Sebelumnya dimuat di Harian Kompas, 22 Agustus 2015
Selain reformasi birokrasi, reformasi partai politik adalah agenda reformasi yang masih tertinggal jauh. Karena posisinya yang sentral dalam sistem  politik, kelambanan dan ketertinggalan reformasi partai politik menimbulkan banyak persoalan dalam subsistem politik yang lain.
Persoalan dalam kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi, misalnya, banyak terkait dengan reformasi sistem kepartaian. Desentralisasi menghendaki pemberdayaan dan inisiatif dari daerah, tetapi berbenturan dengan kenyataan bahwa partai politik masih sangat sentralistis, dikuasai hanya sekelompok elite di Jakarta saja. Munculnya pemimpin daerah, yang nominasinya harus berasal dari partai politik, hanya dimungkinkan jika dia mendapat “restu” dari pusat. Dalam pemilu legislatif, hal yang sama terjadi. Hanya orang yang memiliki kedekatan dengan elite pemimpin partai di pusat yang mendapat kesempatan dicalonkan partai.
Salah satu sumber masalah dalam partai politik adalah ketergantungan partai yang sangat tinggi kepada figur tertentu atau sekelompok kecil orang partai di pusat. Partai bekerja seperti sebuah sistem oligarki, yang tentu saja bertentangan dengan prinsip dasar sistem demokrasi. Penyebab sebuah partai dikuasai figur atau kelompok tertentu adalah pembiayaan partai biasanya ditanggung figur atau kelompok tersebut. Bukan hanya tampuk kepemimpinan partai yang dikuasai, juga hampir semua proses politik, termasuk rekrutmen politik yang menjadi salah tugas partai politik.
Karena sumber keuangan partai berasal dari figur atau elite saja, dampak lain adalah dijadikannya partai sebagai instrumen untuk mengakses sumber daya negara secara ilegal. Kader-kader partai yang sedang memegang tampuk kekuasaan di pusat dan daerah sering kali mendapat “tugas” mengisi pundi-pundi keuangan partai. Jika mereka tak bersedia melakukannya, hukuman dari penguasa partai sudah menunggu.
Reformasi partai lewat publik
Akibat lebih jauh dari keadaan partai seperti ini adalah partai menjadi tidak peduli terhadap publik. Logika atau motif dalam langkah-langkah politik partai mengutamakan kepentingan penguasa dan elite partai. Konsekuensinya, reformasi partai, yang jadi kebutuhan publik, juga sulit terlaksana karena publik tidak punya instrumen penekan agar elite partai menjalankan tekanan-tekanan publik.
Reformasi partai menjadi bergantung pada niat baik dan kemauan elite partai saja. Dengan demikian, sulit berharap adanya reformasi partai dengan cara seperti ini. Jalan tercepat tinggal melalui cara melibatkan publik. Untuk itu, partai harus dijadikan milik publik agar publik berkekuatan atau berdaya tekan sehingga partai memiliki insentif melaksanakan reformasi partai.
Secara teoretis, asal muasal partai adalah milik publik. Ini logis mengingat keberadaan partai pada dasarnya karena ada kebutuhan mewadahi aspirasi kelompok dalam masyarakat yang berbeda satu sama lain karena ideologi, orientasi kebijakan, demografi, atau alasan lain. Kelompok masyarakat inilah yang menjadi penyokong dan anggota partai. Kelompok masyarakatlah yang kemudian membiayai berbagai kegiatan partai. Para pengurus dan pemimpin partai adalah wakil atau agen dari anggota dalam mengusahakan agar kebijakan negara sesuai dengan ideologi dan atau orientasi kebijakan partai. Dengan mekanisme begitu, partai akan bekerja atas dasar kepentingan anggota dan publik yang diwakilinya.
Partai yang secara tradisional milik publik ini dapat dikatakan sudah hampir punah. Alasannya minimal dua. Pertama, jumlah anggota masyarakat yang mau menjadi anggota tetap partai politik makin merosot. Fenomena ini bersifat umum, bukan hanya di Indonesia. Sebagai contoh, di Inggris, jumlah anggota partai politik pada 1980 adalah 1,7 juta orang, sedangkan pada 2008 turun drastis menjadi 530.000 orang saja. Jumlah orang yang merasa memiliki kedekatan dan cenderung memilih partai tertentu juga sedikit dan mereka pun belum tentu mau jadi anggota partai. Di Indonesia, tingkat hal itu hanya di kisaran 15-20 persen. Ini berarti partai tak dapat mengandalkan anggota untuk sumber keuangannya. Maka, partai makin berorientasi elite dan lebih fokus pada proses pemilihan umum.
Kedua, perkembangan pola kampanye modern sudah bergeser dari semata-mata mengandalkan jaringan masyarakat di tingkat akar rumput ke kampanye berbasis media. Kampanye model ini sangat mahal, apalagi media yang lebih banyak jadi sumber informasi masyarakat adalah televisi yang berbiaya operasional amat tinggi. Kampanye modern juga memerlukan para konsultan profesional berbagai sektor, seperti politik, psikologi, dan komunikasi. Ini mengakibatkan kebutuhan pendanaan yang sangat besar bagi partai politik. Kebutuhan ini tak dapat disandarkan pada pembiayaan dari anggota saja.
Dengan demikian, kita tak dapat lagi mengandalkan sumbangan anggota sebagai sumber utama keuangan partai. Maka, harus dipakai cara kedua menjadikan partai milik publik. Cara kedua itu adalah menjadikan subsidi negara sebagai salah satu sumber utama keuangan partai. Sebetulnya sudah ada subsidi negara kepada partai saat ini, tetapi jumlahnya sangat minim sehingga tak dapat digunakan publik sebagai alat menekan partai melakukan reformasi. Menurut sejumlah perhitungan, subsidi negara hanya mampu membiayai kurang dari 1 persen pengeluaran partai di Indonesia.
Karena negara yang memberikan subsidi, berarti partai menggunakan dana publik. Partai harus mempertanggungjawabkan kepada publik bagaimana dana itu digunakan. Inilah jalan “memaksa” partai politik transparan atas aktivitas kepartaian secara berkala. Itu juga jalan agar partai tak dikuasai satu atau sekelompok kecil orang berduit.
Demokrasi internal
Partai yang melakukan transparansi secara alamiah juga akan melakukan demokratisasi internal. Spirit transparansi adalah demokrasi karena ia bermakna pengguna dana publik tunduk kepada kepentingan publik. Demokrasi internal partai akan menciptakan sirkulasi kepemimpinan partai secara sehat. Sirkulasi kepemimpinan partai mensyaratkan tersedianya kader terus-menerus. Konsekuensinya, partai harus terus-menerus memperluas jaringan pendukungnya agar orang-orang yang berbakat jadi pemimpin dapat terjaring. Partai perlahan-lahan akan melakukan praktik terbaik pengelolaan partai: demokrasi internal, transparansi, dan berorientasi konstituen.
Negara membiayai partai bukanlah fenomena unik. Hampir semua negara demokrasi saat ini melakukannya, dengan besaran berbeda-beda. Saat ini sekitar 75 persen negara demokrasi memberi subsidi berkala kepada partai politik. Biasanya 25-30 persen dari pengeluaran partai politik. Besaran yang diterima setiap partai biasanya didasarkan pada seberapa banyak suara yang diperoleh partai dalam pemilu.
Akan tetapi, sebelum subsidi negara diberikan kepada partai politik, diperlukan sejumlah langkah dan kebijakan untuk memastikan tujuan kebijakan ini tercapai. Sistem pengelolaan dan pemeriksaan keuangan harus benar-benar terjamin mutunya. Yang sangat krusial adalah pertanggungjawaban dan sanksi atas berbagai pelanggaran yang mungkin terjadi harus disiapkan terlebih dulu. Juga harus dipas- tikan agar kebijakan seperti ini benar-benar akan menghapus praktik ilegal pembiayaan partai. Orang-orang berduit atau para oligarch harus dipastikan tak lagi dapat menguasai partai. Jika demikian, kebijakan menjadikan partai milik publik ini akan dapat mencapai tujuannya.