Presentasi Shinta W Kamdani menanggapi hasil survei SMRC tentang Ekonomi Covid-19 dan persepsi publik tentang investasi luar negeri, 9 Agustus 2020. Shinta Kamdani adalah Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional, Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN).
Terimakasih atas kesempatan yang telah diberikan.
Memang kalau saya lihat dari survei yang ada ini kelihatan masih banyaknya disinformasi atau kurangnya informasi dari masyarakat mengenai yang namanya investasi luar negeri.
Masih banyak masyarakat yang belum tahu sebenarnya benefitnya apa sih karena mereka tidak merasakannya sendiri. Jadi saya pikir itu memang benar ya gimana caranya masyarakat bisa lebih mengetahui dengan dapat lebih banyak informasi yang cukup.
Jadi kalau kami melihat Indonesia ini kan punya target untuk menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi ya, memiliki industri yang berdaya saing di level global dan memiliki pendapatan perkapita malah dengan target 12.000 US dollar untuk lolos dari yang namanya middle income trap dalam 15 sampai 20 tahun ke depan.
Secara rasional dan realistis seluruh target ini tidak mungkin bisa dicapai tanpa adanya arus investasi yang besar, kuat, dan berkelanjutan, baik itu dalam negeri maupun luar negeri.
Jadi kita gak ngomong hanya investasi luar negeri, tapi dalam negeri pun memang juga dibutuhkan.
Sepertinya memang tidak banyak masyarakat Indonesia menyadari beberapa fakta ekonomi penting yang menurut saya esensial untuk menjawab tantangan ini.
Pertama saya lihat dari financial literacy, masyarakat Indonesia ini masih sangat rendah. Kita lihat sebagian besar masyarakat tidak memiliki simpanan dan saving wage. Indonesia hanya ada di sekitar 30 sampai 33 persen, ini masih jauh di bawah negara-negara dengan resources besar seperti Cina yang saving wage-nya di sekitar 44 sampai 50 persen, bahkan negara kecil seperti Singapura yang ada di sekitar 46 sampai 51 satu persen.
Jadi saving wage yang rendah ini menyebabkan Indonesia tidak punya cukup dana di dalam negeri untuk memodali pembangunan infrastructure pendukung, stabilitas pertumbuhan, dan industrialisasi ekonomi nasional sehingga mau tidak mau kita juga memerlukan dana asing untuk mempercepat proses tersebut.
Kedua, likuiditas sektor penbankan nasional ini juga sangat terbatas. Suku bunga pinjaman usaha nasional juga merupakan salah satu yang tertinggi di ASEAN. Sehingga menyebabkan investasi dalam negeri sulit dilakukan secara efisien dan berdaya saing.
Karena saving wage yang rendah dan banyak masyarakat Indonesia yang tidak terjangkau oleh sistem keuangan dan perbankan nasional atau kita namakan unbankable ini, sektor perbankan nasional tidak memiliki cukup dana untuk diputarkan menjadi pinjaman modal kerja dan modal usaha untuk membiayai sektorial nasional.
Akhirnya pelaku usaha yang membutuhkan modal tidak dapat memperoleh modal yang cukup dari sistem perbankan nasional.
Selain itu, data World Bank juga menunjukan average landing wage Indonesia di tahun 2019 adalah sebesar 10,36 persen. Ini merupakan yang tertinggi kedua di ASEAN setelah Myanmar sehingga menjadi beban pada daya saing industri nasional bila pinjaman usaha hanya bergantung pada modal dalam negeri.
Negara pesaing Indonesai lainnya, saya berikan contoh seperti Vietnam itu di 2019 7,7, Filipina 7,1, Malaysai 4,8, Cina 4,35, dan Thailand 4,08 persen.
Ketiga, tanpa investasi asing yang cukup untuk mengolah berbagai sumber daya alam yang kita miliki, ekonomi Indonesia hanya akan berhenti pada kegiatan-kegiatan ekonomi ekstraktif saja.
Tujuan utama ekonomi nasional saat ini adalah industrialisasi untuk menciptakan nilai tambah dan daya saing atas komoditas atau material yang sudah kita hasilkan saat ini.
Jadi semua ini sudah kita dengar bahwa kita mau ada penciptaan nilai tambah ya.
Nah ini memerlukan modal yang tidak sedikit apalagi mudah karena itu juga memerlukan teknologi, inovasi, research and development, skilled labour, adopsi daripada international best practices, dan lain-lain.
Jadi this is not just also about funding, tapi juga inovasi teknologi yang kita butuhkan.
Jadi keselurahan ini tidak bisa kita lakukan sendiri karena keterbatasan modal, keterbatasan juga skill human capital nasional, dan keterbatasan memang know how kita.
Jadi dengan adanya investor asing teknologi juga bisa ditransfer sehingga daya saing Indonesia tidak hanya stagnan di sektor tertentu.
Ini saya rasa juga sangat penting dan kenapa KADIN juga dari awal selalu mendukung yang namanya kemitraan. Jadi kalau kita bilang menarik investor asing itu bukan berarti hanya bisa masuk sendiri, tapi juga bermitra dengan investor lokal. Ini yang banyak kami promosikan pada saat ini.
Kemudian yang keempat, memang pemerintah Indonesia sendiri juga bukan suatu negara yang mempunyai sumber pendanaan yang tidak terbatas gitu. Ini yang mungkin anggapan agak salah ya mungkin masyarakat yang mengatakan ini semua bisa dibawahi Indonesia sendiri aja kita gak perlu pembiayaan dari negara lain.
Jadi kalau kita gak mau hanya sekedar mencetak uang dan tidak mau berakhir seperti Zimbabwe dan Venezuela yang mengalami resesi ekonomi sistemik dan mengalami inflasi malah lebih dari 1.000 persen. Ini makanya kenapa selama ini juga pendanaan stimulus COVID kita pun juga terbatas. Memang untuk memperbesar stimulus pemerintah harus meningkatkan rasio hutang luar negeri dan penerbitan bon di pasar modal asing.
Jadi dengan keempat poin di atas, saya menyadari bahwa inilah mungkin masyarakat Indonesia masih memiliki persepsi yang kurang paham ya terhadap hal-hal yang kita alami saat ini. Jadi untuk bila kita tidak saat ini dengan situasi COVID juga, dengan banyak lay-off, banyak juga yang di-PHK, dirumahkan. Ini semakin penting bahwa kita harus lebih terbuka dan juga menyambut tadi mbak Aviliani juga sebut mengenai relokasi dan segala macam ini, kita harus mengambil kesempatan ini untuk menarik investasi asing.
Kemudian secara logis juga memang kita bisa pahami bahwa persepsi masyarakat terhadap investasi asing juga sangat tergantung pada exposure daripada responden. Jadi ini menarik exposure terhadap responden di kehidupan mereka.
Ada beberapa hal yang dapat mengkontribusikan pandangan masyarakat yang kurang preferable terhadap investasi asing tersebut terutama berdasarkan data bank Indonesia. FDI yang masuk ke Indonesia lebih banyak ada di pasar modal dibandingkan di sektor riil. Sehingga FDI yang memberikan dampak namanya kita sebutkan cool down economy effect yang langsung kepada masyarakat yang juga tadi disebutkan dengan penciptaan lapangan kerja dan peningkatan penghasilan.
Memang tidak begitu kelihatan karena yang lebih banyak kelihatan bahwa mereka masuknya melalui pasar modal. Jadi apabila kita hitung lebih detail memang nilai FBI perkapita Indonesia masih sangat jauh dibanding dengan FDI perkapita di negara ASEAN lainnya.
Nah ini kalau kita spesifik bicara RUU Cipta Kerja, memang tanpa RUU Ciptaker, Indonesia itu tidak memiliki instrumen yang cukup berarti untuk bisa mengkonversi FDI di pasar modal itu untuk masuk ke sektor riil yang dapat memberikan efek positif yang lebih tangible. Jadi lebih langsung dan lebih juga mempengaruhi favorable kepada masyarakat.
Kemudian kondisi ekonomi nasional yang sentralistik di Jawa juga menyebabkan persebaran FDI tidak merata diseluruh Indonesia.
Umumnya FDI di negara merupakan FDI pada sektor-sektor yang bersifat ekstraktif sehingga masyarakat setempat lebih memperoleh kesan dimanfaatkan daripada diberdayakan oleh investasi asing yang masuk.
Sebaliknya, investasi yang masuk di Jabotabek dan Jawa sifatnya lebih beragam. FDI pada industri bernilai bertambah lebih banyak sehingga masyarakat mungkin lebih banyak merasa diuntungkan dan diberdayakan. Ini makanya kita melihat design craft center industry yang banyak berlokasi di Jakarta, Banten, dan Jabar lebih positif, sesuai dengan temuan survei yang ada.
Kemudian juga investasi Indonesia dalam 5 tahun yang terakhir memang cenderung transisi menjadi investasi yang padat modal daripada padat karya, ada peningkatan biaya tenaga kerja yang tidak proposional terhadap peningkatan produktifitas dan peningkatan skill-nya.
Ini terbukti dengan penyerapan tenaga kerja, satu triliyun investasi terus turun dari tahun ke tahun sejak 2013 ya, pasca penaikan upah minimum hingga 40 persen. Jadi waktu 2013 itu upah minimum bisa naik sampai 40 persen, meskipun total investasinya meningkat terus.
Di tahun 2013, satu triliyun rupiah dapat menyerap 4.591 pekerja namun di 2019 itu hanya menyerap 1.305 pekerja, jadi perbedaannya menuruN sangat signifikan.
Kemudian juga investasi asing khususnya pada industri bernilai tambah memerlukan tenaga kerja yang terampil baik itu semi-skilled atau highly-skilled worker.
Ini juga kita bisa lihat kenapa di dalam survei, kelompok masyarakat yang diuntungkan oleh investasi asing umumnya adalah masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih memadai. Ini tidak mengherankan ya kalau kelompok responden dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki persepsi yang lebih positif.
Kemudian temuan dalam survei ini juga patut jadi perhatian pemerintah dan pihak-pihak terkait untuk mengupayakan mendatangkan investasi asing ke Indonesia. Ini buat kami sangat membantu karena investasi asing tidak dapat memberikan dampak tricle down economy yang diharapkan bila masyarakat setempat menolak keberadaan investasi tersebut.
Di lapangan, kami melihat beberapa kejadian di mana masyarakat setempat itu tidak menerima masuknya investasi asing untuk memulai project-nya.
Sejak tiga tahun terakhir, bila dilihat dari ease of doing business, terdapat stagnasi terhadap proses reformasi kebijakan ekonomi Indonesia, sehingga makin banyak pula investor asing yang mempertanyakan keseriusan Indonesia dalam membuka diri bagi investasi.
Ini juga ada di global investment at competitiveness World Bank, 2019-2020, yang menemukan bahwa stabilitas politik dan makro ekonomi serta kepastian hukum merupakan tiga hal yang paling essential dalam menarik investasi asing pada saat ini. Khususnya kita lihat penurunan global FDI di 2020 diperkirakan akan mencapai minus 40 persen atau dibawah satu triliyun US dollar, jauh lebih rendah dari nilai investasi global yang beredar pada krisis financial yang terakhir di 2009.
Kompetisi untuk menarik FDI menjadi jauh lebih ketat dalam dua-tiga tahun ke depan, dan UNTAG memproyeksikan bahwa global FDI masih akan berada dibawah nilai US 1,2 Triliyun ya hingga 2023.
Untuk itu, keterbukaan dan kerjasama antara pemerintah daerah dan masyarakat setempat terhadap FDI memang penting pasca juga disahkan RUU Ciptaker, agar FDI yang masuk tidak mengalami bottle neck realisasi investasi karena masalah sosial politik setempat.
Sentimen negatif terhadap investor dari negara tertentu juga harus dihindari. Kita tahu tadi dari survei kelihatan bahwa Cina kelihatannya tidak terlalu favorable. Semoga sentiment ini tidak berevolusi menjadi suatu bentuk—saya selalu namai—cinaphobia, sentiment anti-Cina. Karena Cina saat ini adalah investor potensial bagi Indonesia. Outbound FDI China di 2019 itu sampai 97,7 milyar US Dollar, merupakan yang terbesar di ASIA setelah Jepang, dan ketiga terbesar di dunia. Cina pun terus menjadi salah satu dari tiga asing terbesar di Indonesia selama 5 tahun terakhir.
Dan memang kalau dilihat kuartal kedua, Cina merupakan investor asing kedua terbesar di Indonesia senilai 1,28 milyar US Dollar.
Investasi Cina ini memang penting dan kita lihat banyak yang mau merelokasi usahanya ke negara-negara di Asia Tenggara sejak.
Kita harus juga melihat jangan sampai relokasi ini kemudian ke negara-negara yang selalu dapet, seperti Vietnam, Malaysia, dan yang lain-lainnya, karena memang iklim usahanya lebih competitive.
Namun kami juga menyadari bahwa Jepang memang sudah lebih banyak berinvestasi, historical-nya lebih panjang. Kalau dilihat selama ini juga mungkin yang dirasakan impactnya ke Indonesia memang sudah lebih besar dari Jepang. Makanya lumrah kalau mungkin mereka lebih confidence investor Jepang daripada Cina.
Kemudian yang penting juga perlu adanya kerjasama antara pemerintah pusat dan daerah untuk pemerataan investasi asing di daerah, khususnya investasi pada industry bernilai tambah.
Ini juga agar persepsi masyarakat terhadap investasi asing bisa meningkat seiiring dengan pemerataan perbaikan ekonomi daerah. Masuknya investasi asing juga bisa bermitra dengan investor lokal. Sekarang KADIN banyak memfasilisitasi ini, di mana investor asing bisa bekerjasama dengan pelaku usaha di daerah.
Ini juga tadi sudah saya sampaikan exposure-nya akan lebih baik kalau manfaat lebih tangible dan FDI juga harus dikondisikan bisa dilakukan.
Pemerintah sebenarnya sudah memberikan insentif-insentif, baik itu fiscal maupun non-fiscal, ini saya rasa mungkin perlu dilanjutkan. Tapi memang insentif itu tidak se-vision, pada akhirnya tidak hanya bisa karena insentif itu cuma suited gitu.
Nah seiring dengan pengesahan RUU Ciptaker, saya rasa koordinasinya juga penting antara pusat dan daerah. Kami juga di KADIN Indonesia memang mempersiapkan. Jadi pada akhirnya kalaupun RUU Ciptaker sudah disahkan, yang penting kan kita musti cepat bisa merealisasikan investasi yang masuk.
Demikian, Terimakasih.