Intoleransi publik Indonesia pada warga Yahudi terkait dengan sikap negara yang diskriminatif pada agama ini. Demikian pernyataan ilmuan politik, Prof. Saiful Mujani, pada program Bedah Politik yang disiarkan kanal Youtube SMRC TV, 7 Juli 2022.
Hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (Mei 2022) menunjukkan mayoritas masyarakat Indonesia, 51 persen, keberatan bertetangga dengan orang Yahudi. 57 persen keberatan orang Yahudi menjadi guru di sekolah negeri. Dan yang keberatan mereka menjadi pejabat pemerintah sebesar 61 persen.
“Mayoritas masyarakat kita tidak toleran pada agama Yahudi,” ungkap pendiri SMRC itu.
Menurut Saiful, penolakan ini sebagian terkait dengan sikap diskriminatif negara pada agama Yahudi yang tidak diakui. Walaupun agama ada di wilayah yang sangat privat, tapi di Indonesia, ada undang-undang yang menyatakan mana agama yang diakui secara resmi. Dan Yahudi, kebetulan, adalah agama yang tidak diakui secara resmi. Padahal berapa pun jumlah orang Yahudi di Indonesia, tidak ada yang membantah bahwa Yahudi adalah sebuah agama.
Bahkan yang menarik, lanjut Saiful, Konfusianisme diakui sebagai agama di Indonesia padahal pada hakekatnya Konfusianisme lebih merupakan filsafat dari pada agama. Ini terjadi, menurutnya, karena di Indonesia, penghargaan pada agama sangat tinggi. Sehingga dianggap bahwa para pengikut Konfusianisme akan lebih terhormat posisinya apabila statusnya dinaikkan menjadi agama. Maka di zaman Presiden Gus Dur, Konfusianisme kemudian diakui sebagai agama.
Pengakuan pada suatu agama, menurut Saiful, juga adalah bentuk proteksi negara.
“Kalau memang itu bisa menjadikan masyarakat bisa lebih menerima keragaman, yang lainnya juga diproteksi saja. Terima saja, kan positif. Itu kalau dasarnya kita mau melindungi pluralisme,” tegas Saiful.
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta ini mengingatkan istilah Judeo-Kristiani yang menunjukkan kedekatan hubungan antara Yahudi dan Kristianitas. Namun demikian, dengan pengukuran yang sama, tingkat toleransi pada kelompok Kristen jauh berbeda dengan Yahudi.
Warga yang keberatan bertetangga dengan orang Kristen hanya 13 persen, yang keberatan mereka menjadi guru di sekolah negeri sebesar 19 persen, dan yang keberatan penganut Kristen atau Katolik menjadi pejabat pemerintah sebesar 26 persen.
Walaupun masih cukup tinggi, kata Saiful, tapi angka intoleransi terhadap penganut Kristen/Katolik masih jauh lebih rendah dari intoleransi pada kelompok Yahudi.
Mengapa terjadi perbedaan padahal latar belakang kedua agama ini sangat dekat? Saiful menilai bahwa salah satu faktor pembedanya adalah perilaku negara. Negara diskriminatif pada orang Yahudi, maka diikutilah oleh warga negara.
Lebih jauh Saiful menjelaskan bahwa pada masyarakat Indonesia, Israeal dan Yahudi itu hubungannya sangat erat, bahkan dianggap sama. Dua hal ini tidak bisa dipisahkan dalam pandangan masyarakat Indonesia. Dan Indonesia sampai hari ini tidak mengakui Israel sebagai negara merdeka. Sentimen politik ini juga menjadi unsur yang penting dalam pembentukan opini masyarakat tentang agama Yahudi, kenapa dia beda dengan Kristen.
“Mestinya Israel dan Yahudi bisa dibedakan, tapi bagi masyarakat Indonesia tidak mudah membedakan keduanya. Walaupun ada banyak sekali orang Yahudi yang menentang Israel,” terangnya.
Indonesia tidak mengakui agama Yahudi secara resmi, di satu sisi, dan di sisi lain juga tidak mengakui negara Israel. Kontribusi negara penting untuk membentuk keyakinan dan sikap toleran atau tidak toleran terhadap agama Yahudi.
“Tingkat intoleransi yang rendah pada agama Kristen dan Katolik terkait dengan faktor negara yang menerima mereka sebagai agama resmi di Indonesia,” lanjutnya.
Saiful menjelaskan bahwa dilihat dari sisi gender, penerimaan pada orang Yahudi tidak berbeda antara laki-laki dan perempuan. Dari sisi desa dan kota juga tidak berbeda. Sementara dari segi umur, kalangan anak muda lebih intoleran pada Yahudi.
“Ini agak mencemaskan,” kata Saiful.
Sementara pada aspek agama, ada 56 persen orang Islam yang keberatan bertetangga dengan orang Yahudi, sedangkan yang bukan Islam hanya 14 persen yang menyatakan keberatan. Orang Islam yang keberatan jika seorang Yahudi menjadi guru di sekolah negeri sebesar 61 persen dan menjadi pejabat pemerintah sebanyak 66 persen. Sedangkan kalangan non-Islam yang keberatan orang Yahudi menjadi guru di sekolah negeri sebesar 27 persen dan pejabat publik 29 persen.
“Unsur agama sangat penting yang membuat masyarakat kurang toleran pada orang Yahudi,” tegas Saiful.
Saiful menyatakan bahwa harapannya semakin tinggi pendidikan, semakin toleran. Tapi fakta di Indonesia, pendidikan ternyata tidak menyumbang toleransi. Ada 53 persen warga lulusan SD yang keberatan bertetangga dengan orang Yahudi, tidak jauh berbeda dengan lulusan perguruan tinggi sebesar 48 persen. Yang berlatar belakang perguruan tinggi 57 persen keberatan orang Yahudi menjadi guru di sekolah negeri, yang berpendidikan SD 58 persen. Yang keberatan orang Yahudi menjadi pejabat publik, lulusan SD 60 persen, perguruan tinggi 66 persen.
Data ini menunjukkan tidak ada beda antara yang berpendidikan rendah dan tinggi dalam hal penerimaan pada warga Yahudi.
“Pendidikan tidak punya pengaruh pada toleransi,” simpul Saiful.
Dilihat dari akses pada media. Mereka yang sering menggunakan atau memiliki akses lebih baik pada internet memiliki kecenderungan lebih intoleran dari yang jarang atau tidak pernah mengakses internet. Ada 57 persen orang yang sering mengakses internet keberatan bertetangga dengan orang Yahudi, sementara yang tidak pernah mengakses internet 50 persen. Yang keberatan Yahudi menjadi guru di sekolah negeri dari yang sering mengakses internet sebanyak 63 persen, yang tidak pernah sebanyak 54 persen. Yang keberatan orang Yahudi menjadi pejabat pemerintah dari kelompok yang sering mengakses internet sebanyak 66 persen, sementara yang tidak pernah 59 persen.
Saiful menjelaskan bahwa kalau kita punya ekspektasi bahwa media sosial itu sebagai sarana untuk orang lebih terbuka terhadap keragaman, ternyata tidak. Ternyata itu ada space untuk mengekspresikan identitas yang berbeda dan hate.
Sejauh ini, kata Saiful, internet tidak membantu untuk menciptakan saling pengertian. Kita terekspose pada keragaman itu, tapi tidak sanggup menjadikan keragaman itu sebagai sesuatu yang bisa ditoleransi.
“Internet kurang memberikan pendidikan toleransi, justru menjadi ruang pembentukan kebencian,” kata Saiful.
Sementara profil warga yang intoleran terhadap Kristen dan Katolik, warga yang tinggal di perdesaan lebih kurang toleran pada orang Kristen dan Katolik dibanding yang tinggal di perkotaan. Ada 20 persen warga yang tinggal di perdesaan keberatan bertetangga dengan orang Kristen atau Katolik, sementara yang tinggal di perkotaan hanya 8 persen. Keberatan pada orang Kristen/Katolik menjadi guru sekolah negeri: perdesaan 25 persen, perkotaan 13 persen. Keberatan orang Kristen/Katolik menjadi pejabat pemerintah: perdesaan 32 persen, perkotaan 19 persen.
Saiful menyimpulkan bahwa warga perdesaan lebih punya prasangka negatif. Di kota mungkin orang sudah biasa hidup dengan tetangga yang beragama berbeda.
Sementara dari sisi agama, antara yang beragama Islam dan selain Islam memiliki sikap yang berbeda. Ada 16 warga Muslim yang keberatan bertetangga dengan orang Kristen atau Katolik, sementara yang beragama Budha, Hindu dan Konghucu hanya 7 persen. Orang Islam yang keberatan warga Kristen dan Katolik menjadi guru di sekolah negeri sebanyak 21 persen, sementara kalangan Budha, Hindu dan Konghocu 0 persen yang keberatan. Ada 29 persen warga muslim keberatan jika orang Kristen dan Katolik menjadi pejabat pemerintah, sementara keberatan dari kalangan Budha, Hindu dan Konghucu hanya 3 persen.
“Ada faktor perbedaan agama yang mempengaruhi toleransi terhadap orang Kristen atau Katolik,” kata Saiful.
Dilihat dari segi etnik, ada 42 persen orang Minang yang tidak terima bertetangga dengan orang Kristen dan Katolik. Untuk orang Kristen atau Katolik menjadi guru di sekolah negeri, ada 34 persen warga minang yang keberatan. Sementara keberatan untuk menjadi pejabat pemerintah juga 34 persen.
Dari sisi pendidikan, warga yang memiliki pendidikan lebih rendah cenderung lebih intoleran pada orang Kristen dan Katolik. Ada 20 persen warga yang berpendidikan SD keberatan bertetangga dengan orang Kristen atau Katolik, sementara yang berpendidikan tinggi 9 persen. Yang keberatan orang Kristen atau Katolik menjadi guru di sekolah negeri dari kalangan pendidikan SD sebesar 25 persen, sementara yang berpendidikan tinggi 12 persen. Dan yang keberatan warga Kristen atau Katolik menjadi pejabat publik dari kelompok pendidikan SD sebanyak 30 persen, sementara yang dari perguruan tinggi sebesar 20 persen.
Untuk kasus Kristen dan Katolik, pendidikan memiliki efek pada sikap toleransi. Menurut Saiful, ini terkait dengan sikap negara yang memang menerima Kristen dan Katolik sebagai agama resmi yang artinya mendapatkan perlindungan.
Ada dua yang berpengaruh pada sikap intoleransi warga, menurut Saiful. Pertama adalah paham keagamaan. Kedua adalah sikap resmi negara yang diskriminatif terhadap agama Yahudi. Agama kurang inkusif dalam memperlakukan keberagaman pada paham-paham keagamaan dan agama-agama yang benar-benar ada di dunia. Adalah tantangan bagi kita untuk menciptakan masyarakat yang lebih toleran dan menghargai pluralisme.
Yang bisa dilakukan, kata Saiful, adalah mengubah kebijakan negara tentang Yahudi. Akui mereka sebagai agama resmi seperti agama-agama yang lain. Ini, menurut dia, bisa menumbuhkan sikap yang lebih positif dari masyarakat.
Survei ini dilakukan pada 10-17 Mei 2022. Populasi survei ini adalah seluruh warga negara Indonesia yang yang punya hak pilih dalam pemilihan umum, yakni mereka yang sudah Berusia 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah ketika survei dilakukan. Dari populasi itu dipilih secara random (stratified multistage random sampling) 1220 responden. Response rate (responden yang dapat diwawancarai secara valid) sebesar 1060 atau 87%. Sebanyak 1060 responden ini yang dianalisis. Margin of error survei dengan ukuran sampel tersebut diperkirakan sebesar ± 3,07% pada tingkat kepercayaan 95% (asumsi simple random sampling).