Revisi UU KPK Melawan Kehendak Rakyat

713
Sumber Foto: IDN Times

Komisi Pemberantasan Korupsi menyita aset Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan dengan total nilai 500 Milyar rupiah. Aset yang disita itu antara lain berupa uang tunai Rp 65 Milyar, 68 unit kendaraan, dan 175 unit rumah/apartemen/tanah. Aset-aset itu tersebar di Jakarta, Bekasi, Tangerang, Lebak, Pandeglang, Serang, Bandung, Bali, sampai Perth dan Melbourne. Menurut KPK, aset-aset yang disita itu diduga merupakan hasil korupsi Wawan dari sejumlah proyek di Provinsi Banten dengan total nilai kontrak 6 Trilyun rupiah (Kumparan.com, 8 Oktober 2019).

Ini adalah satu contoh sukses kerja KPK. Masyarakat Banten sudah lama prihatin dengan bisnis politik orang ini dan lingkungan terdekatnya. Sudah puluhan tahun. Polisi dan jaksa, selama ini, tidak berdaya menghadapinya. Tapi berkat KPK, kejahatan ini dapat dibongkar. Hey penguasa, kau mau bunuh KPK?

TPPU Wawan ini butuh waktu cukup lama untuk membuktikan dan membongkar kasusnya. Setidaknya mereka bekerja dalam lima tahun. Kalau dibatasi hanya 1 tahun seperti yang diinginkan DPR, atau 2 tahun seperti dalam UU KPK hasil revisi itu, kejahatan ini tidak mungkin terbongkar oleh KPK. Kasus-kasus besar korupsi yang menggurita akan sulit dibongkar. Koruptor besar akan lolos dari jerat hukum. Masa bekerja hanya dalam 2 tahun? Itu jelas ingin memperlemah KPK.

Selain kasus Wawan, juga ada kasus ketua DPR Setia Novanto, ketua Mahkamah Konstitusi, sejumlah ketua partai lain dan banyak lagi dibongkar KPK. Tanpa KPK dg sistem yang selama ini, tak terbayang pejabat-pejabat itu terbongkar korupsinya.

Anggota DPR, DPRD, Presiden, dan Kepala Daerah dipilih oleh rakyat dan digaji oleh rakyat. Karena itu, setiap keputusan publik yang mereka buat harus sepengetahuan dan persetujuan rakyat. Itu asas akuntabilitas pejabat publik, kalau mau urus negara denganbenar. UU KPK hasil revisi tidak menuhi asas itu. Rakyat umumnya tidak setuju revisi UU KPK dan mereka tahu itu adalah upaya pelemahan KPK. Survei terbaru Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan bahwa tiga perempat publik yang mengikuti isu revisi UU KPK menginginkan presiden menerbitkan Perppu untuk membatalkan UU KPK yang baru, yang dinilai akan memperlemah Pemberantasan korupsi di tanah air.

Saiful Mujani, Ph.D.


(Ohio State University, Amerika Serikat)

Bidang Keahlian: Perilaku memilih, Perbandingan Politik, Kebijakan Publik


Saiful Mujani adalah pendiri SMRC dan perintis tradisi studi kuantitatif perilaku memilih (voting behavior) dalam kajian politik di Indonesia. Reputasinya telah diakui secara internasion-al.

Ia adalah ilmuwan politik pertama di luar Amerika Serikat yang dianugerahi penghar-gaan prestisius Franklin L. Burdette/Pi Sigma Alpha Award dari American Political Science As-sociation (APSA). Penghargaan yang sama diberikan kepada ilmuwan politik ternama seperti Samuel P. Huntington, Mancur Olson dan Sidney Tarrow.

Saiful meraih gelar MA (1998) dan Ph.D. (2003) dalam di bidang ilmu politik dari Ohio State University, Ohio, Amerika Serikat. Konsistensinya dalam meneliti perkembangan politik dan proses   demokratisasi di Indonesia sejak 1999, membuat hasil riset dan analisanya menjadi rujukan akademisi, politisi, pengambil kebijakan dan media massa. Ia telah melakukan lebih dari seribu penelitian dengan memegang teguh prinsip-prinsip akademik, dan bersandar pada kode etik survei opini publik.

Saiful juga aktif menulis di banyak jurnal internasional, seperti American Journal of Political Science, Journal of Democracy, dan Comparative Political Studies. Salah satu artikelnya yang terbit di American Journal of Political Science (2012) terpilih menjadi artikel terbaik di dalam konferensi tahunan APSA tahun 2009.

Disertasi doktoralnya kini telah diterbitkan di Indonesia dengan judul “Muslim Demo-krat”(Gramedia, 2007). Sebelumnya, disertasi ini meraih penghargaan sebagai disertasi terbaik Ohio State University karena dinilai memberi kontribusi sangat penting terhadap kajian perilaku memilih. Buku terakhirnya, “Kuasa Rakyat”(Mizan, 2013), menelisik pengaruh survei opini pub-lik bagi pelembagaan demokrasi di Indonesia pasca reformasi.

Tinggalkan Komentar