minoritas agama. “Bahkan dalam komunitas Islam sendiri, kalangan Ahmadiyah atau Syiah juga mengalami diskriminasi yang didiamkan negara,” kata Saiful.
Selain itu, kebebasan untuk berkumpul juga masih kurang terlindungi, terutama berkumpul untuk protes terhadap pemerintah terkait dengan kasus-kasus masa lalu. “Misalnya ini terjadi pada gerakan yang berusaha meminta pemerintah membuka kembali kasus kekerasan G30S, kerusuhan 1998, dan lain lain,” katanya. “Mereka sering terintimidasi.”
Salah satu faktor kunci peningkatan tindak diskriminasi yang bahkan melibatkan kekerasan oleh kelompok-kelompok konservatif terhadap kelompok-kelompok minoritas adalah keraguan pemerintah untuk bersikap tegas menegakkan prinsip kesetaraan warga.
“Ada asumsi di elite politik bahwa gelombang konservativisme diskriminatif itu besar dan berpengaruh sehingga bisa mengancam posisi politik elite itu bila mereka bersikap tegas,” kata Saiful menjelaskan. “Namun itu sebenarnya hanyalah asumsi yang tidak dilandasi fakta. Buktinya, kaum konservatif diskriminatif tidak pernah menang dalam kontestasi politik sepanjang sejarah Indonesia.”
Karena itu Saiful menganggap ke depan, perlu ada kepemimpinan strategis di tingkat pusat hingga daerah yang mengedepankan prinsip-prinsip dasar kesetaraan warga negara.
“Para pemimpin harus berkomitmen untuk memenuhi hak-hak sipil dan kebebasan sipil warga negara,” kata Saiful.
Ia menyebutkan, perlu ada pembenahan aturan yang masih memberikan celah bagi praktik diskriminatif.
Begitu juga, menurutnya perlu kekuatan judisial (hakim dan pengadilan) yang berkomitmen menjalankan prinsip kesetaraan hak-hak warga negara sehingga ketika ada warga yang menuntut di pengadilan demi kesetaraan bisa menemukan keadilan.
Sekedar informasi, diskusi ini adalah ‘acara pemanasan’ dari workshop dan konferensi bertajuk “Problems Of Democratic Deconsolidation In the World” yang diselenggarakan oleh Comparative National Election Projects (CNEP), SMRC, dan Universitas Warmadewa pada 7-9 Agustus 2019 di Bali. Beberapa ilmuan politik terkemuka dipastikan hadir dalam kegiatan itu, di antaranya Saiful Mujani, Paul A. Beck, R. William Liddle, Pedro C. Magalhães, Robert Mattes, dan Richard Gunther.