Sebelumnya dimuat di Tribun Manado, 19 Juni 2020.
Partisipasi pemilih di Pilkada dalam arti yang lebih luas, tidak hanya bicara jumlah pemilih yang ke TPS. Tapi juga keterlibatan publik mulai dari proses pembuatan UU, PKPU, dan pelaksanaan tahapan. Pada urusan ini, partisipasi publik begitu kuat. Itu terlihat dari ramainya perdebatan pelaksanaan Pilkada.
Nilai lebih dari panasnya perdebatan lanjutan pilkada 2020, yakni adanya keinginan publik memastikan Pilkada berjalan demokratis. Dari banyak ruang perdebatan, persoalan yang paling dirisaukan adalah partisipasi pemilh pada hari pemungutan suara, voter turnout.
Voter turnout dimaknai sebagai suatu bentuk partisipasi melalui perhitungan persentase orang yang mengunakan hak pilihnya dibandingkan jumlah seluruh warga yang berhak mengunakan hak pilihnya (Miriam Budiarjo, 2008)
Voter turnout menjadi isu krusial hari ini karena pelaksanaan pilkada dilakukan di musim pagebluk corona.
KPU telah mematok target sebesar 77,5% di pilkada nanti. Pada pilkada serentak tahun 2018, partisipasi pemilih mencapai 73,24 persen, Pilkada serentak tahun 2017 dikisaran 74,20 persen, dan di tahun 2015 hanya mencapai 70 persen.
Sebelum kita bicara kesiapan penyelanggara pilkada dan seberapa besar peluang pemilih mengunakan hak pilihnya. Hal yang paling dasar adalah memahami perilaku memilih yang kemudian menjadi pintu masuk untuk memahami lebih dalam fakfor-fakfor apa saja yang mempengaruhi voter turnout
Saiful Mujani, R.William Liddle, dan Kuskridho Ambardi, dalam studi kuantitatif pengalaman pemilu 1999 sampai 2009 yang tersaji dalam buku Kuasa Rakyat (Mizan., 2012) mengurai perilaku memilih di Indonesia dalam tiga pendekatan utama: pendekatan sosiologi, psikologi, dan pilihan rasional.
Faktor sosiologi yang mempengaruhi voter turnout, yakni agama (religiositas), civic engagement (keterlibatan dalam kegiatan sosial), kekerabatan, gender, dan demografi; Warga pedesaan, dan mereka yang aktif terlibat pada kegiatan sosial lebih cenderung akan datang ke TPS.
Religiositas, kekerabatan, dan keterlibatan warga pada kegiatan sosial erat kaitannya peran tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tokoh lokal lainnya yang mempunyai jaringan sosial yang luas. Keterlibatan mereka dalam mensosialisasikan pilkada dalam konteks apapun menjadi sangat penting dan bisa mempengaruhi partisipasi pemilih di TPS.
Faktor gender juga mempengaruhi voter turnout. Perempuan cenderung lebih banyak yang datang ke TPS dari pada laki-laki. Salah satu penyebabnya, perempuan cenderung lebih aktif dalam kegiatan warga di lingkungan (pengajian, ibadah kolom, arisan, dll) yang kemudian bisa termobilisasi ke TPS.
Sementara faktor psikologi yang mempengaruhi voter turnout ada pada ketertarikan publik pada politik, efikasi politik, identitas partai, dan kualitas personal calon.
Penting menjadi perhatian bahwa meskipun pemilih memiliki basis sosiologis bagi turnout, tapi kalau seorang warga tidak tertarik pada politik, sangat kecil kemungkinannya berpartisipasi di TPS.
Publik tertarik pada politik dan masalah-masalah yang berkaitan dengan kepentingan umum bisa disebabkan banyak faktor, dan salah satu yang utama adalah informasi politik. Untuk urusan ini sangat terkait dengan publikasi dan informasi yang disajikan oleh para kontestan pilkada.
Rencana KPU memperpanjang durasi kampanye di media, sebagai kompensasi pengurangan tatap muka dan rapat umum, sangat membantu para calan untuk mensosialisasikan idenya yang bisa membuat pemilih tertarik dan mendiskusikan berbagai informasi politik yang berkembang.
Faktor psikologi lainnya yang bisa membuat pemilih ke TPS, ada pada kualitas personal calon. Di banyak temuan survei SMRC, kualitas personal calon yang dinilai paling penting ada pada Kompetensi (pintar, mampu memimpin), Integritas, dan memiliki rasa empati (peduli dan perhatian).
Untuk hal tersebut, peran partai politik menghadirkan calon yang punya kompetensi dan modal sosial yang kuat menjadi sangat penting. Selain itu, citra positif personal para calon terbentuk dan akan tersosialisasikan melalui berbagai media sosialisasi seperti media massa, atribut sosialisasi, tatap muka, dan canvassing
Faktor ketiga yang mempengaruhi voter turnout, yakni alasan rasional, lebih khususnya evaluasi kinerja petahana dan kontestasi yang ketat. Pemilih pada dasarnya rasional: menghitung untung-rugi dari tiap tindakan yang diambil. Dalam urusan memilih, warga akan fokus pada dinamika ekonomi-politik yang dirasakan.
Evaluasi positif warga terhadap kondisi ekonomi akan memberikan reward, dan tergerak untuk memilih petahana. Sebaliknya, jika evaluasinya negatif, maka dia akan memberikan hukuman terhadap petahana dengan cara memilih calon lainnya; atau bahkan jika tidak ada yang menarik, pemilih cenderung tidak akan mengunakan hak pilihnya.
Ketatnya kontestasi juga mempengaruhi voter turnout. Persaingan yang ketat bisa melahirkan sikap setiap warga untuk bergerak dan mobilisasi keluarga dan komunitasnya secara sukarela ke TPS. Itu terlihat pada Pilkada Jakarta, Pilkada Jawa timur, dan pada saat pilpres 2019.
Tentu selain faktor perilaku pemilih, terlebih di tengah pandemi corona, hal lain yang bisa mempengaruhi voter turnout adalah kesiapan dan kesigapan penyelenggara Pilkada.
KPU dan dalam pengawasan Bawaslu, harus bisa memastikan semua pemlih terdata, mendapatkan surat undangan memilih, dan memastikan proses pemungutan suara mengikuti protokol kesehatan yang bisa memberikan rasa nyaman pemilih untuk datang ke TPS.
Artikel ini telah tayang di tribunmanado.co.id dengan judul Voter Turnout Pilkada di Tengah Pandemi Covid-19, https://manado.tribunnews.com/2020/06/19/voter-turnout-pilkada-di-tengah-pandemi-covid-19?page=3.
Editor: David_Kusuma