Keberhasilan kebijakan belajar jarak jauh yang diterapkan pemerintah sangat mungkin terhambat oleh ketidakmerataan akses internet di Indonesia. Masih ada sekitar 24% warga tidak memiliki akses internet, sementara 76% memiliki akses internet. Dari yang memiliki akses internet, hampir semuanya, 95.1%, mengakses internet lewat handphone/smartphone. Di samping lewat smartphone, ada sekitar 25.5% warga yang (juga) mengakses internet lewat laptop.
Temuan itu disampaikan oleh Manajer Kebijakan Publik Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Tati Wardi, Ph.D, saat mempresentasikan hasil survei nasional SMRC pada Selasa, 18 Agustus 2020, di Jakarta. Survei nasional SMRC tersebut dilakukan pada 5-8 Agustus 2020 dengan melibatkan 2201 responden yang dipilih secara acak. Margin of error survei diperkirakan +/-2.1%.
Menurut Tati, temuan ini penting diperhatikan pemerintah karena masih besarnya persentase masyarakat yang tidak memiliki akses internet akan menciptakan kesenjangan kelas dalam proses kegiatan pembelajaran jarak jauh. “Yang paling harus diperhatikan, kesenjangan akses internet akan mengakibatkan kesenjangan kualitas pendidikan berdasarkan kelas sosial ekonomi warga,” ujar Tati.
Survei juga menunjukkan bahwa sekitar 20% dari warga yang di keluarganya terdapat anggota keluarga yang masih bersekolah/kuliah tidak memiliki akses internet. “Jadi ada 20% yang terhambat kegiatan belajarnya semata-mata karena mereka tidak memiliki akses teknologi,” ujar Tati.
Menurut Tati, adanya kesenjangan akses internet ini terlihat, antara lain, dalam hal wilayah. Survei SMRC menunjukkan ada sekitar 96% warga DKI+Banten yang memiliki akses internet. Namun persentase warga yang memiliki akses internet di luar DKI+Banten jauh lebih rendah: Jawa barat (71%), Jawa Tengah+DIY (72%), Jawa Timur (74%), Bali+Nusa Tenggara (77%), Sumatra (76%), Sulawesi (71%), Kalimantan (79%), dan Maluku + Papua (77%).
Kesenjangan ini semakin terasa kalau dilihat kecendrungan latar belakang pendidikan. Hanya 50% warga berpendidikan SD memiliki akses internet, sementara di kalangan berpendidikan SMP naik menjadi 69%, kalangan berpendidikan SMA 88%, dan di kalangan berpendidikan Perguruan tinggi mencapai 96%.
Begitu juga bila dilihat berdasarkan tingkat pendapatan. Hanya 54% warga berpendapatan maksimal Rp 1 juta/bulan memiliki akses internet, sementara di kalangan warga berpendapat Rp1-2 juta/bulan naik menjadi 70%, kalangan berpendapatan Rp 2-4 juta/bulan 86%, dan di kalangan berpendapatan di atas Rp 4 juta menjadi 96%.
Demikian pula kalau dilihat dari pekerjaan. Sekitar 88% pedagang besar/wiraswasta dan 96% pegawai/guru/dosen/profesional yang memiliki akses internet. Sementara persentase warga yang bekerja sebagai buruh, pembantu, satpam, supir, pedagang warung, kaki lima, petani, nelayan, peternak yang memiliki akses internet di bawah 70%.
“Pemerintah nampaknya perlu menyiapkan langkah-langkah serius untuk mencegah jangan sampai mereka yang datang dari kalangan menengah ke bawah semakin tertinggal karena penerapan belajar jarak jauh,” ujar Tati. “Anak-anak dari orang tua dengan kelas sosial ekonomi lebih rendah di luar Jakarta dan sekitarnya akan semakin tertinggal terutama karena akses teknologi.”
Selain soal teknologi, Tati juga mengingatkan, dengan mengacu kepada UNESCO Distance learning strategies in response to COVID-19 school closures, pemerintah perlu menyiapkan faktor-faktor lain yang krusial bagi kualitas proses pendidikan, yakni ketersediaan konten materi, pedagogi, dan evaluasi yang disesuaikan dengan pembelajaran daring masa Covid-19.
“Faktor-faktor tersebut umumnya berada di wilayah tanggung jawab guru,” ujar Tati. “Karena itu, perlu ada upaya pemerintah untuk meningkatkan kemampuan guru beradaptasi dengan kondisi pembelajaran daring masa Covid-19 saat ini.”