Presentasi Shinta Kamdani Wijaya pada diskusi hasil survei SMRC tentang RUU Cipta Kerja dan Ekonomi Pandemi, 30 Juni 2020. Shinta Kamdani adalah Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional KADIN.
Pelaku usaha nasional secara umum memiliki pandangan yang sama dengan temuan survei SMRC. In-line dengan apa yang terjadi, dan masukan yang sudah kita sampaikan.
Kondisi ekonomi di masa covid 19 ini lebih parah dan lebih menekan dari 1998. Unprecedented. Pelaku usaha sudah mulai merasakan dari pertengahan Maret 2020. Semakin dalam di April, kemudian Mei. Sehingga kami yakin, kwartal kedua akan negatif.
Kita lihat di penjualan retail, selama April-Mei, negatifnya bisa sampai minus 22,9 persen. Dalam 10 tahun tidak pernah terjadi seperti ini.
Indonesia akan mengalami negative growth di kwartal kedua 2020. Kita akan lihat kwartal ketiga seperti apa. Kalau negatif lagi, ya kita jelas masuk ke krisis ekonomi.
Kami juga melihat recovery ekonomi kita akan berlangsung relatif lambat, bila iklim investasi dan stimulus ekonomi dalam keadaan status quo. Lambatnya realisasi program pemerintah, akan menghambat recovery.
Temuan sentimen positif pasar paska new normal, tentu saja encouraging. Namun kita melihat tingkat kepercayaan pasar domestik, sangat lambat. Malah masih terlihat tidak stabil, ragu-ragu, dan berbanding tipis dengan sentimen pesimis.
Artinya, sentimen positif yang terekam hingga Minggu ketiga Juni 2020, seperti terekam dalam survei SMRC, belum memberikan kontribusi pada kegiatan ekonomi di sektor riil.
Pola Konsumsi Minimalis
Yang menarik juga, persepsi ekonomi rumah tangga masih didominasi oleh penurunan pendapatan. Jadi mengindikasikan bahwa, hingga minggu ketiga bulan Juni 2020, masyarakat masih akan mempertahankan pola konsumsi minimalis. Jadi tingkat konsumsi masyarakat masih esensial, jangka pendek.
Mengingat populasi yang masih bekerja didominasi mereka yang berpendapat harian, temuan persepsi masyarakat mengindisikan sampai saat ini stimulus pemerintah di sisi konsumsi belum terealisasi. Belum bisa mendorong kegiatan ekonomi yang lebih tinggi.
Temuan terkait persepsi ekonomi setahun ke depan yang juga masih pesimis, mengindikasikan perilaku pasar yang menahan konsumsi masih akan berlangsung lebih lama. Sehingga sampai akhir tahun tidak akan muncul dorongan konsumsi yang lebih kuat untuk menopang pertumbuhan ekonomi nasional sehingga kita bisa keluar dari zona negatif ini. Ini sangat mengkhawatirkan dari segi berapa lamanya krisis ini.
Terkait proporsi sektor UKM yang mengaku sulit atau sangat memperoleh modal usaha, ini menunjukkan bahwa program stimulus kredit dan relaksasi pinjaman untuk usaha belum memberi pengaruh positif untuk mendukung resilience (daya tahan) sektor UMKM.
Terkait kondisi kerja, saya lihat sebagai hal yang wajar. Bahwa working from home (WFH) tidak bisa diharapkan memiliki porsi yang tinggi. Kita lihat begitu ada relaksasi, begitu ada transisi PSBB, orang langsung bekerja keluar rumah. Ini juga terjadi karena secara nasional, industri kita masih didominasi oleh sektor agriculture: pertanian, perikanan, perkebunan. Kemudian, oleh industri manufaktur atau pabrik yang tidak memungkinkan mereka bekerja dari rumah.
Terkait adaptasi teknologi, harus diakui saat ini masih belum banyak yang memiliki teknologi yang mendukung remote working dengan skala besar. Ini yang menjadi masalah.
Pengalaman saya sendiri, tidak mudah untuk melakukan kerja remote atau virtual untuk semua pegawai secara sehari-hari. Jadi yang kita lakukan, menggilir jadwal masuk.
RUU Cipta Kerja
Kami semua setuju RUU Cipta Kerja harus disosialisasikan. Menarik juga kalau dilakukan survei di kalangan pelaku usaha di tingkat Asean. Untuk memberi gambaran secara utuh.
Tapi memang, saat ini Indonesia termasuk negeri yang perizinannya paling sulit.
Yang juga menarik, dalam survei SMRC terekam perbandingan antara persepsi masyarakat terhadap perizinan usaha secara umum dengan perizinan UMKM.
Kalau perizinan usaha secara umum, mereka mengatakan mudah. Namun, terkait izin usaha UKM lebih banyak yang menyatakan sulit dan sangat sulit. Ini menunjukkan bahwa masyarakat menilai proses perizinan UMKM lebih sulit dibanding perijinan usaha biasa.
Ini menjadi alasan, kenapa kita harus mendorong RUU Cipta Kerja. Karena UMKM adalah backbone perekonomian nasional.
Covid 19 ini menimbulkan 4 macam gangguan. Pertama, gangguan kesehatan dan ancaman jiwa; Kedua gangguan aktifitas sosial ekonomi; Ketiga, peningkatan resiko di sektor keuangan; Keempat, gangguan pada pekerjaan.
Ini paling penting. Dampak pada pengangguran, seperti disampaikan Pak Raden. Saya perlu sampaikan dulu gambaran pengaruh Covid19 pada pengangguran.
Kondisi ketenagakerjaan di Indonesia saat ini, sebelum covid: Tingkat partisipasi angkatan kerja, 133 juta; Penduduk yang bekerja 126 juta; Tingkat pengangguran terbuka, sekitar 7 juta.
Sebenarnya tingkat pengangguran relatif kecil, sekitar 5 persen. Ini sebelum covid. Pekerja lulusan SMP kebawah, ada 57 persen. Pekerja informal, ada 55 persen.
Ini masalah utama kita: pekerja di sektor informal sangat besar. Ada 55 persen. Ada 23 juta pekerjaan terdampak otomatisasi. 248 ribu pekerja di-PHK setiap tahun.
Ini semua data sebelum covid. Dengan adanya covid, selama 3 bulan terakhir data dari asosiasi, yang dirumahkan dan di-PHK ada 6 juta orang. Itu belum termasuk pekerja informal. Bayangkan, sektor informal kita sangat terdampak.
Ini semua harus jadi perhatian, bagaimana memulihkan semua ini kembali.
Stimulus masih lambat. Tapi, harus kita lihat, apapun masih membutuhkan waktu. Tidak mungkin ekonomi dapat segera mengabsorbe kembali semua yang sudah dirumahkan atau di-PHK.
RUU Cipta Kerja sangat dibutuhkan terutama oleh sektor UMKM dan koperasi sehingga dapat mempertahankan sebanyak mungkin lapangan pekerjaan yang hilang karena covid. Dan tentu saja, juga untuk tidak menambah lebih banyak lagi pengangguran.
Ini aspek paling penting yang harus jadi perhatian. Agar kita tidak hanya bisa survive, tapi juga bisa pulih kembali cepat dari segi penciptaan lapangan kerja.
RUU Cipta Kerja menjadi sangat penting, karena unsur-unsur di dalamnya, bahkan sebelum krisis akibat covid, dibutuhkan. Seperti kita tahu, tingkat daya saing dan competitive index kita jauh di bawah dibanding negara-negara Asean lainnya.
Pak Raden Pardede tadi memberi contoh kasus Samsung, yang pindah ke Vietnam karena proses perizinan dan regulasi. Ini terjadi sebelum covid.
Setelah ada covid, RUU Cipta Kerja menjadi sangat penting untuk segera diundangkan oleh DPR.
Jadi, kalau kita mau pulih kembali, mau mengembalikan demand. Kita tidak sendiri. Kita bersaing dengan negara-negara lain. Adu cepat.
Kenapa index kemudahan bisnis kita terlihat stagnan, karena negara lain bergerak lebih cepat. Jadi, bukan kita tidak melakukan reformasi, tapi negara lain melakukannya secara lebih cepat.
Ini yang selalu kami khawatirkan. Pak Raden bilang kita harus mengambil peluang. Kita jelas mau mengambil peluang. Tapi, kalau kita tidak bisa berkompetisi, maka peluang itu diambil negara lain.
Momentum ini yang penting. Pembenahan harus cepat dan tepat. Kalau kita tidak mau ketinggalan kereta lagi.
Ini hal-hal yang harus diperhatikan. Jelas kita mau ada relokasi investasi. Jelas ada tension antara Cina dan Amerika. Jelas kita mau diversikasi. Ini semua membutuhkan komitmen kita untuk memperbaiki iklim usaha, yang bisa menarik peluang investasi.
Ini yang membuat kita harus segera menyelesaikan RUU Cipta Kerja.