Dunia sedang mengalami resesi demokrasi. Jurnal of Democracy (Januari 2015) mengangkat tema besar tentang fenomena mundurnya demokrasi secara global. Transisi demokrasi yang muncul di negara-negara Timur Tengah ternyata tak kunjung selesai. Libya, Irak, Yaman dan Syiria jatuh ke dalam instabilitas politik berkepanjangan dalam bentuk perang sipil. Mesir yang berhasil menggulingkan rezim diktator militer Husni Mubarak melalui gerakan massa fenomenal justru kembali terjungkal ke dalam kediktatoran militer baru di bawah pimpinan Jenderal al-Sisi.
Sementara itu, negara-negara berkembang lain yang sukses masuk ke dalam sistem demokrasi sejak tahun 1990an sampai 2000 awal mengalami menyusutan demokrasi yang ditandai dengan munculnya instrumen-instrumen hukum dan politik yang menggerogoti kualitas kebebasan sipil seperti yang dialami Turki pada tingkat yang parah atau Indonesia untuk kadar yang lebih moderat. Rezim Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) di Turki memperdalam kekuasaan dengan cara mengkooptasi media massa dan gerakan sipil yang membuat negara ini rawan didominasi oleh hanya satu partai. Sementara itu, Indonesia sejak 2009 mulai membatasi kebebasan warga untuk mengakses situs-situs tertentu pada internet. Mulai muncul pula sejumlah pengguna internet yang dibawa ke pengadilan hanya karena memuat postingan di media sosial yang dianggap melanggar undang-undang informasi dan transaksi electronic (ITE). Freedom House bahkan menurunkan peringkat kebebasan Indonesia dari kategori ‘free’ menjadi ‘partly free’ sejak tahun 2013 karena isu-isu kebebasan sipil, terutama menyangkut pers dan internet.
Dan di atas semuanya, negara-negara non-demokratis seperti Cina dan Rusia mengalami apa yang Larry Diamond sebut sebagai deepening authoritarianism, pendalaman dan penguatan politik otoritarianisme. Vladimir Putin muncul sebagai pemimpin populis di Russia yang mengembalikan negara itu ke dalam sistem diktator. Cina yang sukses dalam transformasi ekonomi liberal sejak tahun 1990an hingga kini tak kunjung masuk ke sistem politik demokratis. Aksi ratusan ribu mahasiswa di Hongkong selama berminggu-minggu pun tak kuasa menggoyang rezim komunis Cina.
Pada saat yang sama, negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat, asal demokrasi, justru mengalami kemunduran dalam performa ekonomi dan stabilitas politik. Krisis finansial yang melanda Amerika dan Eropa tahun 2008 tidak hanya membawa stagnasi pertumbuhan ekonomi di wilayah itu, tapi juga instabilitas. Krisis ekonomi ini juga diwarnai dengan munculnya kekuatan politik kanan (fasis) seperti Pegida (Patriotic Europeans Against the Islamization of the West) yang menyuarakan semangat anti-imigran. Supremasi ras kulit putih kembali muncul sebagai instrumen kampanye politik, dan jumlahnya semakin membesar.
Soal Persepsi
Kendati begitu, ada sejumlah penulis yang justru mengambil kesimpulan lain mengenai potret kegalauan demokrasi dunia. Steven Levitsky dan Lucan Way (2015), misalnya, menemukan bahwa data-data Freedom House, Polity, Economist Intellegence Unit, dan Bertelsmann Democracy Index justru menunjukkan skor demokrasi dunia nampak tetap stabil dan bahkan berkembang. Menurut mereka,
Persoalannya terletak pada optimisme yang berlebihan dari para ahli sejak tahun 1990an. Para ahli cenderung menganggap bahwa jatuhnya rezim otoriter adalah juga bermakna munculnya rezim demokratis. Padahal secara empiris, jatuhnya rezim-rezim otoriter di pelbagai negara sejak tahun 1970an sampai dengan Revolusi Hijau di Timur Tengah memiliki akhir yang bervariasi: demokrasi (Polandia pasca-1989), rezim otoritarian baru (Iran tahun 1979 atau Mesir saat ini) sampai negara kolaps dan anarkhi (Libya pasca 2011).
Berseberangan dengan dua penulis di atas, Larry Diamond (2015) mengakui adanya fenomena resesi demokrasi setidaknya sejak tahun 2006. Indikator paling utamanya adalah tingkat akselerasi kegagalan transisi demokrasi. Kedua, kualitas dan stabilitas demokrasi terutama di negara-negara new emerging-market terpenting. Ketiga, pendalaman otoritarianisme di negara-negara non-demokratis. Terakhir adalah mandegnya negara-negara established democracies dalam promosi sistem politik ini.
Akuntabilitas Lembaga Demokrasi
Saiful Mujani Research and Consulting tahun 2014 memaparkan sejumlah temuan mengenai trend dukungan publik pada demokrasi selama lima belas tahun terakhir. Walaupun dukungan terhadap demokrasi sebagai sistem masih sangat tinggi, namun dukungan pada sistem ini sangat tergantung pada kinerja rezim demokratis. Menurunnya tingkat kepuasan pada kinerja rezim demokratis menggugah kesadaran publik untuk bertanya tentang efektifitas sistem demokrasi itu sendiri.
Dengan demikian, performa rezim demokratis di negara-negara berkembang menjadi penjelas paling penting tentang trend resesi demokrasi global. Ini terkait dengan akuntabilitas penyelenggara negara yang belum menunjukkan kualitas terbaiknya. Maraknya kasus korupsi di negara-negara demokrasi baru telah menggerus kepercayaan publik. Akibatnya jelas: instabilitas politik dan ekonomi. Kelompok-kelompok kepentingan bisa memanfaatkan situasi ini untuk memobilisasi massa dan menghembuskan gagasan-gagasan populis anti-demokrasi. Meningkatkan akuntabilitas penyelenggara negara dan kepercayaan publik pada lembaga-lembaga demokrasi adalah jalan keluar.