Disampaikan oleh Yustinus Prastowo, Staf Khusus Menteri Keuangan RI, pada rilis dan diskusi hasil survei SMRC tentang Sikap Publik terhadap RUU Cipta Kerja, 14 Juli 2020.
Yang saya hormati, pak Deni, ada mas Saidiman, ada mbak Poppy, sahabat saya. Ada bu Nining dan para audiens sekalian hadirin teman-teman jurnalis.
Pertama, saya menyampaikan apresiasi, terimakasih, untuk survei SMRC yang selalu kontekstual dan hasilnya sangat penting untuk konsiderasi publik maupun pemerintah dalam rangka mengambil kebijakan maupun asesmen terhadap kebijakan. Tentu ini sangat membantu semua pihak, para stakeholders, dalam rangka membuat diskursus dan juga keputusan yang lebih tepat terhadap berbagai kebijakan, khususnya RUU Cipta Kerja.
Terimakasih juga untuk mbak Poppy untuk paparan yang sangat detail dan sangat mendalam. Itu membantu saya, meringankan beban saya, untuk menjelaskan soal-soal statistik dan juga pembacaan pada ekonomi kontemporer.
Pertama, saya sepakat, temuan penting dari survei SMRC adalah bahwa kondisi ekonomi saat ini lebih buruk. Dan memang ini fakta. Pemerintah pun mengakui, ini situasi yang sangat tidak mudah, challenging.
Tapi apapun tidak mungkin kita tolak. Harus kita hadapi, kita keluar dari—kita selesaikan dengan baik. Itu komitmen pemerintah.
Pemerintah juga mengakui di awal-awal cukup kedodoran dalam menghadapi pandemi. Gak ada negara yang siap menghadapi ini. Bahkan negara sebesar Amerika, negara-negara Barat, pun juga punya problem dalam hal menyediakan Faskes maupun pemulihan ekonomi.
Tapi banyak pelajaran saya rasa dari pandemi ini. Dan pemerintah sekarang bekerja cukup cepat.
Menurut kami, selain beberapa problem di kesehatan yang masih challenging, tapi arah kebijakan sudah tepat. Pak presiden juga sudah mendorong untuk meningkatkan tes, lalu trace, dan juga treatment pada setiap warga masyarakat yang memang perlu dipantau.
Lalu yang kedua, juga sudah ada protokol dalam konteks new normal. Kita juga sudah mengikuti tahapan-tahapan yang diambil negara-negara maju, yaitu pertama mitigasi kesehatan dalam konteks kedaruratan, sudah bisa kita lakukan dengan relatif baik.
Lalu bagaimana asesmen pada exit strategi ekonomi dengan re-opening dan rescue ekonomi, dan lalu baru masuk ke fase recovery? Itu juga arahnya sudah tepat.
Saya rasa betul, tadi temuan SMRC, bahwa ekspektasi publik, termasuk persepsi ekonomi membaik, itu ketika ada wacana new normal. Ada semacam relaksasi PSBB.
Tapi juga menurut kami, karena serapan belanja pemerintah relatif mulai membaik. Bansos sudah mencapai 38 persen, lalu stimulus lain, termasuk untuk dunia usaha. UKM juga sudah mulai bergulir. Itu juga meningkatkan ekspektasi.
Nah barangkali penurunan pendapatan, persepsi tadi, itu juga dipengaruhi oleh kondisi seminggu terakhir ketika ada lonjakan kasus positif. Itu juga mungkin berpengaruh karena mungkin ada kekhawatiran apakah akan ada PSBB lagi, ada karantina lokal, dan sebagainya.
Itu juga mungkin menjadi bagian yang harus dipertimbangkan sebagai motivasi latar belakang keputusan dari responden.
Tapi terlepas dari itu, yang menarik adalah ternyata ada optimisme. Saya sepakat tadi mbak poppy, ada optimisme. Ada ekspektasi yang masih terpelihara dari rakyat terhadap responden ya, terhadap pemerintahan Jokowi, bahwa pandemi akan segera berakhir, dan tahun depan kita bisa recover.
Itu terlihat dari hasil survei. Tentu ini hal yang baik, sekaligus juga beban buat pemerintah. Karena ekspektasi yang tinggi—betul mba poppy tadi—harus bisa dikelola dengan baik.
Tantangan kita tentu sekarang adalah bagaimana kita menghidupi situasi paradoksal yang satu sisi harus menekan sedemikian rupa dampak covid supaya bisa segera menjadi prakondisi bagi recovery ekonomi. Ini yang tidak mudah bagi kita.
Jadi istilah pak Doni Monardo itu, jangan sampai kita ini tidak terpapar covid tapi terkapar karena ekonomi. Itu kan dua hal yang tidak kita pilih. Dan rasanya potret dari survei ini menjadi penting.
Nah bagaimana ekspektasi publik yang tinggi itu lalu menjadi konteks bagi persepsi publik terhadap RUU Cipta Kerja.
Dirasa terkonfirmasi ada korelasi positif antara kesehatan, sosial, pengangguran yang meningkat, lalu jumlah orang miskin yang bertambah, para pelaku UKM juga kehilangan pendapatan dan sebagainya. Itu berpengaruh pada eskpektasi pada kebijakan lain. Mungkin ini juga korelasi yang bisa kita capture.
RUU Cipta kKerja mendapatkan justifikasi, mendapatkan konteks, jadi reasonable sebagai sebuah alternatif kebijakan.
Meskipun begitu, saya sepakat harus terbuka ruang diskursus, ruang deliberasi publik yang luas, sehingga bisa memberikan masukan atas beberapa kekurangan yang mungkin masih tersedia dalam RUU Cipta Kerja.
RUU Cipta Kerja
Nah sekarang saya ingin memberikan asesmen terhadap diskursus RUU Cipta Kerja, yang tadi di-capture dengan baik dalam survei SMRC.
Yang pertama, menurut kami, terlepas dari pro-kontra atau polemik terhadap RUU Cipta Kerja, kita secara objektif, faktual, mengakui bahwa Indonesia saat ini itu over-regulated.
Terlalu banyak aturan. Terlalu tumpang tindih. Aturan, kewenangan, ada banyak asimetri. Pusat-daerah, antar kementerian, lembaga, antar instansi pemerintah, itu banyak tumpang tindih. Itu yang membuat pemerintahan, siapapun, itu kesulitan bergerak.
Karena kita mengalami semacam obesitas. Jadi kita butuh diet, kita butuh perampingan, butuh olahraga, supaya kita lebih ramping dan bisa bergerak gesit, gitu kira-kira.
Tapi juga jangan sampai—ini bagi yang kontra. Jangan sampai cara-cara dietnya tidak sehat. Sehingga malah menimbulkan penyakit baru, gitu kira-kira kan.
Atau ini ada orang obesitas, mau disembuhkan, tapi tidak menjaga kolesterol, itu kira-kira.
Nah, bagi yang pro, justifikasinya jelas ada tadi, bagaimana kita over-regulated, tumpang tindih kewenangan, ada asimetri, ada kelambanan di banyak hal.
Itu terkonfirmasi. Banyak survei menunjukkan, banyak indeks juga menunjukkan, seperti contoh, pak Jokowi 5 tahun berjuang memperbaiki ease of doing business, tapi mentok. Stagnan. Karena ada kesulitan untuk melakukan akselerasi.
Ada kesulitan untuk menjaga, memastikan implementasi itu betul-betul dieksekusi sampai titik paling bawah di lapangan.
Lalu legatum index, itu prasyarat sebagai, apa, kondisi kita itu memberi kepastian hukum. Itu juga mengalami kemunduran. Termasuk global competitive mass index, yang sempat naik sampai 2017, turun ternyata. Itu juga terkonfirmasi dari indeks logistik kita. Sempat membaik, lalu turun.
Nah dalam konteks ini, kalau dalam persamaan ekonomi, ini saya minjam mbak poppy, PDB itu akan agregasi dari rekonsumsi rumah tangga, government spending, investasi, lalu ekspor dikurangi impor.
Saat ini kita mengandalkan government spending, betul, tapi kan ada batasnya.
Ketika konsumsi rumah tangga praktis turun karena pandemi, pemerintah sekarang jadi andalan satu-satunya, karena market yang lumpuh, nah kita betul-betul mengandalkan investasi saat ini.
Itu kondisi objektif, faktual, terlepas dari pro-kontra apakah investasi itu akan buruk atau tidak, gitu ya, secara etis gitu. Tapi secara ekonomi kita butuh itu. Itu yang bisa men-drive ekonomi kita.
Lalu kita lihat kepada konstruksi ruu cipta kerja sendiri. Kalau kita lihat, banyak terobosan ditawarkan. Yang jelas, kepastian hukum diperkuat. Perizinan sekarang dipermudah. Risk-based assesment sekarang itu. Yang tidak perlu izin, gak perlu izin.
Ini sangat membantu para pelaku UKM. Dalam RUU Cipta Kerja, tidak semua hal perlu izin. Cukup sektor yang berisiko. Mereka cukup memberitahukan saya berusaha, saya berbisnis, meregistrasikan, itu cukup. Jadi, reign seeker akan betul-betul dipangkas di sini. Ini kan yang juga dibutuhkan. Jadi ada simplifikasi aturan, ada simplifikasi prosedur yang menjadi prakondisi yang bagus.
Lalu kemudahan berusaha. Ada sentralisasi perizinan. Ada pemangkasan prasyarat, dan sebagainya.
Termasuk, yang menarik adalah bagaimana pelaku UKM itu di-mainstreaming di RUU Cipta Kerja ini. Ada mandat untuk melakukan kemitraan. Jadi UKM juga boleh membuat PT perseorangan supaya dia juga bisa mengakses pada modal. Ada kewajiban pemerintah menyediakan prasyarat prakondisi supaya UKM bisa berkompetisi. Dan aturan lain-lain, tentang KEK dan sebagainya.
Ketenagakerjaan
Yang sensitif tentu tentang ketenagakerjaan. Ini juga sebenarnya kalau dibaca lebih jernih, menurut hemat kami, juga tidak perlu kita ada pada situasi yang terlalu dikotomi, seolah-olah tidak ada jalan keluar.
Karena di RUU ini, terlepas dari kelemahannya, meskipun misalnya betul ada outsourcing, gitu ya, tapi itu bisa didiskusikan saya rasa, sejauh mana batas-batas hak dan tanggung jawab itu diatur.
Lalu meskipun pesangon diperkecil persentasenya, tetapi ada uang penghargaan, misalnya. Ada unemployment benefit, yang lebih menjamin sustainability.
Kerentanan pekerja itu juga bisa sedikit banyak dijaga dengan kebijakan ini. Itu kan bisa didiskusikan. Saya tidak mengatakan harus pro atau kontra, tapi diskursus mestinya sehat.
Lalu ide yang sangat bagus, misalnya dalam RUU ini tentang sovereign well fund. Sovereign well fund ini sudah menjadi model di banyak negara untuk mengakumulasi modal supaya pemerintah tidak terlalu berat juga sebagai salah satu aktor.
Tidak terus-terusan kita PMN, PMN, dan membuat BUMN tidak profesional, tidak akuntabel. Tapi melalui model ini, public private cooperation itu bisa berjalan dengan lebih fair, misalnya.
Kita bisa mendapatkan banyak investasi tapi sekaligus menjamin sustainability. Negara seperti Uni Emirat Arab, Amerika, World Bank, Uni Eropa, sudah menunggu sebenarnya untuk masuk pada skema ini. Ini kan opportunity sebenarnya. Bisa win-win, kalau kita bisa menciptakan government yang baik.
Nah, itu saya rasa beberapa hal yang penting di-highlight dalam konteks RUU Ciptaker.
Jadi, kementerian keuangan, dalam hal ini, tentu sebagai bagian dari kementerian perekonomian, ingin menyediakan suatu transparansi, keterbukaan, akuntabilitas. Maka pembahasan di DPR pun juga dilakukan dengan terbuka. Ahli yang dihadirkan pun juga tidak hanya yang pro, tapi juga yang kontra. Secara balance itu coba dihadirkan. Saya rasa sebagai cara untuk bagaimana ide-ide terobosan itu penting untuk dikelola.
Dan yang terakhir, ada 2 hal yang mau saya sampaikan sebagai kesimpulan atau sebagai masukan.
Yang pertama, diskursus deliberasi tetap harus dilakukan, dalam konteks RUU Ciptaker. Termasuk isu ketenagakerjaan, pada saatnya nanti juga akan dibahas dengan deliberatif.
Karena ini bagaimanapun, apapun, soal ketenagakerjaan itu menjadi concern dari para pelaku usaha—para investor. Itu fakta. Bagaimana lalu itu tidak mengorbankan hak tenaga kerja, hak buruh, itu adalah tugas negara dan tugas DPR. Kita harap ada upaya untuk bernegosiasi ke tengah sehingga kita bisa mendapatkan formulasi yang lebih baik.
Itu untuk isu-isu pending yang perlu dikelola menurut kami.
Dan yang kedua, Omnibus Law, menurut kami, adalah strategi yang paling mungkin untuk saat ini. Bukan yang ideal. Mungkin dia bukan the best policy, bahkan mungkin bukan the second best, tetapi itu yang paling mungkin diambil pada saat ini, menjawab kebutuhan-kebutuhan objektif.
Bahwa ada kekurangan, pasti. Tetapi apakah ini serba buruk? Pasti juga tidak.
Jadi saya yakin banyak hal baik. Maka pemerintah punya keyakinan dan DPR membahas itu. Jadi mari kita coba baca lagi dengan tenang, dengan jernih, apalagi tadi survei menunjukkan awareness masih rendah.
Artinya ini masih menjadi diskursus di level elit, di kelompok elit saja, orang kantoran, kalau tadi pak Deni mengatakan.
Ini tantangan pemerintah, DPR, adalah melakukan literasi, edukasi, dan juga proliferasi ide-ide penting supaya bisa didiskusikan di publik.
Lalu juga harus dilakukan supaya lebih banyak masukan. Itu rasanya yang menjadi concern.
Jadi intinya adalah, ini cara yang paling mungkin, terobosan paling mungkin. Tidak ideal memang. Tetapi kita juga tidak akan kemana-mana kalau tidak berani mengambil keputusan pada saat ini.
Apalagi dengan kondisi tahun ini sangat challenging. Dan kemewahan kita untuk ekspansi fiskal hanya sampai 2022. Tahun ini, dengan kondisi penerimaan pajak turun, ekonomi kita melambat. Mau tidak mau kita harus utang dan defisit sampai 1039 triliun.
Ini pilihan yang pahit.
Kalau tidak ada terobosan, bukan pemerintahan Jokowi saya kira yang dirugikan, tapi siapapun yang akan berkuasa di 2024, akan mewarisi satu situasi kondisi yang tidak ideal. Tidak favorable untuk Indonesia jumpstart, gitu.
Artinya yang dirugikan secara keseluruhan adalah bangsa Indonesia. Karena mimpi 2045 itu kemungkinan juga akan direvisi. Karena interupsi-interupsi tidak bisa kita kelola dengan baik.
Sekali lagi terimakasih untuk SMRC atas survei yang sangat bagus ini. Artinya ini menjadi konteks yang baik bagi pengambil keputusan maupun publik.
Mudah-mudahan nanti akan dilanjutkan dengan survei berikutnya, lebih masuk ke dalam isu-isu spesifik yang menjadi kontroversi, sehingga kita semua dibantu betul mendudukkan diskursus polemik dalam konteks dan cuaca yang lebih tenang, lebih ilmiah, akademik, dan demi untuk kepentingan rakyat.